Pernah gak sih ngerasa waktu 24 jam itu gak cukup? Ngerasa kalo tugas kita terlalu banyak sedangkan waktu kita begitu sedikit? Kalo kamu ngerasa seperti itu, well, selamat deh! Karena aku masih belum ngerasain itu sampai sekarang. Kalo dipikir-pikir, sewaktu aku SMP, sekalipun seolah-olah kegiatan di pondok sangat padat, toh ternyata aku masih punya banyak waktu luang. Sekalipun ya kadang-kadang harus curi-curi juga sih. Kayak pas waktunya sekolah malah tidur di asrama. Atau cabut ke kantin lama banget. Keluar tanpa ijin setelah jam sekolah habis. Tapi jujur deh, sekalipun aku gak ngelakuin itu semua dan jadi anak baik-baik, masih banyak kok waktu yang tersisa.
Menginjak masa SMA, sepertinya juga tdak jauh beda. Ikut organisasi intra dan extra sekolah gak bikin aku ngerasa waktuku sangat dikit. Berjalan cepat sih iya, cuman ngerasa kurang? Kayaknya enggak deh. Toh aku masih bisa main, belajar *seadanya*, atau keliling-keliling. Emmm... Oke, I admit it. Keliling-keliling ini gak sampe luar kota. Males aja keluar kota cuman 2 hari, sabtu sama minggu. Sayang uangnya.
Nah, saat SMA aku berpikir kalo jadi mahasiswa berarti waktuku bisa penuh. Berdasarkan pengalaman senior yang udah jadi mahasiswa sih gitu. Tapi ternyata, ya tidak jauh beda. Bahkan sekalipun aku ngambil 24 SKS, waktu yang tersisa juga masih banyak. Masih bisa bermalas-malasan, main-main, ngerjain kerjaan orang.
Kelar jadi undergraduate student, aku pikir hari-hariku bakalan sibuk. Setidaknya seharusnya begitu. Berangkat ke kampus pagi dan baru balik sore lalu belum lagi supervise teman dan ngerjain project, aku rasa aku cukup punya alasan untuk berpikiran bahwa hari-hariku akan penuh. Akan tetapi ternyata tidak juga, setidaknya yang aku rasakan sampai hari ini. Project dan supervising tetap berjalan, tapi tetap saja ada waktu kosong. Seperti saat ini. Maka jika kamu ngerasa bahwa waktu kamu yang 24 jam itu tidak cukup, kasih tau donk gimana caranya. Karena aku masih punya banyak waktu, yang sayangnya, masih kurang berguna.
Jika ada satu kata yang sangat akrab diucapkan oleh hampir setiap orang, maka aku yakin kata itu adalah 'JIKA'. Dengan 'jika', kita bisa melepaskan diri dari kenyataan, dan bergelut dengan impian tentang hal yang kita harapkan terjadi. 'Jika', entah itu seorang pemuda yang tegar ataupun seorang gadis yang cengeng, pasti ada suatu saat dimana dia merasa 'jika' adalah hal yang seharusnya dia lakukan. Tetapi tentu saja, kenyataan tidak akan berubah bahkan dengan beratus-ratus 'jika', bukan? Eh, maaf aku salah. Ternyata ada satu 'jika' yang bisa mengubah masa depan. 'Jika' yang diucapkan oleh mereka yang mempunyai pikiran jauh ke depan, atau mungkin mereka yang terlalu banyak pikiran? 'Jika' yang berfungsi sebagai pencegah. Pencegah untuk melakukan suatu keburukan, atau malah sebagai penghalang atas kebaikan yang akan kita lakukan. 'Jika' yang diucapkan oleh pencuri yang akan mencuri sesuatu karena takut akan hukuman yang akan dia terima, tentu adalah sebuah 'jika' yang baik. Sebaliknya, 'jika' yang diucapkan oleh seorang yang kaya yang akan menyumbang sebagian hartanya lalu takut hartanya akan berkurang. Nah, dari berbagai macam 'jika' diatas, aku masih bingung 'jika aku tidak mengenalmu' ini sepantasnya ditaruh mana. Penyesalan? Mengenalmu adalah suatu keberuntungan dalam hidupku, bagaimana aku bisa menyesal? Pencegahan? Well, jika memang menikahimu, yang memang adalah rencanaku, adalah suatu keburukan, maka bisa jadi pikiran itu adalah suatu hal yang baik. Jadi 'jika' yang itu, kira-kira masuk ranah yang mana ya?
Once you choose, don't ever regret it.
- Historina Safitri Hakim
Diantara salah satu sifat jelek saya adalah gak mau kalah dengan orang lain. Apalagi ketika saya mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hal tersebut, tetapi tidak saya lakukan karena pilihan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika masa-masa awal internship, saya pernah merasa 'menyesal' kenapa tidak melamar untuk magang di petronas. Karena dalam bayangan saya saat itu, dan sebagian besar teman saya, bahwa dengan diterima magang di perusahaan ternama, maka untuk mencari kerja bisa jadi lebih mudah. Ternyata kenyataan tidak semanis pengharapan. Beberapa teman saya yang magang di perusahaan besar bercerita kalau ilmu yang mereka dapat tidak sebanyak dengan mereka yang magang di perusahaan kecil. Dan tentu saja, perusahaan kecil disini bukan perusahaan yang skala UKM di Indonesia, melainkan perusahaan yang jaringannya sudah multinasional sekalipun jumlah karyawan tidak seberapa. Akhirnya saya menyadari bahwa saat itu saya sudah membuat pilihan yang tepat.
Apa yang saya rasakan saat awal internship itu, rupanya saya rasakan lagi saat ini, ketika masa job hunting untuk para fresh graduate. Mungkin saya harus belajar untuk lebih bersyukur lagi kali ya. Saya merasakan sedikit rasa iri ketika teman-teman saya bercerita perusahaan tempat mereka akan bekerja dan salary yang akan mereka terima. Rasa iri ini muncul karena jika saya mau, saya yakin insya Allah saya bisa mendapatkan hal yang sama, atau bahkan lebih. Darimana keyakinan itu datang? Pertama, anjuran dari mereka yang sudah diterima di berbagai perusahaan. Mereka berkata kalau mereka saja bisa, maka seharusnya saya pun bisa. Kedua, karena beberapa dari mereka ada yang meminta bantuan saya untuk menyelesaikan soal interview. Dan mereka lolos.
Bermula dari application process yang lumayan ribet, karena saya belum officially graduated, dari situ sempat berulang kali saya berpikir untuk melepas saja tawaran scholarship dan mencari kerja saja sebagai gantinya. Berpikir sendiri ternyata masih bingung, maka saya berdiskusi dengan senior dan kawan. Tapi hasilnya pun sama saja. Saya masih tetap belum mantap untuk melanjutkan studi. Jika bukan karena dorongan dari orangtua saya, maka saya pasti sudah melepas tawaran itu. Hingga akhirnya saya pun pasrah dan melakukan hal yang sama seperti saat saya memilih universitas, meminta petunjuk dari Dia yang Maha Tahu akan Segalanya. Apa yang saya minta simple saja, jika memang melanjutkan studi adalah jalan yang terbaik buat saya, maka saya minta agar dimudahkan jalan menuju kesana dan jika tidak, maka saya minta petunjuk untuk jalan yang terbaik bagi saya. Dan ternyata jalan yang dimudahkan adalah melanjutkan studi. Jadi sudah tidak seharusnya saya mundur saat ini, karena saya yakin inilah jalan saya. Dan jika saya merasa kurang atas apa yang saya dapat saat ini atau yang akan datang, semoga begitu membaca postingan yang ini saya kembali teringat, bahwa tidak seharusnya saya menyesal atas pilihan saya sendiri. Karena ini jalan saya, dan akan saya buktikan bahwa saya tidak akan kalah dengan mereka yang memilih untuk bekerja. Let's see !!
Ada begitu banyak yang ingin saya ceritakan. Tentang pusingnya saya karena postgraduate application yang ribet, job pertama saya sebagai freelancer, dan pindahan barang dari rumah saya yang lama ke yang akan saya tempati. Tapi betapapun inginnya saya untuk cerita, saya sampai tidak tau harus mulai darimana. Bagaimanapun dan apapun, saya semakin yakin akan satu hal, kuasa Allah di atas segalanya. Dan jujur saja, saya sering merasa 'kurang ajar' kepada Allah. Setelah Dia memberikan begitu banyak nikmat, dan saya juga sering meminta, saya masih terlalu sering lalai akan setiap kewajiban saya sebagai hamba-Nya. Maka tidak heran jika abi saya selalu mengingatkan untuk selalu menjaga sholat malam. Bahkan beliau setiap chat selalu bertanya, bagaimana sholat malam saya, yang parahnya saya jawab seadanya. Karena beliau tau, bahwa segala kemudahan yang saya dapat, didapat dari kedekatan saya dengan Allah, dan saya sadar akan hal itu. Maka semoga tulisan ini membuat saya terus mengingat dan bersyukur akan segala nikmatNya.
Hidup itu tentang pilihan kan ya ? Bahkan untuk tidak memilih pun juga suatu pilihan. Memilih, mungkin akan terasa mudah jika kita dihadapkan pada 2 hal yang bertolak belakang. Antara baik dan buruk. Antara yang kita sukai dengan yang tidak kita sukai. Namun permasalahannya, hidup itu tidak hitam putih. Ada merah, hijau, kuning, abu-abu, dan sejenisnya. Begitu juga pilihan yang tersedia. Tidak selalu antara suka dan tidak suka. Ingin atau tidak ingin. Ada juga masa-masa ketika kita dihadapkan pada 2 hal yang sama-sama kita inginkan. Dan tentu saja setiap pilihan akan membawa pada jalan yang berbeda.
Memilih akan lebih sulit ketika kita berada di akhir suatu fase dan hendak melangkah ke fase selanjutnya. Seperti halnya ketika kita berjalan dengan suatu tujuan, tikungan atau halangan tetap akan membawa kita ke tujuan tersebut. Bagaimana ketika kita sudah sampai tujuan ? Mau berjalan kemana lagi ? Kiri ? Kanan ? Loncat ? Atau diam menunggu hingga seseorang menunjukkan tujuan yang baru ?
Berbicara tentang akhir, saya sudah berada hampir di titik akhir dari masa-masa sebagai mahasiswa S1. Nah karena saya sudah sampai di akhir, saya harus mulai memikirkan akan kemana arah tujuan hidup saya selanjutnya. Well, saya sebenarnya sudah memikirkan itu sejak FYP selesai. Tapi pilihan yang saya ambil saat itu, ternyata tidak sinkron lagi dengan keadaan saat ini. Pada saat itu saya berpikir untuk kerja selepas kuliah. S2 memang menggiurkan. Apalagi kalau scholarship. Akan tetapi saya merasa bahwa saya sudah cukup penat untuk kuliah. Saya ingin mengaplikasikan apa yang saya dapat. Ingin menjajal sejauh mana saya bisa survive di dunia yang sesungguhnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya mendapatkan tawaran untuk mendapatkan gelar master by research di universitas saya saat ini. Jadi selain digaji, saya juga tidak usah membayar lagi untuk biaya master. At that time, I was so excited. Tidak semua orang mendapatkan tawaran tersebut. Apalagi tidak ada persyaratan yang memberatkan untuk mengambil scholarship tersebut. Dan orangtua saya juga mendukung. So, there is no problem, isn't it ? I will get paid and my master for free. Not to mention that the payment is gonna higher than in Indonesia. Apalagi yang kurang ? Well, ada beberapa hal yang masih mengganjal. Pertama, 3 taun di sini sepertinya sudah cukup. Saya ingin melanjutkan langkah saya di tempat lain. Saya ingin berkenalan dengan orang-orang yang baru, pengalaman-pengalaman baru, dan budaya-budaya yang baru. Intinya saya ingin hidup, ingin merasakan saripati hidup melalui perjalanan. Kedua, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya ingin mengaplikasikan ilmu saya. Merasakan manfaat dari apa yang selama ini saya pelajari.
Dan seperti koin yang selalu mempunyai 2 sisi, begitu pula tawaran itu. Ada buruk pasti ada juga baiknya. And here goes the good part. Pertama, payment. Jangan samakan biaya research disini dengan di Indonesia, dimana jarang ada researcher yang bisa hidup dari gaji research yang dibayar oleh pemerintah, disini nominalnya lebih dari cukup untuk hidup buat satu orang. Jadi sekali dayung 2 pulau terlampui, gelar master di tangan, hidup juga terjamin.
Kedua, akses ke conference. Well, supervisor saya memberi target untuk bisa menghasilkan setidaknya satu journal setiap 3 bulan. Dan journal itu harus dimasukkan ke dalam conference, baik local ataupun international. Jadi saya akan mendapatkan kesempatan untuk presentasi research saya di depan publik. Dan jangan lupa, it's gonna free! (Bandingkan dengan harga registration untuk conference yang biasanya berkisar di bilangan ratusan atau bahkan ribuan). Ketiga, disamping jadi researcher, saya juga akan diminta untuk mengajar. Saya tidak tau apakah ini suatu hal yang baik atau buruk, akan tetapi karena saya sudah terbiasa mengajar, I think I'm gonna enjoy this part. Ah iya, saya tidak pernah terpikir untuk menjadi guru atau dosen sebelumnya, meskipun banyak orang yang menyarankan seperti itu. Alasannya simple, saya takut terkena karma selama saya menjadi murid. I ain't gonna tell you how bad I am as a student. Sudah cukup fakta bahwa saya sering tidur di kelas sejak SMP sebagai bukti kalau saya bukan murid yang baik, apalagi rajin.
Jadi apa pilihan yang saya ambil? Saya sudah konfirmasi ke supervisor saya bahwa saya menerima tawaran tersebut. Akan tetapi entah kenapa saya masih merasa ada yang mengganjal. Mungkin saya akan menemukan jawabannya ketika saya bertukar pendapat dengan sahabat saya di Indonesia. Hal yang membuat saya tidak sabar untuk menanti tanggal 16 Februari. Namun satu hal yang saya sadari, apapun pilihan yang saya ambil, itulah yang terbaik bagi saya dan saya harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tidak akan mungkin saya menyalahkan orang lain, apalagi Allah, atas apa yang sudah saya putuskan bagi diri saya sendiri. Anyway, I'm having my exams by next week. Wish me luck to pass through it well.
Ketika wajah penat memikirkan dunia,mk berwudhu lah..Ktika pundak tak kuasa memikul amanah mk bersujudlah..Ikhlaskannya agar semuanya tunduk,disaat yg lain angkuh,agar tangguh disaat yg lain runtuh,agar tegar disaat yg lain terlempar,dan ingat hanya Allah lah tempat kita utk bergantung. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.“Ingatlah, dgn mengingat Allah dpt menentramkan hati” (Ar-Ra’d:28)
Well, badan mulai meriang. Mungkin akibat cuaca yang agak kurang bersahabat akhir-akhir ini disaat saya masih tetap harus keluar rumah untuk mengerjakan assignment yang kurang dua. Ingin rasanya cukup memantau perkembangan dari rumah dengan memakai selimut. Tapi hasil yang diharapkan sering tidak sesuai rencana. Dari 3 minggu sejak pembagian tugas saya bagi, tidak ada progress yang signifikan. Maka mau tidak mau saya harus mengumpulkan semua groupmate saya dan menyelesaikan bersama-sama tugas yang telah saya bagi sebelumnya. Kali ini hasilnya cukup memuaskan, dalam 2 hari assignment sudah mencapai 80%. Dan seperti kebiasaan orang indonesia, ada saja orang-orang yang malas bahkan untuk datang sekedar untuk 'setor muka'. Untungnya saya gak sampai hati untuk mengeluarkan mereka dari group. Ya itung-itung berbuat baik lah. Walau akibatnya ya harus ditanggung sendiri, seperti sekarang ini. Tapi biar bagaimanapun, tak pantas sepertinya bagi saya untuk mengeluh. Bisa jadi sakit ini anugrah dari Allah agar saya istirahat sesaat. Dan semoga saya cepet sembuh. Tugas sudah menanti.
The basic thing of being a programmer is not the capability to memorize the whole code. Rather than that, what you need to strengthen is the logic.
If you do not want to learn the most basic thing, then forget about coding and anything related to it. You do not understand how your program should work, then how can you start the code ? That's the worst case. Some do better, they understand the objectives yet they do not know how to implement it. The answer is simple: READ and DO. Google provides most of the answers and even the tutorials. So why don't you start to use it anyway ? Too complicated ? Then lemme know something which is not complicated ! It is your mind which is matter. As long as you bear in your mind that programming is not tough, then so be it !
Lemme tell you something, during my senior high school, I got average mark in biology. I did not compete with my friends when it came to biology. If you ask why, my answer is because I don't like it as much as I like math, physic, chemistry, or even economic. The reason behind this is my experience since junior high school. I used to sleep in the class yet I was still able to understand the subject, except biology. This is the only subject in which you need to memorize latin. Since I don't like memorizing, then I turned out to despise this subject.
I don't tell you to hate biology also, what I want to say is what your mind thinks is necessary. As long as you say programming is difficult, trust me, you won't understand any single thing you learned. So what's the use of going to college if in the end you stay as who you were ? Okay, you got marks. But what those marks are gonna do with your future ? Nothing ! You have no knowledge, so why should company hire you ?
If you are aware of the importance of loving the subject and ready to go to the next level, then the next thing you have to do is DO what you have learned. Better yet, SHARE to others what you already knew. Unlike physic or chemistry, programming needs to be tried until you think you already mastered enough. You got the concept but you don't know how to write down your concept is a waste. You may ask your friend to do your idea, but what happen if this friend gets new idea based on your idea and then claims that it's originally his ? Up to certain level, someone considered as friend is still necessary. But don't let him get the advantage from what it's supposed to be yours. Learn how to code and you will lessen your loss. If you know the coding, your mates are not gonna cheat on you.
Conclusion
Up to this part, if you don't understand what it takes to be a programmer, then lemme summarize it for you. It only takes 3 steps but each step requires your full intention.
1. Loving
The fundamental stuff in order to master any kind of knowledge. Whenever you start loving what you are learning, you will see the world differently. It's getting easier and easier. In the end, you will realize that the subject is not tough.
2. Read and Learn
Loving without studying is useless. Your love will get you nowhere. Start reading and learning something new. You can not separate reading and learning. Reading without learning is what you get when you read a novel. You read and you get nothing except the story. Read with your full attention then you will get something.
3. Implement
This is the last step as well as the most important on deciding whether you are ready to be a programmer or not. Those steps above are gonna be a waste if you don't start to implement it. So what are you waiting for ? Do it right now !
---
I got 3 offers to do my friend's assignment and those are not free. Yet I rejected all of them. I wanna enjoy my day dude. Please understand me. It's not like I hate you or the payment is not high enough. If I don't have anything to do, I will help you for sure. Even if it means that I have to do it for free. Surely, I am gonna get better. But what about you ? What kind of improvement will you get if I do all those stuffs ? Getting better in report ? Come on, report is only 3% whereby the rest of the marks will go to the implementation. I'll more appreciate it if we sit and solve the assignment together. Doesn't matter who will do the code, since all of us will get the knowledge. And as I told you before, no hard feelings when I refused your offer.
Hidup itu merupakan kumpulan potongan-potongan kejadian yang saling berhubungan. Bagaikan kereta dengan gerbongnya, begitu pula hidup dengan setiap kisahnya. Tak usahlah mengeluh tentang apapun yang kita alami saat ini. Toh bisa jadi ini bukan akhir tapi awal. Dan tak usah pula bergembira sehingga lupa akan batasan, mengira bahwa kebahagiaan ini adalah awal dari kebahagian-kebahagiaan yang akan datang. Hingga pada akhirnya kita merealisasikan bahwa itu adalah suatu akhir, dan bukan awal. Maka apapun yang terjadi pada kita, ingatlah selalu salah satu dari kebijakan pak tua:
Apapun yang terjadi, itu sungguh yang terbaik bagi kita. Tuhan tidak akan pernah menipu, karena dia sungguh bukan penipu
Skripsi sudah terkumpul tapi assignment masih ada beberapa. Dan jangan lupa final exam. Ditambah lagi dengan presentasi skripsi minggu depan. Selain itu, tempat tinggal untuk internship juga belum dicari. Tapi saya yakin bahwa selama Allah masih bersama saya, maka setiap masalah pasti ada penyelesaiannya. Seperti yang saya alami saat memutuskan untuk mengambil skripsi semester kemarin dengan judul yang mudah dan susah, toh akhirnya saya berhasil juga melewatinya. Mudah bagi yang sudah pernah berkenalan dengan PHP dan susah bagi pemula seperti saya.
Hari-hari penuh pikiran tentang bagaimana program ini seharusnya berjalan dan cara pengimplementasiannya. Ketika sudah mendapatkan ide, tapi tidak tau caranya. Dan tau caranya tapi bingung dengan ide dasarnya. Belum lagi dengan permintaan bantuan beberapa teman untuk skripsi atau tugas mereka. Jika saya pikir saat ini, saya hampir tidak percaya melakukan itu semua. Mengajari orang tentang subject yang beberapa semester lalu telah saya ambil adalah hal yang biasa. Yang tak pernah terpikirkan adalah mengajari orang bahasa pemrograman yang bahkan pada saat phase 2 dimulai saya tidak tau bagaimana cara menjalankan program itu. Untuk skripsi mereka lagi. Berat kalau di pikirkan, tapi itulah kenyataan. Dan anda tau apa yang saya rasakan kemarin, saat report Final Year Project saya kumpulkan ? Kelegaan yang luar biasa ! Saya tidak tau apakah bisa mendapatkan 'A' untuk FYP, tapi yang saya yakin, insya Allah saya pass karena objectives yang diminta oleh supervisor saya sudah terpenuhi.
Setelah sekian lama berpusing-pusing ria dengan FYP, maka saya putuskan untuk menghadiahkan diri saya sendiri beberapa hari libur dari yang namanya coding dan report. Rencana hanya tinggal rencana. Mulai besok saya harus mengerjakan assignment web based yang submission minggu depan. Dan final meeting dengan supervisor sebelum presentasi. Tapi tak apalah, toh ini jalan untuk sebuah akhir.
----
[+] Currently reading : Rich Dad Poor Dad
[+] Currently playing : Depapepe - Start
dear child,warmest love,
never look back with regret, of something you cannot undo
never live present with worries, of something that might not happen afterall
never face future with fears, we know not what lies ahead
it might be good, and not bad
never look down to people because one day you might have to look them up
never look up too much or you will get disappointed
never too kind, or you might be wronged
never too evil, or punishment awaits
never too patient, or you will wait forever
never too rush or you will stumble
never too bitter or you will miss sweetness
never too sweet or you will be boring
never too submissive or you will be pressured
never too stubborn or you might crack
never too hard or you will crush things
never too soft or you will be crushed instead
never too reluctant or you will be lazy
never too eager or you will be overwhelmed
never regret something bad, or something sad
because a burst of tears, might just be your open sesame to your box of happiness
mother life
source : here
Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?
Dan saling menyayangi bila ada ruang?
Kasih sayang akan membawa dua orang berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi.
Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.
Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah.
Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tidak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
Persahabatan tanpa pernah ada jarak sama seperti kalimat tanpa spasi. Tak bermakna. Sahabat tak akan lekang oleh waktu, tak akan putus oleh jarak. Ah, saya jadi merindukan sahabat-sahabat saya. Ingin rasanya berbagi cerita sambil menikmati teh anget dan gorengan di pagi hari. Atau secangkir kopi di atas gunung. Apakah mimpi kita masih sama ? Apakah tujuan dan target kita masih seirama ? Biar kata wajah sudah berubah, selamanya Anda masih sahabat saya.
Prokrastinasi dengan Filosofi Kopi dan Perahu Kertas karya Dee. Diselesaikan dalam waktu kurang dari 24jam. Entah suatu kebanggaan atau bukan. Sedangkan untuk baca professional AJAX sudah berhari-hari kagak kelar-kelar. Yah, memang selamanya prokrastinasi itu lebih menggiurkan daripada carpe diem.
I read back some articles in this blog and I realized that I rarely wrote articles related to IT stuffs. I was aware since along time ago though. The reason I did not write about either my subjects or IT issues was just simply I considered myself not suitable yet to write those kind of stuffs. I was afraid what I was gonna write was wrong yet people who read that think that it is true. But being a final year student, it means that I have to apply, or share, my knowledge in regard to technology. There is no such reason like does not have necessary information to pass on. From now on, I plan to write random articles about IT. It may be what I get from subjects I took or my opinion in regard to current issues of IT world. But still, economic, politic, and worldwide issues are more interesting. Maybe I should apply to economic or politic faculty instead of IT faculty ! *laughing*
------
[+] now reading : Everything You Know about English is Wrong
[+] now playing : D' Cinnamons - Semua yang Ada
Membaca buku ini membawa saya melintasi waktu kembali ke masa saya SMP di sebuah pondok pesantren di kota Malang. Menyatukan kembali puing-puing ingatan saya akan kejadian-kejadian baik konyol maupun memalukan yang pernah saya perbuat. Membuat saya teringat bagaimana kita, penghuni baru, harus sembunyi-sembunyi jika ingin bercakap-cakap dengan bahasa indonesia. Lengah sedikit maka jasus di sekeliling akan dengan senang hati menulis pelanggaran bi'ah yang dilakukan dan berakibat pada hukuman rotan seusai sholat ashar. Jasus, peran yang diambil oleh orang yang ditunjuk oleh pembina bahasa saat itu (Alm. Ustadz Siswaji Purba -- Semoga Allah merahmati beliau), bisa siapa saja dan dimana saja. Dan berawal dari perseteruan antar kamar pada saat saya kelas satu, jasus menjadi beralih fungsi, sebagai alat balas dendam. Maka berlakulah pakta kesetiakawanan tak tertulis bagi semua warga satu angkatan --siapapun orangnya biarpun jasus tidak boleh mencatat kawan sekamar, hanya boleh mencatat penghuni lain kamar. Pakta yang membuat kami sedikit leluasa untuk tidak menegakkan bi'ah ketika berada di dalam kamar. Dan berkat perseteruan antar kamar sehingga jasus tidak berfungsi optimal seperti sebagaimana mestinya (ada salah seorang kawan saya yang mencatat 100 pelanggaran bahasa untuk satu orang dan itu berarti orang itu harus menerima iqob sebanyak 100x pukulan menggunakan kabel), maka bi'ah menjadi amburadul dan tidak terkontrol. Hal yang baru saya sesali manfaatnya saat ini, bertahun-tahun sesudahnya.
Teringat pula saat-saat tahfidz sesudah shubuh, tarjim sesudah maghrib, dan tartil sebelum maghrib. Diantara 3 pelajaran itu, tentu saja yang paling saya senangi adalah tahfidz dan tarjim. Alasannya simpel saja, kalau tahfidz sistemnya setoran. Jadi semakin cepat menyetor hapalan, maka semakin cepat kembali ke kamar. Dan bagi saya, yang ahlun naum, hal ini merupakan anugerah, soalnya bisa lanjut tidur yang terpotong. Jadilah sebelum sholat menjadi waktu yang cocok untuk menambah hapalan. Selain faktor ingin cepat tidur lagi, ada satu hal lain yang membuat saya terpacu untuk terus menambah hapalan. Competition with my friends. Ada beberapa orang dari kawan saya yang tidak mau kalah dan mereka berusaha sebisa mungkin agar jumlah hapalan lebih banyak dari punya saya. Dan karena saya pada dasarnya orang yang gak mau kalah, ini justru semakin memacu untuk berbuat lebih lagi. Jadi kalau dia menyetor satu halaman, maka saya harus bisa lebih dari itu. Atau kalau tidak bisa lebih, yang penting jangan sampai terkejar jumlah ayatnya. Adapun tarjim, karena ustadznya pada saat itu sering bercerita asbabun nuzul dari ayat-ayat tertentu, maka pelajarannya mengasikkan bagi saya.
Menginjak bagian dimana penulis di gundul 'hanya' karena keluar tanpa ijin, membuat saya teringat seringnya saya melakukan hal itu dengan kawan-kawan. Bagi kami saat itu, untuk keluar tanpa ijin adalah suatu hal yang mendebarkan. Kalau di film-film itu ibarat ketika tahanan mencoba melarikan diri dari penjara. Harus pintar-pintar mencari celah ruang dan waktu agar tujuan tercapai, buat main PS atau game online. What a shame isnt it ? I couldnt stop smiling when remember how I could sacrifice my precious bedtime so that I was able to do such things. Dan seperti halnya dalam perang dimana tidak setiap peperangan selalu memperoleh kemenangan, saya pun pernah beberapa kali 'tertangkap' ketika sedang dalam 'pelarian'. Lalu apa hukumannya? Tidak seberapa kejam kok. 'Hanya' disuruh berendam atau membersihkan sungai kecil yang mengalir di sekitar kompleks pondok. Atau kalau mau yang lebih ringan bisa dibotakin jadi mirip biksu shaolin.
Disamping beberapa hal di atas, masih banyak lagi hal-hal yang mirip dengan di buku tersebut yang jika saya ceritakan tidak cukup hanya dengan satu postingan. Saya akui, mengenai alur cerita, laskar pelangi is far better than this one. Tapi ada satu hal yang tak tergantikan, kenangan masa lalu. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat saya memberi 4 out of 5 star.
Sebagai penutup, kalau si penulis 'berhasil' meraih mimpinya untuk menginjakkan kaki di negeri Paman Sam, maka saya bertekad bahwa saya akan menginjakkan kaki di France and Germany. Mungkin? Mungkin saja, toh seperti apa yang dicamkan oleh rais dari ponpes tempat penulis belajar saat itu, Man Jadda Wajada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil. Tak ada yang mustahil bagiNya. And spending almost 8 hours to finish the whole book seems worth it. Even it means that I had to sacrifice my time to study Network Security's midterm which will be conducted on wednesday.
----
nb :
[+] penulis yang saya maksud disini adalah penulis buku Negeri 5 Menara, Mr. Ahmad Fuadi, bukan empunya blog.
Manusia itu unik.
Tiap manusia, mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan perasaannya. Tiap manusia pun, mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan perasaannya. Lama mengenal, bukanlah menjadi jaminan.
Jika sekarang aku bertanya, seberapa jauhkah kalian mengenalku, apa yang akan dijawab? Tidak kenal, sedikit kenal, atau menjawab kenal sekali? sungguh, apa yang terlihat di mata masih bisa menipu. Bilangan tahun, bukan menjadi jaminan bahwa seseorang bisa benar-benar saling memahami. Karena untuk memahami, harus ada yang dikorbankan. Mengorbankan hati. atau lebih tepatnya, mengorbankan perasaan. Untuk mengalah ketika ada permasalahan. Untuk bijak menerima kekurangan.
Manusia itu unik.
Ada kalanya, ekspresi cinta yang kita keluarkan, tak tersampaikan dengan baik. Mungkin, bagi sebagian orang, malah menyakiti.
Ada sebuah adegan film yang cukup menyentuh, bagiku.
Sang laki-laki, setelah sekian tahun tak bertemu, akhirnya bertemu dengan seorang perempuan yang ia sayangi di sebuah restoran. Lewat sebuah janji.
Di pertemuan itu, sang laki-laki berkata “kenapa kamu belum menikah? Aku sudah.”
Sang perempuan hanya menangis, sedangkan sang laki-laki hanya menatap lurus, sambil terus berceloteh. Dan, akhirnya sang perempuan pun tahu, sang laki-laki kini telah buta.
Adegan berganti. Sang perempuan kini telah menikah. Dengan orang lain. Dan beberapa tahun kemudian, ketika sang perempuan sedang bermain dengan anaknya di sebuah sungai, datanglah beberapa orang menyampaikan pesan. Bahwa sang laki-laki telah meninggal. Bahwa sang laki-laki, menikah tepat setelah sang perempuan menikah. Ya. Benar. Tepat setelah sang perempuan menikah. Sang laki-laki berbohong. Ekspresi cintanya, membuatnya harus berbohong.
Sejujurnya, aku sedikit tak bisa menerima. Apa salahnya sang laki-laki jujur, agar mereka bisa menikah dan hidup bahagia? Tapi, karena ini adalah film, dan aku hanya penonton, terang saja aku harus menerima akhir film yang seperti itu.
Setelah kupikir lagi. Sang perempuan memang merasa sakit, atas kebohongan yang dilakukan padanya. Tapi, apakah sang laki-laki tidak merasa sakit? Apakah sang laki-laki tidak merasa terluka, melihat sang perempuan menikah dengan orang lain?
Padahal, mungkin hanya beberapa kalimat yang perlu ia katakan, agar ia bisa hidup berbahagia dengan perempuan itu.
Tapi mungkin sang laki-laki sadar. Selain karena cinta tak harus memiliki, bisa juga karena tak selamanya kedekatan itu bisa menyehatkan. Mungkin bagi sang laki-laki, ia merasa takut jika kebutaannya akan merepotkan orang yang dia kasihi. Mungkin ia takut, kekurangan penglihatannya hanya akan membuat, suatu saat, sang perempuan tak sanggup bersamanya, dan mungkin ia malah akan mengutuk ketidakmampuannya melihat.
Karena itulah ia memilih berbohong. Karena ia cinta dengan perempuan itu, juga karena ia cinta dengan dirinya sendiri. ia tak mau menyakiti, pun tak mau tersakiti.
Ada kalanya. Dalam ukhuwah ini, hal seperti itu bisa terjadi. bukan hanya dalam hubungan cinta lawan jenis seperti yang kupaparkan di atas. Karena cinta bersifat universal.
Bisa jadi, ekspresi cinta kita malah menyakiti orang yang kita cinta. Saudara seiman kita. Padahal, mungkin kita merasa telah mengenalnya. Tapi ternyata pilihan ekspresi cinta kita masih salah. maksud hati ingin menyampaikan yang menurut kita baik untuknya. Tapi ternyata dianggap menyakiti. Padahal, tak jarang mungkin apa yang kita sampaikan bisa terucap karena dia meminta pendapat kita.
Bisa jadi juga, kita telah memilih kata-kata yang bijak ketika menyampaikannya. Tapi tetap, hal itu terus dianggap telah menyakiti. Jika seperti ini terus, apa yang harus dilakukan? Yang satu merasa tersakiti, menganggap bahwa dia terus disakiti. Tapi, tahukah, bahwa bisa saja yang mengatakan hal tersebut, yang dianggap telah menyakiti, juga merasa sakit?
Merasa sakit, karena tidak menyangka kata-katanya bisa menyakiti orang lain.
Merasa sakit,karena ia selalu dianggap menyakiti.
Padahal, semua itu dilakukan atas nama cinta. Cinta pada ukhuwah ini.
mungkin, kedekatan selama ini telah membuat kedua belah pihak tidak sehat. mungkin, kedekatan selama ini masih menyimpan ego masing-masing.
Saat seperti itu, mungkin menjauh adalah pilihan yang terbaik. Memilih untuk tidak bertemu. Memilih untuk hanya sesekali menyapa.
Menjauh, pada sebuah jarak. Bukan menjauh yang tak peduli, justru menjauh karena peduli. Menjauh karena cinta ini, jika dipaksakan, akan terus menyakitkan dua belah pihak. Menjauh, agar mungkin rindu yang tercipta bisa sedikit melembutkan hati.
"Karena itu, izinkanlah, jika hal ini menimpa kita semua, izinkanlah agar aku menjauh,sampai pada titik yg aman bagi kita berdua. Karena aku cinta, padamu dan diriku sendiri".
written by :
Aisha Putrina Sari
quote by :
pemikir ulung
---
ngena banget !! aku mau menjauh hingga tiba saatnya. dan kali ini, semoga aku konsisten.
When I was just a little girl,
I asked my mother, 'What will I be?
'Will I be pretty?
'Will I be rich?'
Here's what she said to me:
'Que sera, sera,
'Whatever will be, will be;
'The future's not ours to see.
'Que sera, sera,
'What will be, will be.'
When I was just a little boy,
I asked my mother, 'What will I be?
'Will I be handsome?
'Will I be rich?'
Here's what she said to me:
'Que sera, sera,
'Whatever will be, will be;
'The future's not ours to see.
'Que sera, sera,
'Whatever will be, will be.
There are times when I am so scared about the future. The same thing happened to me for previous days, I was so scared of this trimester. I was afraid I couldnt finish my project well. I was afraid that there would be at least one subject to resit. If that happens, I have to extend for another one year to graduate. During night time, when everybody was sleeping, I kept thinking about those things. Thinking what I should do and how I prevent such things happen. But i still concern whether what if all of the plans are screwed up. All of those days, I just thought about 'what if'. It's yesterday when I saw the advertisement above and realized that I shouldnt have to bother about what the future will be. Que Sera Sera. Whatever will be, will be. If I am able to get what I plan so far, then so be it. It's not my job to predict the future. It's Allah's. All I need to do now is do the best. And how about what will happen next? I just let Allah handle the rest. He knows the best for my future though. And dont forget that He will send angels descend upon them who pray to Him as He said in these verses:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَـٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمۡ تُوعَدُونَ (٣٠) نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِى ٱلۡأَخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِىٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (٣١)
Lo! those who say: Our Lord is Allah, and afterward are upright, the angels descend upon them, saying: Fear not nor grieve, but hear good tidings of the paradise which ye are promised. (30) We are your protecting friends in the life of the world and in the Hereafter. There ye will have (all) that your souls desire, and there ye will have (all) for which ye pray. (31) -- QS. Fussilat : 30-31
When I feel down or am scared of something which is yet to happen, then I just need to read this post again. So that I am aware that thinking of those stuffs are just a waste.
Kening Hitam
Penulis : Zaenal Radar T.
Kau tentu pernah bertemu dengan lelaki berkening hitam. Hitam tidak secara keseluruhan, melainkan hanya pada bagian kening tengah atas di antara dua alis, persis dibawah ujung rambut bagian depan. Tepatnya, bagian kening yang digunakan untuk mencium sajadah setiap kali solat.
Apa yang kau pikirkan ketika melihat lelaki berkening hitam seperti itu ? Tentu kau akan berkesimpulan, bahwa lelaki tersebut adalah lelaki yang alim, lelaki yang rajin mencium sajadah, lelaki yang tak pernah meninggalkan solat lima waktu, lelaki yang rajin bangun malam-malam untuk tahajud dikala orang lain molor di tempat tidur.
Lelaki berkening hitam tidak hanya ditemukan di masjid-masjid. Kau bisa menemukan di kampus, di kantor, pasar tradisional, kantor pos, bahkan mungkin di mal-mal. Bisa jadi dia seorang dosen, kyai, mahasiswa, pedagang, sopir angkutan kota, atau profesi lainnya.
Dan tahukah kau, malam ini, Markum, seorang pelajar berotak pas-pasan sebuah SMA swasta di Jakarta, saat ini tengah memikirkan keningnya yang tidak hitam. Markum bingung luar biasa. Bukan apa-apa, belakangan ini dia tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Dia selalu mengerjakan solat sunat, baik sunat bakdiah maupun sunat qobliah. Bahkan, setiap kali solat, Markum sengaja menekan-nekan bagian ujung keningnya supaya bisa hitam. Namun, tetap saja tidak pernah menjadi hitam.
Kau tentu paham maksudnya. Markum ingin sekali punya kening hitam, seperti kening lelaki berkening hitam yang ia temukan di berbagai tempat. Keinginan punya kening hitam ini bermula ketika ia bertemu dengan seorang gadis bernama Elliza. Elliza adalah gadis cantik berkerudung, putri tunggal seorang guru agama di sekolahnya. Hanya saja, Elliza bersekolah di ibtidaiyah.
Pertemuan Markum dengan Elliza terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu Markum mengantar Pak Habiburahman Saerozi, guru pendidikan agama Islam lulusan Mesir yang tak lain wali kelasnya, pulang dari mengajar. Pak Habib menyuruh Markum mampir sebentar untuk minum.
Markum, dengan senang menuruti kemauan Pak Habib yang baik hati. Saat itulah Markum melihat Elliza, yang membawa minuman untuknya. Pak Habib pun memperkenalkan Markum pada putrinya itu, dan juga keponakan laki-lakinya, serta istrinya. Istri Pak Habib perempuan Mesir. Berwajah Arab dengan hidungnya yang mancung. Wajah Elliza mirip sekali dengan ibunya.
Saat bertemu itulah Markum merasa tertarik ingin menjadikan Elliza seorang teman dekat. Tetapi tentu tidak mudah mewujudkan keinginannya itu. Markum pun melakukan berbagai usaha. Di antaranya adalah, menjadi cowok yang alim. Cowok yang tekun ibadah.
Kau tentu sulit membedakan, siapakah di antara anak-anak lelaki yang rajin ibadah atau tidak? Dan Markum berkesimpulan, bahwa lelaki yang bisa disebut alim adalah lelaki yang rajin solat. Lalu, bisakah orang lain menentukan apakah seorang cowok seperti dirinya rajin solat atau tidak. Hmmm… lihat saja keningnya!
Markum selalu membayangkan seandainya keningnya bisa menjadi hitam, seperti seoarang lelaki yang rajin solat. Pak Habib, guru agamanya yang sangat baik hati itu, keningnya hitam. Keponakan laki-laki Pak Habib, keningnya juga agak hitam. Kenapa kening Markum tidak bisa hitam?
Selain berkening hitam, masih menurut Markum, lelaki yang bisa dicirikan sebagai orang alim, adalah lelaki yang berjenggot. Tetapi janggut Markum tak tumbuh jenggot. Licin. Seperti kepala profesor yang botak. Seandainya jenggotnya lebat, ditambah lagi keningnya menghitam, oh… Markum pasti akan senang sekali. Sayang beribu-ribu sayang, semua itu hanya mimpi.
Untuk mewujudkan keinginannya, Markum pun berencana melakukan berbagai cara. Salah satunya, setiap malam, Markum akan menempelkan jidatnya di lantai, dengan kedua kaki berada di posisi atas, menempel di tembok. Namun untuk melakukannya tidak semudah yang dibayangkan. Masalahnya, orang-orang rumah selalu iseng bertanya padanya, mengapa ia melakukan hal itu.
”Bang Markum, Abang lagi ngapain?” tanya salah satu adiknya, ketika Markum mulai menempelkan keningnya di lantai, dengan posisi kedua kaki menempel di dinding.
Markum pun menjawab, bahwa ia sedang olahraga senam.
”Senam apa?!!”
Senam apa? Markum jadi bingung. Tapi Markum tidak hilang akal, ”Ini namanya senam keseimbangan!” jawabnya kemudian. Adiknya yang bertanya mengangguk-angguk. Di kemudian hari, setiap kali Markum melakukan hal yang sama, yakni ’senam keseimbangan’ itu, adiknya latah ikut-ikutan.
Setelah kurang lebih dua minggu melakukan kegiatan seperti itu, tidak disangka-sangka, kening adiknya menjadi hitam! Boleh jadi, kening itu sering menempel di lantai, menjadi tumpuan beban tubuhnya yang berada di atas saat melakukan gerakan senam asal-asalan itu.
Meskipun begitu, tidak bagi Markum. Kening Markum ya tetap begitu-begitu saja. Tidak hitam sama sekali seperti kening adiknya. Mengetahui keningnya menjadi hitam, adiknya menjadi marah pada Markum.
”Bang, ini kening Markam kok jadi item?” protes Markam, adiknya Markum.
”Salah kamu sendiri! Kenapa ikut-ikutan senam itu?”
”Wah, gimana dong, Bang? Markam jadi malu nih…”
”Biarkan saja. Nanti juga hilang sendiri!”
Benar saja, setelah tidak lagi melakukan senam itu, kening Markam tidak jadi hitam. Tapi aneh bagi Markum, meskipun masih melanjutkan gerakan-gerakan senam itu keningnya masih juga belum hitam.
Suatu malam, saat tengah sendirian di kamarnya, Markum pun menatap keningnya di cermin, sambil tangannya memegang pisau dapur. Apakah yang hendak Markum lakukan??!
”Kenapa keningku masih tetap nggak bisa hitam?” tanya Markum pada dirinya sendiri.
Markum meraba-raba ujung keningnya itu, membayangkan seandainya bisa menjadi hitam. Lalu ia tatap pisau di tangan kanannya, dan menempelkannya di kening. Rupanya, Markum berniat untuk melukai keningnya dengan pisau, agar menjadi luka. Dengan begitu, kemungkinan kening menjadi hitam bisa terwujud dari luka keningnya nanti. Demikian pikir Markum.
Belum sempat melukai keningnya, Ibunya membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci, membuat Markum terkejut.
”Markum! Kamu lagi ngapain?”
”Eee… eee….” Markum gugup. Ibunya menatap pisau dapur di tangan Markum dengan tatapan menyelidik.
”Bu, Markum lagi mencukur jenggot…” ucap Markum kemudian, sambil mengarahkan bagian pisau yang tajam ke dagunya. Ibunya bertambah bingung.
”Cukur jenggot? Memangnya kamu punya jenggot?!”
”Baru mulai tumbuh, Bu.”
”Kalau kamu mau mencukur jenggot, kenapa nggak pakai cukur jenggot Ayah?”
Markum terdiam, lalu menurunkan pisaunya.
”Tunggu sebentar ya, akan Ibu ambilkan.”
Ibu Markum keluar. Tak lama kemudian ibu Markum sudah kembali sambil memberikan alat cukur pada Markum. Setelah itu ibu Markum keluar lagi. Markum memegangi alat cukur jenggot itu, lalu menatap wajahnya di cermin sambil menempelkan cukur jenggot ke dagunya. Apa yang akan ia cukur, sementara dagunya tak tumbuh jenggot?
Pekan berikutnya, ketika keningnya masih belum bisa jadi hitam, Markum mendapat undangan dari Pak Habib. Pak Habib mengundang Markum berkenaan perpisahan Pak Habib yang sudah tidak lagi mengajar di sekolah Markum. Pak Habib pindah mengajar di sekolah lain.
Ini merupakan kesempatan emas buat Markum. Markum merasa menjadi sangat terhormat. Markum tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sebelum berangkat ke rumah Pak Habib, Markum mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Pikir Markum, di rumah Pak Habib nanti, Markum tidak hanya bertemu dengan Pak Habib saja. Ada istrinya, sepupunya, dan tentu saja putrinya yang cantik, Elliza!
Markum berpikir keras bagaimana ia bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin. Aha! Markum punya akal. Markum yakin usahanya kali ini tidak akan gagal, yakni bagaimana membuat keningnya menjadi hitam. Kening seorang laki-laki alim. Markum meraih spidol di meja belajarnya. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Markum memoles keningnya dengan spidol itu. Hitam!!
Kini kening Markum benar-benar hitam, layaknya kening laki-laki yang rajin solat! Dengan bangga, Markum pun segera berangkat ke rumah Pak Habib. Tak peduli orang-orang di rumah pada keheranan, Markum dengan percaya diri siap menghadapi undangan Pak Habib dan keluarganya.
Di rumah Pak Habib, Markum disambut dengan ramah. Menurut Markum, keluarga Pak Habib tidak bersikap aneh seperti orang-orang di rumahnya, soal keningnya yang hitam. Markum duduk di dekat Pak Habib, di antara sepupu Pak Habib, istrinya, dan Elliza. Mereka bercakap-cakap seputar kehidupan dan kegiatan masing-masing.
“Keluarga Pak Habib sekarang sudah tahu, bila keningku ini hitam,” ucap Markum dalam hati, ketika tengah bersama-sama keluarga Pak Habib.
Betapa bangganya Markum, memperlihatkan keningnya yang hitam di depan Pak Habib sekeluarga. Pasti Pak Habib dan keluarga sekarang tahu, bahwa dirinya lelaki yang alim, karena berkening hitam.
Menjelang maghrib, sebelum makan malam, Pak Habib mengajak semua orang untuk solat maghrib. Dengan semangat empat lima, Markum bangkit dan segera mengambil air wudlu. Ini pertama kalinya bagi Markum, solat berjamaah dengan keluarga Pak Habib.
Saat selesai mengambil wudlu, Markum merasakan sesuatu yang aneh. Air di lantai kamar mandi menjadi hitam. Markum mendapati telapak tangannya juga hitam. Markum menatap wajahnya di cermin kamar mandi, dan keningnya yang tadi hitam perlahan luntur. Markum mengusap keningnya. Tidak lagi hitam!
Markum pusing, karena saat itu ia tidak akan mampu mengembalikan hitam di keningnya. Markum kebingungan. Bila kau menjadi Markum, tentu kau juga akan bingung. Tapi aku yakin, kau tentu tak akan bertindak sebodoh Markum.
Dan tahukah kau, siapakah Markum sesungguhnya? Markum tak lain adalah aku!
Mengingat kejadian itu, aku suka tersenyum sendiri. Aku tidak mau menceritakan bagaimana sikap Pak Habib dan keluarganya waktu itu, setelah melihat aku tak lagi berkening hitam. Aku malu menceritakannya.
Kau tak perlu risau, sekarang aku sadar. Aku tak harus berkening hitam. Tetapi aku semakin rajin solat. Hanya Tuhan yang tahu. Tanpa ada tanda-tanda pada diriku, atau terlihat oleh manusia lainnya, bahwa aku lelaki yang sering mencium sajadah, baik siang maupun tengah malam.
Pamulang Barat, Banten, 22 Maret 2006.
Diambil dari Majalah Annida, No. 12/XV/15 Agustus – 15 September 2006.
Sekarang aku tau, hal yang paling bikin bete buat seorang penulis itu saat banyak yang mau ditulis tapi tidak bisa menuliskan hal-hal tersebut. Ya sama seperti apa yang akhir-akhir ini aku alami. I got many ideas in my head yet I won't be able to write it down. Not that I didn't want to, it's just when I want to write those stuffs, I had other things to do as well. Akibatnya ya gak ada update sejak akhir september lalu. Padahal ada banyak hal yang menarik buat dibahas. Mulai dari pengalaman idul fitri bareng verde (he taught me lessons), SBI yang menuai protes, and so on. Tapi tadi ada hal menarik yang bikin aku posting juga. It is the article above. I copied it from someone's note in facebook. I dont know her though.
Back to the article, kening hitam memang salah satu tolak ukur yang umum digunakan oleh orang dalam menilai tingkat keimanan. Banyak yang beranggapan kalau dengan kening hitam, maka itu berarti dia rajin tahajud, sholat 5 waktu gak pernah bolong, puasa, alim, dsb. It makes sense and it happened to me. Sewaktu di high school, secara 'tidak sengaja' keningku menghitam. Well, itu berakibat banyak orang yang menganggapku terlalu tinggi (read: alim). To be honest, aku gak sealim itu. Okelah klo dalam masalah sholat 5 waktu gak pernah bolong. Tapi dalam hal lain? Tahajud aja masih males-malesan. Ngaji masih jarang. Pada saat itulah aku mulai berpikir bahwa kening hitam itu burden. Tentu saja, burden bagi mereka yang merasa dengan adanya hal itu akan mengganggu keikhlasan mereka beribadah. For me, aku lebih memilih tidak diketahui oleh orang lain apakah aku rajin ibadah atau tidak. Karena aku tau, bagiku hal itu bisa mengganggu niat dan tujuan dari ibadah itu sendiri. Biarlah hanya Allah saja yang tau tentang kedekatan aku dan Dia.
*teringat dengan salah seorang teman semasa junior high school yang begitu ngebet ingin punya dahi hitam. sama seperti di artikel di atas, dia menggunakan cara-cara konyol hanya untuk menghitamkan dahi. well, remember him during that time, I am smiling.
Hari ini 20 tahun yang lalu,
Seorang bayi tidak bisa berbuat apa-apa,
Tidak membawa apa-apa,
Dan nanti akan kembali tidak membawa apa-apa,
Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Diantara rentang waktu yang telah terlewati,
Banyak hal yang terjadi,
Bagaimanapun pahitnya,
Bagaimanapun manisnya,
Semua hanya bertujuan agar bisa membawa 'sesuatu' ketika kembali kepadaNya.
Apa yang telah diperoleh tidak pantas berbuah kesombongan,
Apa yang terlewatkan tidak pantas untuk disesalkan,
Semua hanyalah ujian,
Apakah kamu akan menjadi seorang insan dengan makna,
Atau hanya berakhir menjadi seonggok nisan tak berguna.
Barakallah fi umruka.
Hanya sebuah pengingat dari seorang ayah yang saya hormati ibu yang amat saya sayangi yang disampaikan beberapa saat yang lalu. Beribu-ribu ucapan terima kasih tak akan bisa mengganti jasa mereka. I'm gonna make you proud of me, and I could. Love so much, abi wa umi.
First and foremost I would like to express thanks Allah SWT, The Almighty, The Most Merciful and The Most Compassionate who have given me strength and ability to finish the project without having many difficulties.
I am sincerely grateful and offer my deepest appreciation to my Supervisor, Mdm. Kalairasi Sonai Muthu for her kind attention, valuable time, great advices and brilliant ideas to guide me throughout the very early stage of this project in which have inspired and enriched my knowledge as a student.
I would also like to thank all of my friends and all the people who have helped, contributed, and supported me to construct this project. Especially for the one who has always been bothered by my nagging. I owe you a lot.
Finally, my deepest gratitude and thankfulness are dedicated to my parents for their encouragement, prayers, constructive criticisms and suggestions as the foundation of my confidence that I can complete the project successfully.
Muhammad Syaifuddin
26 August 2010
I was doing my Lail when suddenly remembered these verses and started to weep:
كَمَثَلِ ٱلشَّيۡطَـٰنِ إِذۡ قَالَ لِلۡإِنسَـٰنِ ٱڪۡفُرۡ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّى بَرِىٓءٌ۬ مِّنكَ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (١٦) فَكَانَ عَـٰقِبَتَہُمَآ أَنَّہُمَا فِى ٱلنَّارِ خَـٰلِدَيۡنِ فِيہَاۚ وَذَٲلِكَ جَزَٲٓؤُاْ ٱلظَّـٰلِمِينَ (١٧) يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٌ۬ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٍ۬ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ (١٨) وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَٮٰهُمۡ أَنفُسَہُمۡۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ (١٩) لَا يَسۡتَوِىٓ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِۚ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ هُمُ ٱلۡفَآٮِٕزُونَ (٢٠) لَوۡ أَنزَلۡنَا هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ۬ لَّرَأَيۡتَهُ ۥ خَـٰشِعً۬ا مُّتَصَدِّعً۬ا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَـٰلُ نَضۡرِبُہَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ (٢١) هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَـٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِۖ هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ (٢٢) هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ ٱلۡمُهَيۡمِنُ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡجَبَّارُ ٱلۡمُتَڪَبِّرُۚ سُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشۡرِڪُونَ (٢٣) هُوَ ٱللَّهُ ٱلۡخَـٰلِقُ ٱلۡبَارِئُ ٱلۡمُصَوِّرُۖ لَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ يُسَبِّحُ لَهُ ۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ (٢٤)
The meaning:
(And the hypocrites are) on the likeness of the devil when he telleth man to disbelieve, then, when he disbelieveth saith: Lo! I am quit of thee. Lo! I fear Allah, the Lord of the Worlds. (16) And the consequence for both will be that they are in the Fire, therein abiding. Such is the reward of evil-doers. (17) O ye who believe! Observe your duty to Allah. And let every soul look to that which it sendeth on before for the morrow. And observe your duty to Allah. Lo! Allah is Aware of what ye do. (18) And be not ye as those who forgot Allah, therefor He caused them to forget their souls. Such are the evil-doers. (19) Not equal are the owners of the Fire and the owners of the Garden. The owners of the Garden, they are the victorious. (20) If We had caused this Qur'an to descend upon a mountain, thou (O Muhammad) verily hadst seen it humbled, rent asunder by the fear of Allah. Such similitudes coin We for mankind that haply they may reflect. (21) He is Allah, than Whom there is no other God, the Knower of the Invisible and the Visible. He is the Beneficent, Merciful. (22) He is Allah, than Whom there is no other God, the Sovereign Lord, the Holy One, Peace, the Keeper of Faith, the Guardian, the Majestic, the Compeller, the Superb. Glorified be Allah from all that they ascribe as partner (unto Him). (23) He is Allah, the Creator, the Shaper out of naught, the Fashioner. His are the most beautiful names. All that is in the heavens and the earth glorifieth Him, and He is the Mighty, the Wise. (24)
It was the meaning that made me weep. Thinking about how incredible the devil is. He convinced me so that I could spend hours to think of her while I couldn't spend an hour to think of Allah. I remember her during day and night but I am not able to remember Allah besides the praying time. I could spend money to call her without any hesitation but when it came to infaq, I always think not to give too much money. And there are many things I could do for anyone but not for Allah. Although I already knew that in the end of the day, when all of the deeds are counted, the devil said that he is irresponsible of what I have done. That's why during this holy month, it is my aim to clean my heart as well as my mind. Hence I don't have to bother myself to look for the way how to love Allah. O God, please give me strength to go through this!
"All the world's a stage, and all the men and women merely players: they have their exits and their entrances; and one man in his time plays many parts..." (Jaques - As You Like It, Act II/Scene 7, p139–42 - Shakespeare, W)
Maybe this is the time for me to exit from your life. You have your life and i have mine. I shouldn't bother yours, and neither should you. If by any chance we can meet someday, I wish it will be under the eiffel tower. It will be even better if I am able to announce you as my wife. However, it is still a long way to go and I am going to focus on the things I have to do. So that I can fulfill one of my biggest dream, traveling around the world. With or without my own money. Similar to what Matt Harding did in his video below.
Despite of the reasons, I still consider you as my friend, my precious friend. Thus whenever you have problems, do not hesitate to call me. I am here to help. Be strong in your life, because I know you are stronger than what you think. Lastly, forgive my mistakes. Those were the attempts to cheer you up.