Benturan Peradaban

shev : artikel di bawah adalah kiriman dari seorang ustadz saya . semoga bisa bermanfaat .


BENTURAN PERADABAN

Oleh: Suharsono



Pengantar

Ada dua hal yang menarik dan sekaligus tragis, berkenaan dengan fenomena umat Islam di Indonesia. Pertama, keberadaannya dalam sejarah Indonesia sebagai pelaku yang aktif dan sangat banyak berkorban demi kemerdekaan dan masa depan Indonesia. Kedua, di tengah keberadaannya sebagai mayoritas mutlak, umat Islam nyaris tidak memiliki konsep dan pemikiran representatif --yang didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran Islam--bagaimana mestinya mengantarkan dan mendesain Indonesia masa depan.

Marilah kita mengkaji sejarah, terutama dekade-dekade awal abad XX, terutama melihat peranan pergerakan Islam di Indonesia. Di belahan mana pun di bumi Indonesia ini, sejauh ada gerakan perlawanan terhadap kehadiran penjajah dan kolonialisme, maka hamper bisa dipastikan bahwa di situ yang ambil peranan aktif dan banyak berkorban, dalam rangka melakukan perlawanan adalah para tokoh Islam atau organisasi Islam. Tetapi setelah kebebasan dan kemenangan diperoleh, maka kita pun bisa bertanya kembali, apakah bentuk kontribusi pemikiran yang diberikan umat Islam di Indonesia dan bagaimana cara mereka mengawal konsep-konsep pemikiran itu agar bisa diterima oleh rakyat?

Kasus paling kontroversial dari bentuk ‘kerendah-hatian’ itu adalah dicabutnya 7 kata dalam Piagam Jakarta; “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya.” Banyak sejarawan dan para tokoh Islam menyebutkan bahwa 7 kata yang dicabut itu adalah wujud dari pengorbanan umat Islam demi persatuan Indonesia. Tetapi benarkah demikian? Apakah hilangnya 7 kata itu benar merupakan pengorbanan dan kerendah-hatian umat Islam. Apakah juga benar jika 7 kata dalam Piagam Jakarta itu tetap dicantumkan, kelompok-kelompok non Islam akan memisahkan diri dari Indonesia. Lalu, jika mereka benar-benar memisahkan diri dari Indonesia, kerugian seperti apakah yang akan diderita umat Islam?

Marilah kita renungkan secara komparatif tentang Indonesia hari ini. Seperti yang kita simak dan kita alami, keterpurukan Indonesia hari ini adalah akibat dari degradasi akhlaq yang terus berlanjut dan membuat negeri ini praktis kehilangan seluruh harga dirinya. Apakah yang akan terjadi jika 7 kata dalam Piagam Jakarta itu diterapkan? Dapatkah kita merumuskan secara konsepsional, Indonesia seperti apakah yang kita harapkan? Jika kita diminta untuk memimpin Indonesia kebijakan apa sajakah yang penting untuk dijalankan dalam satu tahun pertama, sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung oleh mayoritas umat?

Itu adalah berbagai persoalan dalam pergumulan sejarah umat Islam di Indonesia, yang terjadi di masa lalu dan mungkin saja bisa terjadi kembali di masa-masa yang akan datang, bahkan bisa lebih buruk lagi. Kenyataannya, Realitas-realitas keumatan di Indonesia yang terjadi dalam dekade-dekake terakhir ini justru menunjukkan suatu trend yang memburuk, baik itu bersifat jama’i (organisasional) maupun individual. Organisasi-organisasi Islam di Indonesia berkembang pesat, dalam aspek perangkat keras, infrastruktur dan keanggotaannya. Tetapi dalam ketika sama, spirit untuk mengubah atau mentransformasikan kehidupan sosial ke arah yang lebih Islami, ternyata tidak menunjukkan suatu prestasi yang memadai. Banyak kasus terjadi, para tokoh dari organisasi Islam itu justru menjadi agen dalam menghambat perkembangan Islam itu sendiri, dengan gencarnya mereka membawa pesan dan wacana yang menyulut kontraversi di tengah-tengah umat.

Begitu juga halnya dalam kehidupan individual umat Islam. Kenyataan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak orang Islam yang justru memiliki kehidupan menyimpang; antara pilihan Islamnya dengan tema-tema pemikiran, gaya hidup dan tradisi yang dikembangkannya. Ada anak-anak muda bergerombol di pinggir jalan, rambutnya dicat warna-warni, telinga dan hidungnya ditindik atau dilobangi. Ada pula generasi akademis Muslim, yang fasih dalam mengurai berbagai aspek kehidupan, baik sosiologi, ekonomi, politik maupun lainnya dalam kerangka interpretasi keilmuan sekuler, sementara terhadap ajaran agamanya sendiri cenderung melecehkan.

Bahkan, hal yang sama juga bisa terjadi bahwa keganjilan-keganjilan itu juga telah memasuki bilik rumah tangga dan menginjeksi sistem kesadaran keluarga Muslim. Meskipun tidak menyadarinya secara persis, mungkin saja kita adalah Sya’labah baru yang hidup di zaman modern ini; semua tindakan yang kita lakukan berorientasikan pada materi. Untuk apa berjihad jika kita tetap miskin. Untuk apa berdakwah jauh ke seberang pulau, jika di sana kita tidak mendapatkan penghormatan yang layak. Untuk apa berkorban dengan waktu, tenaga dan pikiran jika tidak ada imbalannya yang layak. Semua dimensi tindakan yang kita bangun selalu bertumpu pada materi. Ketika ada seseorang mengarahkan telunjuknya ke arah kita dengan tudingan seperti itu, kita pun menjawab; “Apakah kita salah dengan pernyataan tersebut?” Di sinilah masalahnya! Ukuran tentang salah dan benar, logis dan tidak logis, layak dan tidak layak adalah berkenaan dengan standar atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Dan bagaimanakah nilai-nilai kehidupan itu, sangat tergantung pada orientasi dan keyakinan hidup yang manifest dalam peradaban manusia. Artinya, ketika kita menyatakan apakah sesuatu itu layak atau tidak, benar atau salah, logis atau tidak, sangat tergantung pada nilai-nilai peradaban apa yang kita miliki dan dijadikan standar untuk menilai sebuah tindakan atau prilaku.

Prilaku kemanusiaan adalah fenomena peradaban. Dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah wahana pertarungan peradaban, dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, manusialah yang senyatanya dan satu-satunya makhluk yang bisa membangun peradaban. Ketika para ibu meninggalkan bayinya atau menitipkannya pada pihak lainnya, sementara ia memilih pekerjaan profesional yang secara langsung mendatangkan uang adalah fenomena peradaban. Menyusui dan mengasuh bayi dianggap sebagai pekerjaan domestik perempuan yang tidak berarti dan tidak mendatangkan uang, menjadikan para perempuan memilih untuk mencari pekerjaan sebagai buruh maupun pekerjaan profesional, yang menurut pandangan nilai-nilai kehidupan peradaban tertentu lebih terhormat. Sebuah keluarga muda yang berpikiran efisien, mengambil kebijakan untuk menitipkan orang tuanya yang sudah renta di panti jompo, adalah suatu tindakan yang dibenarkan karena merawat orang tua sendiri yang sudah lanjut hanya pemborosan waktu dan tidak produktif. Lalu apakah peradaban itu?

Generasi Muslim yang begitu fasih mengurai berbagai aspek kehidupan dalam frame sekuler tetapi sekaligus melecehkan superioritas ajaran Islam adalah fenomena peradaban. Atau lebih tepatnya fenomena pertarungan peradaban, di mana ajaran Islam yang “disubyektifikasi” sebagai sesuatu yang inferior akhirnya lenyap dalam kepribadiannya digantikan oleh sesuatu yang disubyektifikasi secara superior. Al-Qur’an menyebutkan fenomena kemanusiaan seperti ini dengan pernyataan yang sangat tegas;

"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." (Q.S. 43: 36)

Makna Peradaban

Istilah peradaban telah banyak kita gunakan, tetapi apakah arti peradaban itu? Jika makna peradaban ini kita tanyakan kepada para akademisi di Indonesia, mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan, kecuali sekadar rabaan dengan kata-kata bahwa peradaban itu lebih luas ketimbang kebudayaan. Sebuah jawaban, yang secara epistemik, tidak menjawab apapun. Begitu juga sekiranya hal ini kita tanyakan pada para ilmuwan asing, yang memiliki background epistemologi sekuler, tentu jawabannya juga tidak signifikan karena nilai-nilai kehidupan sekulerisme atau materialisme justru bertentangan dengan Islam. Apa yang dipandang substansial dalam Islam justru disikapi sebagai sesuatu yang tidak berarti, begitu juga sebaliknya.

Cara yang cukup memadai untuk mendapatkan makna peradaban ialah dengan melacak secara leksikal. Pertama: Peradaban dirujuk dari kata addaba, yang berarti memperbaiki dan meluruskan (ashlahahu wa qawwamahu). Secara terminologis, menurut Muhammad Qutb memiliki makna seni membentuk orang secara konstan menuju kesempurnaan (fannu tasykilil insan tadrijiyyan ilal kamal). Sebagaimana sabda Nabi saw: Addabani Rabbi fa ahsana taadiibi (Tuhanku telah mendidikku dan Ia telah mendidikku dengan sebaik-baiknya).

Kedua, secara semantic peradaban Islam berasal dari akar kata Al-hadharah al-islamiyah.” Hadhara bermakna hadir dengan membawa pesan spiritual yang diekspresikan dalam format ideologi, politik, sosial, budaya dan dimensi kehidupan yang lain. Jadi tidak sekedar ada. Kebalikannya adalah badawah (nomaden), belum bisa mengungkap, mengklasifikasikan dan mengkomunikasikan isi hatinya dalam konsep yang baik. Dalam kamus Lisanul Arab, kata hadhara memiliki arti syahida (menyaksikan). Dari akar kata ini kemudian berkembang menjadi syahadat (menyaksikan Allah), syahid (mati sebagai syahid), dan syuhada ‘alaa an nasi (sebagai saksi atas manusia).

Cara lain, yang tidak kurang menariknya untuk mencari tahu makna peradaban ialah dengan jalan mengelaborasi sejarah kehidupan Rasulullah saw dan pengalaman hidup kita sendiri yang berusaha merujuk dan meneladani beliau. Dapat dikatakan di sini bahwa kita, yang hidup di Hidayatullah, pada skala tertentu sesungguhnya hidup dalam sebuah peradaban, yakni peradaban Islam. Tetapi ada sedikit dilemma di sini, yakni apa yang kita alami dan rasakan ternyata tak terkatakan. Hal ini seperti ‘ikan-ikan kecil’ yang tentunya hidup di air tetapi tidak pernah tahu secara definitif, apakah “air” itu. Oleh karena itu langkah penting untuk mendapatkan makna definitif, ialah dengan mengambil jarak (distansi), sehingga kita dapat berbicara “tentang” dan memberikan makna secara definitif terhadap sesuatu.

Dengan metode yang sama kita pun akhirnya bisa mendefinisikan secara lebih baik tentang apa itu peradaban dan apa yang dimaksudkan dengan peradaban Islam. Peradaban, secara definitif, adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Definisi ini bisa diperluas lagi, bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian peradaban Islam juga dapat didefinisikan, yakni manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Muslim.

Jika seluruh aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, hukum, seni, teknologi, sosial dan lain-lain dapat dianalogikan sebagai titik-titik dengan membentuk lingkaran, maka keyakinan adalah titik pusatnya. Bagaimana lingkaran itu akan terbentuk dan meluas, sangat tergantung pada intensitas pancaran titik pusatnya. Keyakinan membentuk lingkar spiritual, intelektual, prilaku, sikap, interaksi sosial bahkan sampai model-model bangunan dan artefak serta infrastruktur lainnya. Bangunan-bangunan megah yang berasal dari peradaban Islam, tercermin pada masjid-masjid yang merupakan tempat peribadatan umat Islam dalam mengembangkan spiritualitasnya. Sebaliknya, peradaban-peradaban berbasis materialisme dan atau sekulerisme dicerminkan oleh bangunan-bangunan besar, yang seluruhnya didekasikan untuk aktivitas bisnis atau materi, seperti pabrik, pasar dan rumah-rumah mewah. Begitu juga ketika pusat keyakinan bertumpu ‘kehidupan dan kematian’ raja-raja, seperti terjadi di Mesir masa para Fir’aun, maka bangunan-bangunan megahnya adalah kuburan raksasa atau piramid.

Dengan perspektif inilah kita dapat menyaksikan, bagaimana kelahiran peradaban Islam yang berawal dari “satu titik,” kemudian berkembang pesat, mempengaruhi gaya berpikir, wacana, prilaku dan akhlaq masyakarat dan mencapai puncaknya dengan Madinah sebagai pusatnya. Awalnya adalah kehadiran Rasulullah saw, setelah menerima wahyu pertama kali (al-‘Alaq: 1-5), kemudian dari seorang diri itu menyebar ke rumah tangga beliau, dengan titik tekan keyakinan yang sama, tawhid. Ada transmisi keyakinan yang kuat, disertai dengan peningkatan spiritualitas dan aktivitas intelektual dalam pembelajaran di rumah Arqam bin Arqam.

Selama 13 tahun periode Mekkah, para sahabat itu telah mengalami pencerahan (englightenment), menjadi pribadi-pribadi dengan integritas spiritual, intelektual dan akhlaq yang tinggi. Ciri-cirinya terletak pada visi hidupnya yang jauh ke depan, seperti tercermin dalam al-Qalam, integritas personalnya seperti al-Muzammil dan tanggung jawab kemanusiaan seperti al-Muddatstsir. Karena itu ketika terjadi interaksi peradaban antara Islam dengan Kristen yang pertama, yakni saat sejumlah sahabat hijrah ke Abbesyinia, terasa sekali superioritas Islam dalam suatu “dialog peradaban” yang direpresentasikan oleh Ja’far ibn Abi Thalib dengan para pembesar kerajaan itu.

Peradaban Islam lebih menekankan pada manusia; bagaimana cara membangunnya terutama dimensi esoteriknya, spiritual dan intelektual, dan bukan menekankan pada hal-hal yang bersifat fisik atau material. Karena itu, ketika syahadah telah dideklarasikan maka upaya-upaya selanjutnya, sebagaimana tercermin dalam surat-surat awal turunnya Al-Qur’an, sepenuhnya diupayakan untuk membangun integritas manusia, dari asfala safilin menjadi ahsanu taqwim. Tentu saja untuk mencapai kondisi demikian, juga menggunakan prasyarat utama dalam diri manusia itu sendiri, sejauhmanakah ia bersedia dan tidak membatasi diri terhadap doktrin-doktrin tauhid dengan segala konsekwensinya dalam hidup.

Dalam hal ini interiorisasi ajaran Islam pada masing-masing pribadi, apabila harus dirinci lebih lanjut, maka akan ditunjukkan citra yang lebih kurang merupakan “transformasi” atas diri manusia itu sediri dari asfala safilin ke jenjang ahsanu taqwim. Tahap awal bagi seseorang untuk melaju ke jenjang muttaqien, didahului oleh keberanian untuk memutuskan (decider). “Memutuskan “ ini meliputi keberanian melakukan perencanaan, pemilihan dan motivasi secara tuntas, dari kekacauan dan disintegritas hidup serta pecahnya tujuan, menuju tujuan dan integritas, serta secara teleologis mengacu kepada Tuhan. Apa yang dalam Islam disebut syahadah,1 adalah sebuah “proklamasi” yang ternyatakan dari diri manusia dari keadaan semula yang tiada menuju keadaan yang ada.

Tahap berukutnya adalah melakukan (act). “Melakukan” dalam artinya yang fundamental adalah mengerakkan (to act) setiap aspek insaniahnya sehingga menghasilkan pragma (amal). Islam mempunyai doktrin tentang amal yang menjadi kewajiban umum (fardhu’ain) bagi muslim yang digelar dalam; amr bin ma’ruf wa ‘I nahy ‘an-il-munkar). Dalam konteks “melakukan“ sudah barang tentu setiap konsepsi “dualisme” dalam diri manusia harus ditolak.

Tahap terakhir meliputi (consentir) yang dapat dimengerti sebagai “manerima,” membuat “setuatu” menjadi miliknya sendiri. “Menyetujui” itu meliputi keniscayaan universalitas Islam (doktrin dan aturan) yang bukan dalan kerangka “penerimaan obtektif” belaka tatapi terhayati; Keniscayaan universal yang melekat dalam subjetivitasnya. Al-Qur’an menggambarkan keadaan manusia yang demikian itu dalam suatu pernyataan;

Mereka apabila diseru Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul mengadili diantara mereka, mereka datang dengan ucapan, sami’na wa atho’na, “kami dengar dan kami taat”(Q.S. 24: 51).
Mereka inilah yang menerima Islam dengan sepenuh hati (Q.S. 2: 208; 4: 125)
dan mereka orang-orang yang menerima Al-Qur’an secara keseluruhan, tanpa ragu-ragu dan mengambil sebagiannya dengan meninggalkan sebagian yang lain (Q.S. 13: 36).
Mereka cukupkan perilakunya dengan Al-Qur’an dan bukan memanipulir Al-Qur’an untuk mengumbar hawa nafsunya sendiri.

Seluruh proses penahapan ini pada akhirnya akan bermuara pada “kebebasan,” bukan dalam arti yang absolut, tetapi berpijak pada dataran manusiawi. Manusia yang bebas secara sadar dapat menyalurkan inisiatif dan kreasinya serta mampu mengkonstantir pada setiap transformasi natural, dan terutama transformasi sosÙ‡al. Dengan demikian mereka adalah manusia-manusia yang secara representatif mampu memerankan diri sebagai pemegang amanah khalifah fil ard. Dari dataran inilah umat Islam mampu menggelar tata kehidupan dan peradaban baru yang dinamis dan ekspansif.

Keadaan-keadaan yang demikian itu telah ada pada pribadi-pribadi sahabat, tabi’in atau katakanlah umat Islam yang awal. Sehingga ketika mereka melakukan ekspansi (atau lebih tepatnya dakwah) terlihat suatu mobilitas dan semangat juang yang tinggi. Kenyataan umat Islam yang demikian itulah yang mendatangkan sanjungan dari Al-Qur’an:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Itulah mengapa, jika ditelusuri secara seksama bagaimana wujud peninggalan peradaban Islam yang paling agung itu, dengan perspektif materialis, tetap tidak diketemukan apa-apa kecuali Masjid Nabawi di Madinah. Warisan peradaban Islam pada zaman itu tidak terdiri atas bangunan-bangunan mati, tetapi keberadaan manusia-manusia shaleh, seperti kehidupan para sahabat, yang melalui buah pikiran, akhlaq dan sejarahnya orang-orang yang hidup di zaman ini tetap mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.

Peradaban-peradaban Manusia

Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Dengan definisi ini maka, dapat disaksikan bahwa dalam kehidupan dunia ini, secara historis kita dapati peradaban-peradaban manusia yang pernah ada dan bahkan, banyak di antaranya masih tetap bertahan hingga sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Bagaimanakah peradaban-peradaban itu berkembang dan mencapai puncak keagungannya, dapat kita telusuri dalam fenomena sejarah yang dilaluinya.

Mesir purba yang terkenal dengan piramida-piramida raksasa yang tetap menarik sebagai obyek wisata sampai hari ini, adalah warisan dari suatu peradaban yang keyakinan dasarnya menyembah dewa-dewa. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah posisi raja-raja (Fir’aun) yang diperankan sebagai anak dewa atau mewarisi otoritas dewa dalam mengatur rakyat dan menguasainya. Dari keyakinan ini kemudian muncul pendukung, yang terdiri atas orang-orang yang dianggap pintar, untuk menyebarkan keyakinan tersebut ke tengah-tengah masyarakat, membangun kesadaran publik sekaligus “menyandranya,” sehingga seluruh rakyat terbelenggu olehnya. Pendukung berikutnya adalah teknolog dan para militer yang siap mengantisipasi, jika ada sebagian rakyat melakukan perlawanan terhadap keyakinan itu, yang pada kenyataannya dimanifestasikan dalam kehendak raja-raja.

Kita tahu bahwa tindakan manusia pada dasarnya adalah buah dari kesadaran yang dimilikinya sendiri. Karena itu ketika kesadarannya telah tersandra oleh keyakinan seperti ini, maka tindakan-tindakan rakyat yang dimungkinkan adalah ketundukan total atas kehendak raja. Jika ada satu bentuk perlawanan yang paling sederhana sekalipun, mungkin akan diredam oleh sebagian rakyat yang lain, karena takutnya mereka kepada raja. Dari sini segera kita tahu nilai-nilai kemanusiaan apa yang dapat berkembang dari keyakinan seperti ini, selain dari perbudakan itu sendiri. Raja adalah sumber kehendak, dan seluruh rakyat yang harus bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Karena itulah dapat disaksikan bahwa dalam kebesaran pyramida yang dibangun para Fir’aun tersebut, selalu berarti pengorbanan ribuan manusia dan para budak. Jasad dan tulang-belulang manusia diaduk bersama pasir dan material lainnya untuk dijadikan perekat batu-batu, sehingga jadilah pyramid itu. Dan ketika Fir’aun menghendaki setiap anak-anak laki yang lahir untuk dibunuh, maka tak ada seorang pun yang bisa menolaknya.

Apa yang terjadi di Mesir, dalam skala yang berbeda juga terjadi di Arab, di mana peradaban Arab jahiliyah lahir dan perkembang. Di Daerah ini, meskipun terdapat maqam Ibrahim dan ajaran tawhid yang dibawanya dan Ka’bah yang berdiri tegak, namun realitas sosial selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang Arab lebih suka terhadap berhala-berhala yang dibuatnya sendiri. Fenomena keyakinan dan penyembahan berhala yang ada di Arab, justru berawal dari suatu kasus yang sederhana dan terkesan ikut-ikutan. Tetapi begitulah yang terjadi, ketika berhala telah di buat dan sejumlah tokoh mengakui otoritasnya, katakanlah sebagai pelindung rakyat, pemberi kemakmuran dan hujan serta penolak segala bentuk bencana, maka dengan cepat keyakinan seperti ini akan menyebar, baik secara aktif maupun pasif ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Berbagai bukti pendukung, baik berupa keajaiban (sihir) maupun keberuntungan dalam proses penyembahan berhala ini akan terus diproduksi untuk membangun sistem kesadaran publik terikat kepadanya. Ketika keyakinan seperti itu sudah tegar, maka sejumlah elite sosial yang ada akan mengawalnya dengana sepenuh hati, karena mereka dalam berbagai hal diuntungkan dengan paganisme ini. Nilai-nilai hubungan sosial yang terbangun pada gilirannya juga melahirkan perbudakan. Nilai etika, kehormatan, seni dan semua mengarah pada muara yang sama yakni materialisme. Seseorang membunuh anak perempuannya, karena itu merasa aib bagi keluarga yang didasarkan pada nilai-nilai materialisme di mana anak perempuan tidak menghasilkan materi apapun.

Dalam satu situasi kehidupan, di mana elite penguasa dibantu oleh kelompok ilmuwan (tukang sihir, penyair atau akademisi), kelompok militer dan orang-orang kaya (seperti Qorun) dalam menghadapi mayoritas rakyat yang tak berdaya dan sendirian, maka seberapa lama pun sejarah yang dibuatnya, tak lebih dan tak kurang adalah sejarah perbudakan manusia atas manusia.

Nilai-nilai kehidupan yang tumbuh subur adalah kemungkaran, penindasan, ketidakadilan, kebohongan, hilangnya prikemanusiaan dan tak ada lagi harga kehidupan manusia. Mungkin saja dalam situasi ini ada beberapa orang yang kesadarannya masih sehat dan tidak terlibat kenistaan tersebut, tetapi mengharapkan rakyat untuk memberikan perlawanan, jelas tidak mungkin, karena sistem kesadarannya telah berubah menjadi mental-mental budak. Dalam hal ini, Al-Qur’an memberikan catatan sejarahnya, bahwa akhir dan untuk mengakhiri kehidupan seperti itu ialah dengan diutusnya para rasul atau bangsa (kaum) tersebut menerima azab mematikan.

Pola kejahiliyahan dan peradaban yang dibangun di atas keyakinan ini tidak hanya berlaku pada zaman dahulu, tetapi juga bisa terjadi pada zaman modern ini. Bagaimanakah peradaban modern dibangun, apa yang menjadi keyakinan dasar dari peradaban modern ini, elite mana saja yang memberikan dominasi atas kehidupan manusia. Nilai-nilai apa saja yang diperkenalkan kepada masyarakat internasional dan sekaligus berfungsi untuk membelenggu kesadarannya. Siapa-siapakah yang menjadi korban dan siapa-siapa pula yang akan mampu menjadi pembebas.

Jauh sebelum Barat menampakkan diri sebagai peradaban modern seperti yang kita saksikan sekarang ini, manusia di belahan bumi bagian Timur dan Selatan sebenarnya telah meninggalkan bekas –bekas peradaban yang cukup penting. Pada sekitar lima abad SM, Tiongkok menpunyai Kong Fu Tse (551-478), Lao Tse (604 SM), yang dianggap orang sebagai penulis Tao Te ching, sebuah canon yang menjadi dasar filsafat dan keyakinan hidup bagi masyarakat di China dan Asia Timur lainnya. Dalam era yang hampir sama, di India melalui tangan-tangan emas para brahmana muncul kitab Upanishad yang bersifat filosofis religius. Begitu juga dengan Iran yang kokoh dengan Zaratrustra (Zoroaster); sebuah ajaran Dualisme awal yang menganggap dunia ini sebagai medan pertempuran terus-menerus antara kebajikan (Dewa Ormuzi) melawan dengan kejahatan (Dewa Ahriman), yang berakhir dengan kemengan Ormuzi. Tetapi perkembangan yang bersifat keagamaan, yang justru lahir lebih awal terjadi di Palestina, ketika Irmia melalui risalah kenabiannya menyerukan dokrin-dokrin tawhid yang tidak saja merupakan hasil renungan, melainkan berkenaan dengan otorisasi mutlak Allah. Fenomena yang terjadi di Palestina ini, meskipun dikategorikan sebagai dualisme antara Irmia (yang cenderung berpaham pesimis) dengan oposisi klasik Hanania (yang cenderung berpaham optimis), tetapi jelas mempunyai kebedaan esensisal.

Fenomena keagamaan yang tumbuh di berbagai belahan dunia, diangkat melalui renungan-renungan subjektif. Sementara di Palestina didasarkan pada dan bersumber langsung kebenaran mutlak. Akan tetapi sebuah perkembangan baru yang terjadi di Yunani abad V SM, memang harus diakui sebagai keajaiban terhadap pola umum perkembangan peradaban yang berlangsung pada era itu. Keajaiban itu terletak pada kemampuan Yunani mengabstrasikan segala sesuatu ke dalam kesatuan pengertian, yang belum pernah dilakukan oleh peradaban klasik lain. Perkembangan peradaban di Yunani yang merupakan keajaiban itulah yang selalu menjadi sandaran dasar bagi paradaban Barat di Eropa dan peradaban modern pada umumnya.

Yunani mulai debutnya sebagai peradaban ajaib dimulai oleh penolakan masyarakat Athena yang “berani menggugat segala bentuk keajaiban.” Kemengan prinsipil yang merupakan peletak dasar peradaban Barat, dibangun oleh masyarakat Yunani dengan tiang pancang intelektual. Mereka mulai bertanya-tanya tentang “sesuatu” di balik rahasia dan keajaiban, mereka tidak mau menelan begitu saja keajaiban sebagai “keajaiban.” Didukung oleh situasi alam yang bersahabat, memungkinkan masyarakat Yunani tidak harus merasa takut dan tunduk terhadap alam, sebagaimana pada masyarakat lain dengan alamnya yang keras. Tetapi sebaliknya, mereka mengantisipasi alam dengan sikap bebas dan tanpa wasangka terlebih dahulu. Perubahan-perubahan pada alam yang menghasilkan panorama yang indah, dalam alam pikiran Yunani diterima sebagai media observasi yang mengasyikkan. Nafsu ilmiahnya yang menggelora, menyebabkan dalam waktu yang relatif singkat terjadi perkembangan-perkembangan penting, terutama di lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Hasrat insani untuk menaklukan alam, lambat laun mempengaruhi perubahan persepsional manusia tentang “dirinya” dan posisinya terhadap alam. Karena itulah maka, ketika Timur berkembang menjadi “peradaban pesimis” dan menolak dunia, sementara Barat tumbuh sebagai “peradaban optimis” dan menolak selain dunia. Penghormatan akan diri sebagai eksistensi yang mulia, dikemukakan oleh Protogoras, seorang sofis dengan statemennya yang terkenal; ”Manusia menjadi ukuran segala yang ada.”

Kelahiran manusia “ajaib” dalam suatu peradaban yang ajaib, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, adalah musibah awal bagi tradisi animistik Yunani yang masih tersisa. Ketiga orang itu, yang merupakan Trinitas di bidang filsafat telah menancapkan tiang pancang pranata-pranata kehidupan. Socrates dalam gaya yang intrinsik adalah seorang pembangun di bidang etika, moral dan norma sosial bagi masyarakat beradab. Plato, mistikus klasik ini memiliki semangat yang kokoh sebagai bapak idealis. Begitu juga dengan Aristoteles, dalam kapasitas intelektual yang cemerlang, mampu membangun tonggak-tonggak materialisme, juga melangkapi pemikiran-pemikirannya dengan produksi ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin. Karya-karya monumental dari ketiga orang ini saja, sebenarnya telah cukup bagi Barat-Yunani untuk membangun mercu peradabannya, apalagi jika harus ditambah dengan sederet filosof lain dan saintis. Oleh sebab itu menjadi tidak mengherankan ketika para sejarawan membongkar sampai ke akar-akarnya dari peradaban klasik ini sebagi studi komparasi yang mengasyikkan.

Pergeseran-pergeseran kekuasaan, dari Yunani kepada Romawi walaupun banyak ditandai dengan pertempuran-pertempuran konvensional, tetapi justru merupakan era perkawinan yang suplementatif. Eropa di bawah Romawi bertambah dewasa, karena dalam masa kekaisaran Romawi, hukum telah diterapkan meskipun dalam batas-batas yang masih sulit dari kanibalisme. Tetapi perkembangan ini lebih menarik, karena adanya suatu pemerintahan yang teratur. Bahkan boleh dikatakan, bahwa dunia pada saat itu sudah mempunyai suatu pemerintahan yang berpusat di Roma.

Kandungan psikologis peradaban klasik Barat yang sedikit banyak tertanam benih-benih sekulerisme dan materialisme ini, untuk pertama kalinya disentakkan oleh umat Islam yang datang secara mencengangkan. Meskipun Barat telah terpermak oleh Nasrani (yang pesimis terhadap dunia), tetapi watak sekulerisme dan materialisme telah terlanjur dewasa, sehingga ketika umat Islam datang dengan prilaku religiusnya masyarakat Barat terheran-heran. Luas dan kecepatan ekspansi Islam itu sendiri, sesungguhnya suatu rangkaian pristiwa paling menakjubkan dalam sejarah peradaban manusia.

Setelah kekalahan Bizantium dalam perang Yarmuk tahun 636, Islam membedah Palestina dan Syiria. Berlanjut dengan pertempuran Qodisyiyah, tahun 537, Iran (Persia) ditaklukkan Islam. Perluasan wilayah berkembang ke arah selatan, antara 639 smpai 642 pasukan Islam menduduki Mesir, sedangkan Babylon jatuh pada tahun 642. Sementara itu penaklukan merembes terus kepesisir Afrika utara, Cyrenaica, Tripoli dan Tunisia bobol tahun 647. Bangsa Barbar Maroko, yang meskipun pada awalnya sangat menyulitkan ekspansi, tetapi akhir tahun 709 umat Islam juga sampai ke selat Giblatar, karena jendral Tarikh berhasil membujuk hati bangsa Barbar tersebut sebagai pasukan. Tujuan utama memasuki Eropa pertama adalah mengusai Spanyol, tak seberapa setelah Spanyol dapat ditundukan dengan melalui perang yang menentukan dekat Jabl al-Tarikh, razia dilanjutkan keToledo. Kemudian tahun 713 orang Islam dapat mengalahkan raja Got-Barat (Rodrogo), maka berakhirlah pemerintaha Jerman Got yang menguasai Spanyol selama tiga abad.

Sementara itu dari Syria umat Islam menaklukan Asia kecil dan Armenia. Konstanitopel diblokade tahun 673 namun Byzantium dengan “api Yunaninya” dapat bertahan dan mempertahankan kotanya. Tetapi pada tahun 717, melalui selat Bosporus umat Islam mengepung kembali secara ketat, meskipun dmikian Konstatinopel baru benar-benar dapat dikalahkan pada tahun 1453, ketika umat Islam dipimpin oleh bangsa Turki. Sedangkan di Eropa Barat umat Islam menyerbu ke Perancis, dengan melalui pegunungan Pyrenia. Tahun 752 mengadakan razia ke Bordeux, Soveye dan Swiss. Dalam batas itu komposisi pertempuran kemudian berbalik ketika Karl Martel, mangkubumi Perancis dapat mempecundangi Abburahman dalam pertempuran 732 antara Tours dan Poiters. Sejak itu timbul perayahan kembali (reconquista) dan mencapai puncaknya ketika pertahanan umat Islam di Grenada, jatuh ke tangan orang-orang Katholik.

Ekspansi besar ini bagi dunia Barat, bukanlah peristiwa tragis yang harus diratapi, melainkan akibat peperangaan itu sendiri yang perlu disimak. Umat Islam melakukan ekspansi ke Barat tidak berniat untuk menjarah tetapi menyebarkan Islam dalam membawa peradaban baru yang lebih manusiawi. Di samping itu Barat selayaknya berterima kasih kepada umat Islam lantaran pendidikan yang diprolehnya selama ekspansi itu. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesanggupan cendekiawan-cendekiawan Muslim mengupas peradaban Yunani klasik, yang akhirnya dapat dikunyah Barat pada abad ke XV. Tanpa melalui tangan-tangan emas seperti al-Kindi (w. 783), al-Farabi (w. 961), Ibn Sina dan Ibn Rusyd (1198), barangkali Barat tetap sebagai “peradaban bisu.”

Sebagai suatu pengertian yang benar, hal demikian adalah penting. Karena karya Yunani klasik yang merupakan dan hampir seluruhnya adalah docmatica dicta, tak pernah disentuh oleh maysarakat Barat sendiri sampai abad ke VII. Tetapi ketika al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi dan terutama Ibn Rusyd mampu menghargai karya Aristoteles dan Plato yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Arab, Barat baru belajar menulis “namanya” sendiri, dan berhasil menikmati karya-karya tersebut jauh setelah abad XV, ketika beberapa sarjana berhasil meloloskan diri ke kota Florence dengan membawa naskah-naskah klasik nenek moyangnya, peradabn Yunani. Artinya, Barat membaca karya Yunani klasik melalui “mata” para ilmuwan Muslim. Di samping itu instrumen pengetahuan lainnya terutama matematika yang tersusun secara agak terinci dalam peradabn umat Islam, adalah pendorong yang efektif bagi lahirnya peradaban Barat baru yang spektakuler.

Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa umat Islamlah, yang memberikan kontribusi terbesar dalam membangkitkan Eropa. Sebab-sebab lainnya masih banyak, misalnya kesatuan etnis yang melahirkan “ghirah” dalam wujud balas dendam, berbagai tekanan dan penindasan yang pada akhirnya melahirkan kesadaran baru. Yang jelas kebangkitan Barat pada abad XVI itu, yang dilukiskan sebagai Renaisance (kelahiran kembali), bukan suatu peristiwa besar yang datang secara tiba-tiba. Kelahirannya ditandai dengan pergumulan psikologis dan berubahnya pandangan hidup manusia tentang dunia.

Pandangan hidup Barat era pertengahan, pada umumnya terpusat pada pencapaian kesejahteraan akhirat semata-mata, serta menunjukkan sikap permusuhannya pada dunia. Kutukannya terhadap dunia terutama sekali berkat suntikan ajaran Nasrani ortodoks, yang memang sarat dengan cinta kasih dan pengobanan. Bangunan mitos kemanusiaan yang disusun oleh imam Gereja, St. Augustinus, berdasarkan Injil yang mereka susun; awalnya sejarah manusia di surga sebagai simponi kesejahteraan; manusia jatuh ke bumi ke dalam lembah penuh dosa, yang pada dasarnya baru dapat ditolong karena “Tuhan mengorbankan anak satu-satunya, Kristus (Isa Al-Masih), sebagai penebus dosa dan juru selamat,” adalah sebuah ajaran “penantian” yang juga merasuk ke dalam kesemua ajaran agama dan doktrin hidup. Karena itu masyarakat Barat abad pertengahan dengan sabar menanti kedatangan kembali Yesus Kristus, untuk mengusir iblis makhluk terkutuk dari dunia.

Tetapi kapan sebuah penantian akan berakhir, sehingga Yesus dapat mendirikan kerajaan tuhan (civitas dei) di muka bumi? Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak akan muncul pada otak-otak beku seperti Bishop dan Hirarki kegerejaan. Tetapi bagi Francis Bacon atau Erasmus atau bahkan pada diri seorang seniman Leonardo da Vinci, pertanyaan itu adalah wajar dikemukakan. Karena manusia berhadapan dengan realitas secara langsung yang tak sepi dari berbagai ancaman dan bencana, sementara “menanti” bukanlah tindakan yang tepat dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup.

Masa menanti datangnya sang Juru Selamat yang turun ke dunia, katakanlah mulai jatuhnya Konstantinopel ketangan umat Islam tahun 1453 sampai dengan usia kematangan Bacon (w. 1626), bukan lagi dapat disebut sebagai penantian. Oleh sebab itu menjadi wajar apabila Bacon mulai melancarkan kecaman-kecamannya terhadap pandangan hidup abad pertengahan. Bacon membongkar konsepsi pengetahuan yang berlangsung abad pertengahan dengan selubung mitos, digantikannya dengan tiang pancang eksperimen dan akal budi sebagai dasar baru bagi ilmu pengetahuan.

Begitu pula dengan Erasmus, ketajaman pena yang menukik jantung peradaban gelap abad pertengahan, tidak saja dirasakan oleh kalangan sosial tertentu, tetapi juga menjebol dinding gereja. Erasmus dalam kecaman-kacamannya menyerang secara langsung kepada pendeta-pendeta Nasrani; “Di antara pendeta-pendeta itu banyak yang sangat berpegang pada upacara-upacara yang mereka lakukan dan berpegang kepada kebiasaan yang bersifat kekanak-kanakan, yang dibuat manusia sendiri. Satu surga saja belum cukup sebagai atas perbuatan mereka yang sangat hebat itu. Mereka lupa, bahwa pada hari perhitungan Yesus Kristus akan menanyakan kepada mereka, apakah menjalankan perintahnya yang terpenting, yakni mencintai sesama manusia. Kristus tidak akan menanyakan upacara-upacara, yang hanya bersifat lahir saja.” Kritik-kritik tajam ini bukan saja sekedar membongkar bangunan lama, tatapi Erasmus juga menawarkan bangunan baru yang lebih tegar, dengan jalan merekontruksi peradaban Yunani klasik, dalam bentuk karya tulis yang mudah dinikmati. Di samping itu jasa yang cukup besar di bidang keagamaan adalah, intrepretasinya yang orisinil terhadap Injil.

Jiwa-jiwa yang memberontak terhadap era pertengahan ini, semula hanyalah letupan-letupan kecil yang tidak mempunyai gaung. Tetapi kondisi era pertengahan yang sedang sekarat, mengharuskan masyarakat Eropa berlomba memperoleh ide-ide spektakuler tersebut, sebagai sebuah komoditi baru dalam ‘pasaran bebas’ untuk menginjeksi tata gelar kehidupan yang diseubungi mitos-mitos penantian. Barat sebagai sebuah gunung yang akan meletus, telah menunjukkan semburan-semburan api dipuncaknya, suhu yang semakin panas dan adanya pergeseran-pergeseran batuan dalam perut gunung yang bekerja semakin hebat. Masyarakat di kota Florence yang kaya raya itu di tangan kaum Borjuis berkomentar; hidup bukanlah pengabdian kepada tuhan, tetapi untuk dinikmati. Lukisan tentang surga, pederitaan Kristus berubah watak, menjadi lukisan diri sendiri, yang gila terhadap pengakuan dan penghormatan. Leonardo da Vinci dalam protesnya kepada Tuhan mengatakan; “Engkau wahai Tuhanku, hargailah kami sesuai dengan jerih lelah kami.” Sikap dan pandangan hidup yang sama sekali berubah terhadap dunia ini, pada intinya adalah sikap protes terhadap penyelesaian abad pertengahan yang fatalis. Seorang penulis berkabangsaan Italia, Guarcciardini melalui keyakinannya yang realistik, ia menulis dalam tema-tema yang sekuleristik.

Perubahan pandangan hidup dan sikap, pada akhirnya membawa pula perubahan-perubahan tingkah laku manusia. Dan pandangan Barat sekitar abad XVI yang memusat pada orientasi-orientasi materialis dan egoisme, telah membuktikan diri sebagai manusia-manusia yang mengembangkan wawasan ilmu dan pengetahuan yang lebih Progresive. Instrumen-instrumen teknologi sebagai penunjang kehidupan sehari-hari, yang mula-mula diimpikan oleh Bacon menjadi realitas yang menandai era renaisans. Mula-mula penemuan itu adalah suatu kebetulan, tetapi dari kebetulan itu dikembangkan serta didaya gunakan untuk keperluan industri. Maka dalam waktu yang ralatif singkat Barat melakukan ekspansi besar-besaran kearah Selatan dan Timur, yang hampir seluruhnya berpenduk muslim, mistisime atau campuran antara keduanya.

Kekuatan ekspanisonisme Barat yang laksana muntahan lahar dari gunung meletus ini, didahului oleh ekspedisi-ekspedisi kecil dalam jumlah yang tidak berarti. Misalnya petualangan Colombus menemukan benua Amerika tahun 1492, Vasco da Gama dengan mengelilingi Afrika, menemukan India tahun 1494. Kemudian petualangan ini semakin besar dalam gelombang-gelombang manuisa Portugis dan Spanyol, akhirnya bangsa-bangsa Eropa utara yang bergerak lebih cepat. Selama empat abad proses ini tidak pernah berhenti, tetapi semakin berkembang dan meluas ke daerah-daerah lain. Orang-orang kulit putih begitu yakin dengan kemenangan-kemenangan yang telah diperolehnya, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka akan “menelan” dunia. Pandangan hidup demikian didukung oleh rasa superioritas ras Nordik, pengalaman-pengalaman pahit ketika dijajah oleh umat Islam, dan faktor yang tak kalah pentingnya dalam ekspansi itu adalah kesempurnaan instrumen-instrumen teknologis, terutama persenjataan. Hanya pertempuran Rusia-Jepang pada tahun 1904 yang dimenangkan Jepang, anggapan demikian mulai bergeser dan tidak seberingas sebelumnya.

Hegemoni Peradaban Barat

Peradaban Barat modern yang kita kenal sekarang ini, jika dikaji secara cermat adalah suatu peradaban yang menempatkan materi, suatu simplifikasi atas pandangan Aristotelian tentang materia prima, sebagai titik tolak keyakinannya. Keyakinan material inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti sumber motivasi (n-ach), verifikasi keilmuan, gaya dan standardisasi hidup bahkan secara vulgar menuding bahwa kemiskinan (ketiadaan materi) adalah sumber kejahatan.

Dalam verifikasi keilmuan peradaban material ini memberikan otoritas tertinggi pada model-model pengujian tentang benar tidaknya sesuatu atau ada tidaknya sesuatu, secara indrawi dan laboratoris. Jika obyek-obyek yang dikaji itu berkenaan dengan fisika, sudah barang tentu merupakan kontribusi yang cukup besar, sekalipun model verifikasi ini tidak mungkin menjangkau asal mula sesuatu (prima causa) dan juga fungsi proporsional tentang obyek yang diuji tersebut, selain dari memperturutkan ambisi manusia. Tetapi jika model verifikasi yang sama digunakan untuk menguji hal-hal yang bersifat metafisis, seperti adanya fitrah manusia yang berdasarkan tawhid, hati nurani, adanya kebangkitan kembali pasca kehidupan ini dan hal sejenisnya, maka jelas model verifikasi material ini sama sekali tidak membantu. Tetapi masalahnya adalah bahwa bagi peradaban Barat yang materialis ini ketika hendak menguji atau memverifikasi segala sesuatu, apapun itu, jika tidak berhasil, mereka menyingkirkan obyek tersebut dari ruang publik dan melarang siapapun untuk membawa persoalan tersebut sebagai persoalan publik. Kegagalan dalam menguji sesuatu, menjadikan sesuatu itu justru disingkarkan, sekalipun itu adalah kebenaran yang hakekatnya sangat dibutuhkan manusia. Doktrin sekuler, yakni pemisahan urusan agama dengan dunia, sedikit banyak dipengaruhi oleh model verifikasi keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat modern ini.

Begitu juga halnya dalam aspek gaya hidup dan penghargaan manusia yang satu atas manusia yang lain jelas ditunjukkan seberapa besar asset yang dimilikinya. Siapakah kamu? Pertanyaan ini, dalam “bawah sadar” orang-orang Barat modern, berarti berapa uang yang anda miliki, luas tanah, perhiasan, kendaraan dan hal-hal material lainnya. Semakin banyak anda memiliki itu, maka penghormatan besar akan diberikan. Begitu juga sebaliknya, jika anda tidak memiliki hal-hal material tersebut, maka itu berarti anda bukanlah siapa-siapa; eksistensi diri anda dinafikan. Ketika orang-orang miskin meratap dan berusaha mempertahankan hak-haknya untuk hidup, misalnya dengan cara berjualan, maka dapat kita saksikan betapa beringas dan kejamnya “kaki tangan” pemilik modal ini dalam menghardik dan mengusir mereka. Tentu semua itu mereka lakukan berdasarkan dari aturan yang sudah dibuat, tetapi mengapa aturan dibuat seperti itu, itu juga merupakan kepanjangan dari pemodal sendiri. Dalam kapitalisme tidak ada nilai-nilai kemanusiaan atau kasih sayang, tetapi menguntungkan atau tidak, karena materi adalah ukuran yang utama.

Di atas keyakinan dan orientasi hidup dengan nilai-nilai turunannya itulah, secara global dapat kita lihat Amerika Serikat menempatkan diri sebagai raja atau patron peradaban Barat ini, seperti Fir’aun di era Mesir kuno. Fenomena peradaban material ini juga sama dengan masa jahiliyah dulu, yakni tersutrukturisasi dalam pola hubungan patron-klien. Amerika adalah patronnya, maka dapat kita lihat bahwa World Bank, IMF, G-7 dan sejenisnya ibaratnya seperti Qarun. Sementara NATO memainkan peran sebagai tentara-tentara yang siap melayani keputusan Amerika, maka perguruan tinggi di Barat, para ilmuwan dan peneliti berperan sebagai tukang sihir yang menjungkirbalikkan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan dalam kehidupan. Dalam hubungan patron-klien ini, kedua belah pihak saling memperoleh keuntungan dan, sebaliknya, yang dirugikan adalah mereka-mereka yang tidak memiliki koneksi dengannya, yang mayoritasnya adalah masyarakat Muslim.

Materialisme adalah inti peradaban barat madern ini, tetapi bagaimana inti ini dapat terlindung dari gempuran, maka dibuatlah orbit yang berupa wacana-wacana, isu dan tema-tema yang terasa manusiawi, tetapi sebenarnya menjebak. Misalnya, isu tentang hak azasi manusia, demokrasi, gender, lingkungan hidup dan sebagainya. Isu-isu ini seperti sarana untuk menjebak dan memburu, masyarakat mana yang tidak mengikuti jejaknya atau mencoba mengganggu status quo yang dinilikinya. Apa itu hak azasi, jelas antara satu peradaban dengan peradaban lainnya berbeda. Islam misalnynya, menekankan bahwa hak azasi adalah ketika seseorang bisa secara bebas memanifestasikan fitrahnya, terbebas dari belenggu paganisme. Sebaliknya, dalam Barat materialisme, hak azasi bisa juga berarti ekspresi bebas untuk porno aksi, bahkan kini perkawinan sejenis pun, yang merupakan tiruan dari kaum Nabi Luth yang diazab itu, juga disebut sebagai hak azasi.

Negara-negera Muslim seringkali dihujat karena tidak menerapkan demokrasi, karena siapapun yang mempelajari Islam akan pahak bahwa kebenaran dan kekuasaan Tuhan tidak identik dengan suara mayoritas. Tetapi dalam sebuah kasus yang terjadi di Aljazair, ketika rejim militer menyelenggarakan Pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FIS (Front Perlawanan Islam), toh Pemilu dibatalkan dan rejim militer dipulihkan dengan campur tangan Perancis.

Konflik dan Benturan

Sifat dari suatu peradaban besar adalah ekspansif; menyebarkan dan mentransmisikan ajaran-ajaran, nilai-nilai, gaya hidup dan wacana ke berbagai aspek kehidupan dan ke seluruh umat manusia. Sifat dasar inilah yang membuat ideologi itu berkembang pesat dan selanjutnya berkarakhter hegemonik terhadap seluruh umat manusia yang mampu dijangkaunya. Sementara di bumi ini, ada sejumlah peradaban yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain. Lalu apakah yang akan terjadi jika peradaban-peradaban itu bertemu dalam sejumlah aspeknya? Jawaban sederhana dari fenomena pertemuan dua peradaban atau lebih ada beberapa kemungkinan. Pertama, yakni dialogis atau suplementatif, jika peradaban-peradaban yang bertemu tersebut tidak sempurna atau tidak bertolak belakang secara prinsipal. Kedua, adalah konflik atau benturan, karena titik tolaknya dari orientasi yang bertentangan.

Kapitalisme yang merepresentasikan peradaban yang didasarkan pada materialisme pernah dikritik keras oleh Karl Marx, yang dalam karyanya Das Capital, meramalkan runtuhnya Kapitalisme. Tetapi, sebenarnya orientasi Kapitalisme maupun Marxisme adalah sama, yakni materialisme. Perbedaan keduanya, dalam perspektif ekonomi, hanya terletak pada hubungan kerja antara modal dengan buruh; dalam Kapitalisme penekanannya pada supremasi capital (modal) sementara dalam Marxisme pada supremasi buruh (pekerja, proletarian).

Materi sebagai suprastruktur, memberikan pengaruh dalam tata negara dan pemerintahan, estetika, hukum, sains dan semua aspek kehidupan manusia lainnya. Karena itu, tidak ada benturan yang berarti antara kapitalisme dengan sosialisme, Barat dengan Komunis. Tetapi dalam realitas sejarah yang ada, kedua peradaban dan ideologi materialisme ini adalah saling “bermain mata” untuk memecah belah negara-negara dan masyarakat lain untuk masuk ke dalam orbitnya, dan itu berarti pasar yang terbuka bagi propaganda ideologi maupun penjualan senjata. Betapa banyaknya negara-negara kecil, termasuk Indonesia menjadi ‘barang mainan’ Kapitalisme atau Komunisme (keduanya adalah materialisme), mereka membelanjakan anggaran belanja, mengagitasi dan memprovokasi rakyat dan saling membunuh sesama anak bangsa.

Dalam pola hubungan yang agak berbeda terjadi antara peradaban materislisme Barat dengan sejumlah peradaban Timur, seperti Hindu di India, Konfusianisme di China dan Shintoisme di Jepang. Peradaban-peradaban ini pada dasarnya memiliki doktrin spiritualisme yang kaya, seperti tercermin dalam ajaran Upanishad dan Baghawad Gita, tetapi segera kita sadari bahwa ajaran-ajaran spiritualisme Timur ini tidak memiliki refleksi spiritualitas atas kehidupan sosial dan material. Artinya, meskipun ajaran mereka memiliki kandungan spiritualitas yang kaya, tetapi sifatnya adalah anti dunia, dan karena itu tidak ada nilai-nilai kehidupan sosial, ekonomi, politik dan hukum serta etika yang tercermin darinya. Spiritualisme Timur sangat mirip dengan doktrin gereja yang juga anti dunia.

Sifat doktrin spiritual yang anti dunia ini, yang berarti kekosongan atas nilai-nilai kehidupan duniawi ini, pada gilirannya akan terjadi proses pencakokan dengan doktrin materialisme yang hampa dari spiritualisme, dengan suatu cara yang sangat mengejutkan. Sejarah menunjukkan bahwa kekaisaran Romawi adalah rejim yang secara ambisius memburu Yesus dan para pengikutnya, menyiksanya dengan cara menyalibnya, lepas dari apakah yang disalib itu Isa al-Masih atau bukan. Tetapi setelah waktu berlalu, ternyata raja-raja Romawi berikutnya memeluk agama Nasrani dengan tetap mempertahankan nilai-nilai politik, kekuasaan, etika dan aspek-aspek manusiawi yang dimilikinya sendiri. Sebaliknya, gereja yang mewarisi ajaran Yesus, juga merespons positif atas pencakokan ini, dan penyebaran Injil atau seruan untuk masuk ajaran Nasrani ke seluruh dunia dilakukan gereja dengan menggunakan kaki tangan raja-raja dan pemerintahan materialisme.

Dalam pola yang sama dapat disaksikan, bahwa interaksi antara Hinduisme, Konfusianisme dan Shintoisme dengan peradaban Barat juga terjadi pencakokan dan nuansa dialogis komplementer. Hal ini terjadi karena Barat yang menyebar ke Timur juga mengalami kekeringan spiritual, dan betapa terpesonanya orang-orang Barat terhadap kehidupan spiritualisme Timur, karena mereka memang miskin tentang hal itu. Karena itu proses modernisme dan sekulerasi etik di Timur, seperti Jepang, India dan China begitu cepat; sebuah peradaban yang campur aduk.

Sebagaimana kini disinyalir sejumlah pihak, bahwa dalam era ini telah terjadi potensi benturan sejumlah peradaban, yang bersumber dari ajaran Islam, Konfusianisme, Hindu-Budha, Shinto, Komunis dan Barat. Bagaimanakah benturan peradaban itu terjadi. Untuk memahami persoalan ini ada baiknya kita mengangkat kasus-kasus kemanusiaan, terutama berkenaan dengan moralitas, misalnya perzinaan, hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Dilihat dalam perspektif peradaban Barat, selama perbuatan itu dilakukan suka sama suka, jelas bukan tindakan yang amoral, artinya diperbolehkan. Dilihat dalam perspektif peradaban Timur, seperti Hindu, Budha atau Shintoisme mungkin dipandang sebagai tindakan amoral, tetapi tidak perlu ada pidana fisik. Sebaliknya, kasus yang sama jika dilihat dalam perspektif Islam, jelas merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi hukum rajam dan bila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah menikah hukumannya adalah “mati.” Sebaliknya, qisas (salah satu model pidana Islam) yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai penjamin kehidupan, dianggap sebagai suatu yang keji oleh peradaban lain, terutama Barat. Perbedaan bahkan pertentangan pandangan serta konsekuensi hukum dari masing-masing peradaban itulah yang seringkali melahirkan benturan-benturan.

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Q.S. 2: 177)

Sebagai sebuah peradaban, Islam telah sempurna. Artinya, keyakinan yang dimiliki, visi ideologis maupun nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari ajarannya, Al-Qur’an dan Sunnah, telah mencukupi bagi kehidupan umat manusia, di mana pun dan kapun pun. Kesempurnaan itu tak hanya terlihat, bagaimana Islam mengatur secara tertib bagaimana beretika dan menjaga kebersihan diri, seperti gosok gigi, sampai pada bagaimana caranya mengatur sebuah negara besar, dan bagaimana pentingnya etika dan keadilan ditegakkan dalam berperang, seperti larangan menyakiti anak-anak dan perempuan maupun musuh yang sudah menyerah. Kesempurnaan itu juga tercermin dalam suatu cara, di mana ajaran Islam mendorong setiap manusia untuk mengembangkan intelektualitas dan kemampuannya. Karena kesempurnaan inilah, Allah menyatakan keridhaan-Nya atas Islam ini untukmu;

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. 5: 3)

Islam adalah ajaran yang sempurna dan sekaligus kebenaran yang sempurna. Ajaran yang sempurna ini dapat diibaratkan seperti matahari, yang memiliki sifat intrinsik, memancarkan cahaya, memberikan kehangatan, energi dan kehidupan. Karena itu siapapun yang bisa menangkap dan merasakan cahaya kebenaran ini, maka dari “jati dirinya yang terdalam” juga akan berkembang sifat ekspansif, yakni berusaha mewartakan kebenaran ini kepada setiap orang yang ditemuinya dan diajaknya bersama-sama untuk memasuki cahaya kebenaran yang sama. Sebaliknya, orang-orang yang tercerahkan ini akan segera menolak nilai-nilai kehidupan yang bertentangan dengan ajaran yang dimilikinya. Dengan demikian dapat dibayangkan, apakah yanga akan terjadi jika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain, khususnya materialisme.

Dalam suatu pengertian tertentu, benturan peradaban akan terjadi jika dua buah peradaban saling bertemu pada sejumlah aspeknya yang tidak terkompromikan. Islam sebagai peradaban yang tumpuan utama adalah tawhid, sudah barang tentu akan bersifat saling menegasikan dengan peradaban yang orientasi dasarnya justru menolak tawhid itu sendiri. Dalam Marxisme, seperti diekspresikan oleh para tokohnya memberikan komentar yang sangat negatif berkenaan dengan agama maupun Tuhan. Bagi mereka agama adalah candu dan mereka menyatakan alergi ketika nama Tuhan disebutkan. Begitu dalam filsafat eksistensialis materialisme Barat, seperti dikemukakan oleh Neitche; “Tuhan telah mati.”

Karena orientasi dan keyakinan yang bertentangan ini, maka derivat nilai-nilai hidup yang ada antara kedua peradaban itu pun pasti bertentangan dan saling bernegasi. Artinya sebuah kata yang memuat makna “perbuatan baik,” dinilai dari perspektif Islam seperti beramal dengan ikhlas akan “menjadi perbuatan buruk” misalnya dengan menyebutnya sebagai pemborosan, jika dinilai dengan perspektif materialisme. Istilah “gila” yang diangkat dalam ayat-ayat awal surah Al-Qalam, menandakan suatu interaksi dua peradaban yang nilai-nilai kehidupan dari keduanya saling bertentangan. Marilah kita elaborasi secara komperatif nilai-nilai antara dua peradaban ini, Islam dengan materialisme –yang sejatinya adalah ateisme, dalam beberapa aspek kehidupan manusia yang penting, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, estetika dan agama itu sendiri.

Nilai-nilai politik, yang merupakan standar kehidupan sesorang untuk mengatur dan mengontrol massa, jelas memerlukan doktrin atau falsafah kekuasaan. Dalam Islam sangat tegas dinyatakan bahwa kekuasaan bersumber pada Tuhan, artinya otoritas perintah dan larangan tertinggi berasal dari-Nya. Tetapi bagaimanakah falsafah kekuasaan seperti ini diaplikasikan dalam kehidupan politik? Jawabannya adalah dengan pola pendelegasian, di mana Nabi adalah hakim tertinggi sekaligus memiliki otoritas penuh untuk menjalankan “kekuasaan Ilahiyah” atas manusia. Sepeninggal Nabi, yang menggantikan otoritas itu secara relatif adalah pewarisnnya, yakni ulama. Artinya, keulamaan yang mengendalikan kekuasaan, dan itu berarti superioritas ilmu dan spiritualitas serta integritas moral. Karena kebenaran adalah ukuran tertinggi, yang tentunya berdasarkan kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Sebaliknya dalam doktrin materialisme; falsafah kekuasaannya seperti kita ketahui bersama adalah berasal dari rakyat (demokrasi), dan mereka beranggapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebuah anggapan yang tampak ragu dan sama sekali tidak pernah terbukti secara historis. Karena kekuasaan dari rakyat, maka sah tidaknya kekuasaan sangat tergantung pada mayoritas yang merupakan representasi suara rakyat. Sejarah menunjukkan bahwa Tuhan berbicara dengan dan memberikan petunjuk kepada Nabi yang diutus-Nya dan Nabi yang bersangkutan itulah yang memberikan bimbingan dan pimpinan kepada rakyatnya. Nabi tidak tunduk kepada rakyat, tetapi rakyatlah, yang tunduk kepada Nabi. Al-Qur’an juga memberikan pernyataan yang lugas, jika kebenaran itu tunduk poada nafsu manusia, maka hancurlah dunia ini.

Dua tatangan politik yang bertolak dari falsafah dan nilai-nilai yang berbeda ini sama-sama telah diaplikasikan dalam sejarah umat manusia. Bagaimana wujud sosialnya masyarakat yang berada dalam kekuasaan Islam dan kekuasaan ateisme jahiliyah, kita sama-sama tahu. Dalam kehidupan dewasa ini kita saksikan betapa materi atau uang dengan mudah menyandra suara rakyat, melalui wakil-wakilnya. Para ‘stick holder’ materi ini cukup hanya dengan mengerdipkan mata, dan para wakil rakyat itu pun akan membebeknya, dengan koor suara seperti iring-iringan bebek yang digembalakan, tanpa argumentasi dan tanpa basa-basi.

Begitu juga halnya ketika kita menyimak nilai-nilai sains yang dipresentasikan dari dua peradaban yang berbeda ini. Barangkali kita sendiri adalah pelaku korban dari suatu sistem pendidikan, di mana sains yang diajarkan pada kita seperti biologi, kimia fisika dan sebagainya, tanpa satu kata pun asma Tuhan disinggungnya. Artinya, ketika kita mempelajari sains yang demikian ini, mungkin kita bisa menjadi seorang saintis, tetapi tetap saja kita tidak mampu membaca bahwa alam semesta yang tergelar ini dan begitu juga dengan diri kita, adalah ayat-ayat Allah. Mengapa demikian?

Sains yang dikembangkan di Barat adalah sains yang diadopsi dari pikiran-pikiran metodologis Francis Bacon, Rene Descartes dan juga Charles Darwin. Bagi Bacon sendiri, ia berinteraksi dengan alam semesta tak ubahnya mengamati sebuah arloji yang sudah jadi. Jelas bahwa arloji itu ada yang membuatnya, tapi baginya pembuat arloji itu tidak penting, karena arloji pun tetap berjalan dengan sistemnya sendiri sekalipun pembuatnya meninggal dunia. Begitu juga para pemikir materialis ini dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan alam. Mereka “menemukan” alam ini seperti benda yang tanpa tuan, karena itu mereka tidak perlu berterima kasih pada penciptanya. Sebaliknya mereka memanfaatkan alam ini, melalui teknologi yang dihasilkan, semata-mata untuk memenuhi ambisi dan dirinya sendiri. Itulah mengapa sains dalam peradaban materialisme Barat disebut netralitas etik, dan kenyataan menunjukkan bahwa yang paling cepat perkembangannya adalah sains militer yang fungsi utamanya sebagai mesin pembunuh, seperti nuclear.

Perbedaan prinsipnya antara sains Barat dengan sains Islam terletak pada dimensi ontologisnya, asal sesuatu itu “mengada.” Sains Islam memberikan penekanan penting tentang siapakah pencipta alam semesta ini dan asal segala sesuatu, sebagaimana tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan kontempelatif Rasulullah di gua Hira’; dari manakah asalnya segala sesuatu ini? Siapakah gerangan yang mengatur kehidupan ini, sehingga bintang-gemintang berada dalam keteraturan yang sempurna dan sebagainya. Pertanyaan ini begitu penting karena jawaban atas hal tersebut akan menjadi landasan etik dan nilai-nilai sains itu sendiri. Sebagaimana kita simak dalam sejarah, pertanyaan-pertanyaan beliau itu mendapatkan jawaban langsung dari Allah seperti tertera dalam surat Al-‘Alaq, dan iqra bismirrabbik itu adalah menjadi landasan bagi saintis Muslim. Dalam perspektif Islam, mempelajari sains adalah mempelajari ayat-ayat Allah yang lebih dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah. Karena itu semakin dalam seseorang mempelajari sains maka akan semakin mengerti pula dirinya tentang keagungan Allah dan pemanfaatan sains selanjutnya adalah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Dalam perspektif Al-Qur’an, ilmu adalah subordinasi ketaqwaan dan semakin dalam orang memiliki ilmu berarti semakin bertaqwalah dia. Orang-orang berilmulah yang menurut Al-Qur’an yang banyak mensyukuri nikmat. Secara manusiawi mereka berkomentar tentang alam semesta dan dunia ini kepada Tuhan-nya, seperti dikutip secara tepat oleh Al-Qur’an;

"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. 3: 191)

Begitu juga halnya jika kita berbicara tentang agama itu sendiri. Materialisme bukanlah suatu mazahab ideologi atau peradaban yang sama sekali nihil dari persoalan spiritualitas. Perbedaan antara Islam dengan materialisme terletak pada “kerangka” di mana agama dalam Islam menempati posisi sebagai supra struktur kehidupan, artinya seluruh aspek dalam kehidupan ini ada dalam kerangka kehidupan keagamaan. Sebuah perbuatan sekecil apapun, tak dapat dilepaskan perhitungan dan implikasinya dengan akherat, suatu kehidupan pasca kehidupan dunia ini yang merupakan pokok keimanan Islam. Sementara dalam materialisme, agama ditempatkan sebagai subordinasi kehidupan. Artinya, kehidupan keagamaan seseorang adalah dalam kehidupan di dunia ini; pemenuhan kebutuhan spiritual seseorang, sebenarnya adalah untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas.

Aspek-aspek kehidupan yang lain, seperti hukum, seni atau lainnya, secara prinsip juga berbeda antara Islam dengan nasionalisme. Dalam Islam, aspek-aspek kehidupan ini merupakan derivat dari prinsip keyakinan yang sama. Itulah mengapa seni Islam yang berkembang, seperti seni lukis dan ornamen-ornamen, terlihat dua dimensi dan obyek yang dilukis pun merupakan motif garis, lengkung dan bukan peniruan makhluk hidup secara natural. Seni Islam juga melukis manusia, tetapi secara ketat digambar dalam dua dimensi. Sementara dalam materialisme, seperti tercermin dalam perjalanan sejarahnya pasca renaisans, yang menjadi obyek lukisan adalah diri dengan tiga dimensi (berbeda dengan era gereja ortodoks), cabul dan memperturutkan nafsu.

Islam Dewasa Ini

Benturan peradaban akan terjadi, jika dua peradaban yang dimaksud tersebut memiliki kesetaraan sumberdaya, kekuatan dan juga keberanian. Tetapi jika satu peradaban lebih superior dibandingkan yang lain, yang terjadi bukanlah benturan tetapi imitasi (peniruan). Peradaban yang inferior menyerap dan meniru berbagai aspek dan nilai-nilai kehidupan yang berasal dari peradaban yang dipandang superior. Jika imitasi dan penyerapan itu berlangsung terus, maka tentunya terjadi infiltrasi dan penetrasi, yang sengaja atau tidak, dilakukan peradaban yang superior tersebut terhadap peradaban yang inferior, dan pada gilirannya peradaban yang inferior itu kehilangan seluruh energinya dan mati, kecuali yang tersisa hanyalah sebuah nama atau label.

Realitas umat Islam yang ada dewasa ini adalah akibat dari suatu inferioritas peradaban ketika berinteraksi dengan Barat materialisme yang superior. Pandangan umat Islam secara relatif dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah buah dari sekulerisasi, yang merupakan derivat langsung dari materialisme. Oleh karena itu maka untuk memodernisasi haruslah dengan jalan sekulerisasi dan menjadi sekuler. Asumsi yang keliru ini, sudah barang tentu membawa sikap keterlanjuran untuk “menganggap” akan sebabnya (sekulerisme) daripada melihat fenomena modernisasi itu sendiri. Kesalahan medotologis ini berlanjut dengan upaya-upaya pemusatan perhatian terhadap idealitas-idealitas dan norma sekuler, sementara itu modernisasi menjadi dinomorduakan. Oleh sebab itu hasil ini hasil akhir dari langkah-langkah demikian bagi umat Islam, adalah “sekulerisasi” dan bukannya “modernisasi.”

Mesir adalah korban pertama dari sekulerasi. Negara yang bentuk awalnya terdiri atas umat Islam tradisionis dengan menempatkan ulama dalam posisi sentral kehidupan masyarakat, dan untuk penjaga gawang kelestarian etika dan norma-norma agama, untuk pertama kalinya diguncang oleh Muhammad Ali Pasha (1805-1849), yang keranjingan dengan upaya sekulerismenya. Tindakan ini dijalankan oleh Muhammad Ali dan putranya, Ibrahim Pasha, dengan cara pembrangusan institusi tradisional dan cara-cara teroris lainnya, sebagai salah satu upaya pemaksaan inovasi-inovasi sekuler, yang sesungguhnya memang tak akan pernah dapat diterima oleh ulama tradisionis.

Tindakan-tindakan pembrangusan yang dilakukan oleh Muhammad Ali, dalam term, Machiavelli sesungguhnya merupakan kenyataan yang mudah dipahami; karena peranan sentral ulama tradisionis bagi masyarakat tetap akan menjadi kendala bagi pembaharuan-pembaharuan sekuler. Karena itu, untuk membungkam ulama, Muhammad Ali mengambil tindakan-tindakan taktis dengan jalan mendatangkan ahli-ahli dari Perancis untuk berperan serta dalam pemerintahannya, di samping yang tak kalah efektifnya adalah pengiriman-pengiriman pemuda dan pelajar Mesir ke Perancis, yang sudah barang tentu akan mudah difungsikan sebagai propagandis-propagandsi baru dalam rangka mendukung sekulerisme di Mesir.

Di tangan Khediv Ismail (1863-1879) sekulerisasi di Mesir mencapai puncak keberhasilannya. Jika pada masa Muhammad Ali sekulerisasi lebih banyak ditandai dengan nafas-nfas modernisme yang mengambil bentuknya berupa pembaharuan-pembaharuan teknologi militer dan industri, maka pada pemerintahan Khediv Ismail sekulerisme diinjeksikan ke dalam “adab-budaya” Mesir. Pada masa ini, terjadi perombakan besar-besaran yang meliputi konsepsi-konsepsi, pranata-pranata dan sistem dalam berbagai bidang dan yang terpokok adalah sosio-ekonomi serta pemerintahan. Dengan demikian terjadi pergeseran-pegeseran dan merubah keseimbangan masyarakat Masir; elite-elite sosial baru mulai bermunculan yang disiapkan rezim Khediv Ismail sebagai penyangga, menuju ke sebuah negara Mesir modern.

Impian Khediv Ismail untuk menjadikan Mesir sebagai “bagian dari Eropa,” dicoba melalui aktivitas-aktivitas antara lain, membuka komunitas-komunitas luar negeri, mendirikan sekolah-sekolah sekuler, mengintroduksi kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan etika Barat terhadap masyarakat. Dalam pengembangan yang relatif singkat, pranata-pranata sekuler ini, mampu mengembangkan sayapnya menyeruak ke dalam detail-detail kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menggeser norma-norma agama; sehingga melorot tajam menjadi standard sekunder dalam tata hidup sosial di Mesir. Apa yang terjadi di Mesir dalam skala yang lebih revolusioner terjadi di Turki.

Fenomena awal sekulerisasi di Turki ditandai oleh provokasi-provokasi moderat yang dilancarkan oleh Nemik Kemal bersama Ali Su’awi Efendi melalui artikel-artikel di Tasfiri Efkar dan ceramah Ramadhan. Tetapi karena kuatnya posisi di kalangan tradisionis, menjadikan upaya-upaya mereka tidak efektif. Barulah ketika lahir angkatan muda Turki sekitar tahun 1871-1872, Namik Kemal berhasil membakar semangat nasionalisme angkatan muda, yang pada intinya merupakan ‘jiplakan’ tema-tema revolusi Perancis tahun 1865, yang menyenandungkan nation d’etre. Ide-ide sekuler mula-mula memperoleh lahan di kalangan intelektual (westernized), kemudian berkembang luas menembus inti kekuasaan yang paling dalam, yang pada akhirnya mencapai puncak kemenangan, di mana Turki untuk pertama kalinya dipakai sebutan dari negara dan rakyat Ottoman ini. Perkembangan sentimen ke-Turki-an semakin dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang utuh dan terencana, semakin menjauhi praktek-praktek Islami, dan semakin dekat dengan Barat. Kenyataan demikian ditandai dengan pembaharuan-pembaharuan jangka pendek, yang dimaksudkan untuk menyebrangkan bangsa ini dari peradaban Islam ke peradaban Barat.

Tetapi sebuah kekuatan pemerintahan sekuleris muncul yang secara capat menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Islam baru menampakkan garangnya, ketika Mustafa Kemal Pasha dengan Angkatan Muda Turki, berhasil menggulingkan dinasti Ottoman. Tahun 1923 konstitusi Turki, di bawah Attaturk menghapuskan Islam sebagai ajaran agama negara. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi-pribadi dan sama sekali lepas dari urusan-urusan soisal. Selanjutnya sebagai konsekuensi logis, kaena agama tidak lagi menjadi urusan negara, maka Khilafah dihapuskan, kantor komisariat syari’ah ditutup dan digantikan dengan kode Swiss.

Di dunia Islam sesungguhnya ada sejenis nasionalisme yang memang merupakan fenomena umum, karena latar belakang etnis dan geografis, tetapi bukanlah berarti kondisi demikian kemudian dapat dipakai sebagai dasar pijakan (raison d’etre) lahirnya nasionalisme yang menuntut loyalitas tertinggi masyarakat.18 Tetapi kenyataan yang terjadi di Turki, telah berubah menjadi sedemikian akutnya. Kerena nasionalisme berpadu dengan ruh sekulerisme, dan setelah melalui ketegangan-ketegangan yang memuncak, antara kalangan tradisionis dengan westernized, akhirnya Islam sebagai ajaran yang mendarah daging dalam masyarakat terdepak ke luar.

Begitu juga yang terjadi di belahan-belahan lain dunia Islam, roda sekulerisme terus menggelinding merobohkan mata rantai kehidupan soisal yang telah mapan. Meskipun hembusannya tidak sekencang di Turki, paket sekulerisme dalam gayanya yang sama juga melanda Iran terutama sekali pada awal abad 20-an. Setelah revolusi Konstituante tahun 1905-1911, Iran sekali lagi terperosok ke dalam tata kehidupan diktatorian. Situasi Iran di bawah dinasti Pahlevi yang demikian sekuler ini, pada awalnya didahului persaingan-persaingan dan ketegangan antara beberapa kubu ulama yang masing-masing pihak mencoba mempertahankan mahzabnya dengan berusaha mnerontokkan mahzab lain. Oleh sebab itu lahirnya negara sekuler di Iran, bukan saja sebagai situasi yang ditolelir, tetapi dimaafkan. Alasan ulama-ulama yang bertengkar ini, antara lain terlihat dari pandangannya, yang menempatkan negara (sekuler) sebagai pembentuk suatu bagiaan integral kekuatan Islam, dan bukannya suatu keuatan jahat yang terpisah. Pelucutan peran dan fungsi ulama tradisionis dilakukan secara bertahap, sebagai upaya pembatasan otorisasi fuqhaha dalam proses kehidupan sosiokultural. Hal ini selain dudukung oleh mujtahid yang lekat dalam gaya hidup sekulerisme seperti Talibzada, Malkhom Khan, Mirza Aga Khan Kirmani, juga disebabkan oleh kalangan konstitusionalis yang gagal membuktikan diri sebagai pemerintahan yang mampu membuat pranata-pranata pembangunan masyarakat dengan etik Barat modern. Oleh sebab itu, ketika dinasti baru sejak memupuk kekuasaan tahun 1920-an dengan implementasinya kebijaksanaan-kebijaksanaan sosiokultural sekuler, fuqhaha telah banyak terdesak mundur, sehingga kegiatannya hanya terbatas pada masjid-masjid dan madrasah-madrasah, yang telah “diciutkan fungsinya” oleh rezim sekuler.

Penanaman ide-ide sekuler, setelah menancapkan akar-akarnya di semua sektor pemerintahan, segera melebar ke distrik-distrik pendidikan di hampir semua tingkat. Pendidikan sekuler wajib dilaksakan disekolah-sekolah milik negara, sementara itu penerapan hukum dan sistem peradilan, langsung di bawah menteri kehakiman yang dibantu oleh hakim-hakim dari yang berpendidikan sekuler. Modernisasi sistem-sistem pendidikan dengan menggunakan model Barat sekuler, merupakan senjata paling efektif yang digunakan rezim Pahlevi untuk mermehkan pengaruh “perjuangan” tokoh-tokoh Islam. Untuk lebih menjatuhkan dan lebih mengucilkan kalangan ulama, rezim Pahlevi sengaja menginjeksi ke dalam kesadaran masyarakat suatu prototype budaya yang diambil dari sejarah Iran pra Islam, khususnya budaya Arya.

Berbagai wajah sekulerisme yang mulai muncul pada abad XIX sampai pertengahan abad XX, sesungguhnya tidak hanya berkembang di Mesir, Turki maupun Iran tetapi dalam bentuknya yang lebih pragmatis dan terkemudian, juga terjadi di Tunisia, Nigeria, Sinegal dan berbagai wilayah lainnya, termasuk Indonesia yang secara intensif di mulai dari era Soekarno.

Dalam masalah keyakinan, sebatas menyakini tentang adanya Allah, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir (sekuler). Hal ini misalnya ditunjukan oleh Al-Qur’an;

"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakn kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “ Allah.” Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Q.S. 31: 25)

Akan tetapi bagi orang-orang kafir, keyakinan tentang adannya Allah, tidak dikembangkan sebagai keyakinan hidup yang sekaligus merupakan standard norma tingkah lakunya. Bahkan istilah kafir yang dikenakan untuk mereka itu adalah wujud penolakan sacara definitif terhadap keharusan taat kepada Allah. Sebagaiman yang diklaim Al-Qur’an sendiri:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunksn Allah.” Mereka menjawab: “(tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kam mengerjakannya.” Dan apakah (mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)?” (Q.S. 31: 21)

Kondisi orang kafir yang demikian, tak jauh berbeda dengan sikap iblis untuk sujud (hormat) kepada Adam (Q.S. 2: 30-39). Keduanya memilih konfrontasi dengan menanggung segala resikonya, ketimbang harus tunduk kepada perintah-perintah Tuhan. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang-orang Mukmin. Tidak seorang kafir pun membiarkan orang Mukmin memperoleh kebahagiaan dan kemenangan, kecuali mereka terus menerus menggangunya, dan bila mungkin menariknya ke dalam golongannya (Q.S. 2:120). Kenyataan sikap yang demikian ini, dalam kapasitas makronya, berarti upaya pendominasian pranata-pranata soisal yang secara teologis dimaksudkan mendepak pranata-pranata Tuhan (sunnatuddin) untuk diganti dengan norma-norma relatif hasil terkaan dan prasangka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah (Q.S. 6:136-139). Tak syak lagi, meskipun tidak sama persis antara orang-orang kafir dengan kondisi oranmg-orang sekuler dalam abad XIX dan XX ini, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya mempunyai kencenderungan sikap serta pemikiran yang sama.

Oleh sebab itu bagaimanakah nasib umat Islam di bawah pemerintahan sekuler? Kencangnya arus sekulerisasi yang melanda dunia Islam, pada akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan baru, umat Islam kepada materialisme Barat, yang semakin lama terlihat adanya bahaya yang semakin fatal. Berbagai bentuk ketergantungan itu antara lain terletak pada konsepsi pemikiran dan intelektual, sosio-pemerintahan, ekonomi dan militer. Dalam lapangan intelektual misalnya, terlihat betapa dominasi ilmu pengetahuan oleh Barat terahadap umat Islam, baik dari segi materi keilmuan maupun tuntutan metodologis. Kenyataan demikian, apabila terus-menerus menjadi tempat ketergantungan ilmuwan-ilmuwan Muslim, sudah barang tentu mereka akan gagal memberikan interpretasi yang representaif terhadap ajaran agamanya sendiri. Seperti kita saksikan sekarang ini, di mana para ilmuwan Muslim papan atas dengan tegas mengatakan bahwa konsepsi kenegaraan, ekonomi, sosial dan lain-lain tidak ada dalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan kondisi umat Islam di bawah pemerintahan yang sekuler dan dengan kondisi para ilmuwan Muslim yang tidak berdaya dalam merumuskan konsepsi kehidupan dari ajaran Islam sendiri? Realitas umat Islam yang demikian dapat diibaratkan seperti anak yatim piyatu yang tanpa perlindungan, dan dengan demikian mudah menjadi ‘santapan srigala.’ Kita saksikan sekarang ini, bahwa tema-tema pemikiran, gaya hidup dan prilaku umat Islam adalah fungsi dari materialisme. Hal itu terjadi tidak saja di kalangan elite tetapi juga sudah merata sampai ke akar rumput. Kita hidup dalam suatu zaman, sebagaimana diisyaratkan Rasulullah saw, penuh dengan dan diselimuti debu kejahiliyahan dan dosa, yakni materialisme. Kita mungkin tidak menyukainya tetapi tak dapat menghindarinya.



Membangun Peradaban Islam: Mungkinkah?

Pertanyaan besar ini kita ajukan, karena situasi yang melingkupi dunia Islam adalah sedemikian rupa, sehingga setiap niat baik, apalagi cita-cita besar untuk mewujudkan peradaban Islam di masa depan. Dengan pertanyaan itu setidaknya kita akan berpikir dan menganalisis seberapa besar tantangan yang kita hadapi, potensi yang kita miliki didasarkan atas asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kemampuan kita dalam memberikan analisa inilah yang secara relatif memberikan “rasa” optimis atau pesimis, meskipun secara doktrinatif tentu kita juga harus memiliki perasaan optimis.

Sebagaimana diuraikan di depan bahwa semua aspek kehidupan umat Islam secara riil telah dideterminasi oleh nilai-nilai peradaban materialisme. Bagaimanakah ekonomi, politik, hukum, hankam, seni dan entertainment kita, pada kenyataannya adalah hasil imitasi konsep dan peniruan dari Barat. Artinya, tak ada satu aspek realitas keumatan pun yang siap untuk berbenturan dengan realitas kehidupan yang ada dalam peradaban materialisme Barat. Tetapi jika kita bertanya pada diri sendiri dan mengukur keyakinan kita; sebenarnya mana yang lebih kredible antara ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dibandingkan dengan ajaran hidup yang dimiliki peradaban Barat. Kita akan mendapatkan jawaban yang sangat optimis; ajaran Islamlah yang lebih unggul dan kredible. Ada perasaan superior di hati kita dan tentu umat Islam umumnya, berkenaan dengan keunggulan ajaran yang dimilikinya, bila dibandingkan dengan ajaran lain, baik berupa kitab suci agama lain maupun falsafah hidup buatan manusia lainnya. Titik awal dalam membangun peradaban Islam yang kita cita-citakan haruslah berawal dari domain, di mana kita sendiri memiliki perasaan superior itu sendiri. Karena rasa superior itulah yang akan mendorong kita untuk bersifat ekspansif dalam membangun peradaban.

Pada satu sisi dapat dikatakan bahwa superioritas dan atau inferioritas suatu peradaban itu sepenuhnya tergantung pada dua hal. Pertama, ajaran-ajaran atau nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam peradaban yang bersangkutan. Misalnya, seberapa sahihkan pandangan yang berasal dari ajaran peradaban tersebut memberikan pernyataan tentang sesuatu, termasuk pandangan tentang masa depan umat manusia. Bagaimana ajaran itu merespons pikiran-pikiran manusia, dari persoalan sehari-hari sampai dengan hal-hal yang bersifat substantive dan transendensi. Apakah pernyataan-pernyataan dari ajaran itu bisa dibuktikan dalam kehidupan. Artinya, apakah jika seseorang mengikuti secara penuh ajaran yang diyakininya akan memperoleh kesuksesan hidup dan sebagainya.

Kedua, terletak pada kemampuan interpretasi sumberdaya insani yang terdapat dan menjadi pendukung dalam peradaban tersebut, sehingga ajaran-ajarannya memiliki kontekstualisasi dengan problem-problem kemanusiaan pada masanya, dan tentunya dengan konsistensi logis yang memadai. Artinya, apakah sumberdaya insani yang menjadi penyangga peradaban tersebut itu terdiri atas manusia-manusia yang cerdas, tercerahkan dan mampu membangun konsep tentang berbagai aspek kehidupan yang diturunkan dari ajaran tersebut atau tidak.

Jika suatu peradaban tidak memiliki ajaran yang kredible atau handal dalam melayani tantangan intelektual dan tidak mampu memberikan jawaban yang futuristik, apalagi jika mengalami inkonsistensi ketika dipraktekkan, maka cepat atau lambat peradaban tersebut pasti akan mati dan tak akan sanggup hidup lagi. Contoh tentang peradaban ini adalah peradaban manusia klasik, seperti Sumeria, Mesir, Romawi dan yang kontemporer, adalah Komunisme. Peradaban-peradaban itu bertahan hidup karena dikawal oleh kekuasaan yang tiranik dan diktator. Tetapi secara intrinsik (dari dalam sendiri) akan mengalami kehancuran, karena ajarannya memang inkonsisten.

Sebaliknya juga, meskipun suatu peradaban memiliki ajaran yang kredible, tetapi jika sumberdaya insani yang dimilikinya tidak mampu menginterpretasikan ajaran tersebut pada konteks kehidupan yang tengah berlangsung, maka peradaban yang bersumber dari ajaran yang kredible tersebut tetap tidak mampu berkembang. Contoh tepat tentang peradaban yang dimaksudkan ini adalah Islam. Ajaran Islam, karena dipresentasikan oleh orang-orang yang inferior, menyebabkan, seolah-olah tidak lagi memadai untuk menjawab problema manusia. Meskipun demikian, jika pada suatu masa tertentu peradaban yang memiliki ajaran yang kredible itu memiliki sumberdaya insani yang unggul, maka sudah semestinya akan menjadi peradaban yang superior. Peradaban yang superior adalah peradaban yang seluruh ajarannya kredible dan memiliki sumberdaya insani yang handal, mampu memberikan pandangan-pandangan dan interpretasinya tentang kehidupan ini maupun mendatang secara memadai berdasarkan ajaran peradaban yang dimilikinya dan wajar menjadi “kiblat” peradaban manusia.

Realitas peradaban Islam sekarang ini berada dalam posisi superior, jika ditinjau dari perspektif ajaran. Sebaliknya Islam adalah peradaban yang inferiror, jika ditinjau dari sumber daya insani. Islam, seperti dinyatakan dalam kata-kata bijak adalah ajaran yang tertinggi dan tidak ada yang menyamainya (al-islaamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alayhi). Tetapi sebaliknya juga Islam tertutupi [pancaran dan superioritasnya] oleh kebodohan umat Islam sendiri.

Peradaban yang merasa superior, secara fenomenal, akan mengemukakan pandangan-pandangan dan interpretasinya untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Lebih dari itu, mereka akan mengajak pihak lain bahkan memaksanya untuk mengikuti apa yang dianggapnya baik tersebut, dan biasanya tanpa memberikan empaty untuk melihat ajaran peradaban yang menjadi pilihan pihak lain. Peradaban Barat, yang diklaim oleh sejumlah opini dominan sebagai peradaban yang ‘paling maju’ dan akan membawa umat manusia pada kemajuan dan kemakmuran (materi), kini merasa mendapatkan saingan baru setelah musuh bebuyutannya (Komunisme) tumbang. Dan, saingan baru itu, yang tidak hanya merupakan rival tetapi berpotensi menghasilkan benturan peradaban yang amat dahsyat, adalah Islam. Karena ajaran Islam, siapapun mengetahui, adalah yang paling kredible dan handal untuk menyelamatkan manusia, di dunia ini dan akherat kelak. Itulah mengapa, peradaban Barat yang direpresentasikan oleh Amerika, Inggris, Perancis dan sejumlah negara Eropa lain, lebih suka menjadikan orang-orang Muslim sebagai sasaran tembak ketimbang terhadap ajaran Islam. Karena sumberdaya insani Islam (Muslim), saat ini adalah titik lemah kebangkitan peradaban Islam. Masalahnya, menjadi berbeda, jika Barat berani membidik ajaran Islam itu sendiri untuk dibenturkan dengan ajaran sekuler. Karena bila ajaran Islam diangkat ke permukaan, menjadi wacana global, dengan sendirinya akan memberikan penetrasi dan menginfiltrasi setiap manusia, tak peduli dari manapun latar belakang peradabannya, selama memiliki integritas intelektual.

Dengan demikian, kunci utama membangun peradaban Islam pada masa kita sekarang ini adalah dengan mengembangkan superioritas, terutama bagi mereka yang merasa “terpanggil” untuk urusan besar ini. Hal ini sangat penting, agar kesempurnaan ajaran Islam, dalam semua aspek kehidupan manusia, mendapatkan orang-orang terpilih dan sekaligus representatif untuk mempresentasikannya di hadapan seluruh umat manusia. Bila tidak demikian, maka kebesaran ajaran Islam diselubungi oleh kebodohan kaum Muslim, yang pada gilirannya komunitas yang berasal dari peradaban lain, karena interaksinya dengan orang-orang Muslim yang seperti itu, akan meremehkan ajaran Islam itu sendiri, tanpa mengkajinya secara obyektif.

Superioritas itu, seperti tercermin dalam ajaran Al-Qur’an, terletak pada kesempurnaan spirirtual dan intelektual seseorang, yang tentunya akan memanifestasikan pada akhlaq dan prilaku, serta sikap hidup yang Islami. Dalam hal ini kita yang hidup di Hidayatullah telah memulai dengan langkah yang benar, yakni dengan memperbanyak ibadah, termasuk menegakkan shalat lail secara kontinyu. Intensitas spiritual, di samping memanifestasikan prilaku individual yang Islami, juga tercermin dalam perspektifnya pada aspek-aspek sosial yang penting, seperti kekuasaan, materi dan hal ikhwal duniawi lainnya. Seseorang yang memiliki spiritualitas memadai akan tetap superior dan determinan bila berinteraksi dengan para penguasa, begitu juga ketika berinteraksi dengan orang-orang kaya. Tetapi superioritas spiritual, yang hanya didukung oleh ritualisme tidaklah cukup. Perlu ada intelektualisasi yang memadai dan itu berarti mengharuskan kita untuk berani berbenturan dengan berbagai wacana dan pemikiran yang berkembang. Dalam kebijakan taktis dan strategisnya kita perlu membangun basis kaderisasi yang handal, sehingga mampu menjadi juru bicara yang kompeten tentang peradaban Islam yang kita harapkan.

Membangun superioritas intelektual adalah dengan mempertajam dan memperkaya intelektualitas. Dalam konteks ini, kita yang hidup di Hidayatullah, sebenarnya adalah orang-orang yang cukup banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hanya saja perlu diketengahkan di sini, bahwa pola interaksi kita dengan Al-Qur’an sangat terbatas (membaca dalam pengertian yang sempit). Kita belum sampai pada pola pembacaan yang bersifat eksploratif dan mengetengahkan Al-Qur’an itu dalam “bahasa konsep,” yang dapat dipahami oleh orang-orang yang sekadar mengandalkan common sense. Pembacaan yang bersifat eksploratif, memungkinkan kita untuk mengenal tentang bagaimana Al-Qur’an memberikan pandangannya atas sesuatu hal juga pola logika yang kaya dan determinatif. Begitu juga dengan pengajuan-pengajuan pertanyaan yang mengacu pada know how dan know why, memungkinkan kita memperoleh sistem penjelas yang inspiratif dan genuine. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam berinteraksi dengan sirah nabawiyah. Keduanya, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan menghasilkana sistem penjelas yang luas dan otoritatif mengatasi episteme dan argumentasi yang dikembangkan oleh sains dan disiplin modern.

Membangun peradaban Islam, berarti mengislamkan seluruh dunia ini, dalam setiap aspek dan tingkatnya. Misi-misi Islam harus dijelaskan dengan pola logika dan kerangka berfikir yang Islami pula. Tentu saja ini suatu pekerjaan besar, yang membutuhkan kesabaran seorang ideolog, untuk mewujudkannya.

footnote :
[1] Syahadah, merupakan deklarasi penolakan segala bentuk ketergantungan dan ketuhan-tuhanan (laa-ilaaha) dan hanya bersaksi kepada Allah (ilallah). Selanjutnya merupakan syahadah rasul yang secara definitif mengakui bahwa Muhammad adalah rasul Allah.
[18] Moderninsme adalah suatu “pola interaktif” antara manusia dengan alam dan oleh karena itu prakarsa-prakarsa modern berarti : Bagaimana merekayasa alam sehingga menjadi lebiih bernilai bagi manusia. Karena bentuk interaktif yang demikian (eksploratif) msks modernisme adalah “netralnetral” terhadap isme-isme yang ada, dan sekulerisme tidak berhak mengklaim bahwa modernisme terlahir karenanya.

0 comments:

Post a Comment

It is my pleasure to get your best respond through your comment

Quotes of the Day

Recent Comments

Followers

Shev's bookshelf: read

OutliersKetika Cinta Bertasbih5 cmLaskar PelangiSang PemimpiEdensor

More of Shev's books »
Shev Save's  book recommendations, reviews, favorite quotes, book clubs, book trivia, book lists