Hidup itu tentang pilihan kan ya ? Bahkan untuk tidak memilih pun juga suatu pilihan. Memilih, mungkin akan terasa mudah jika kita dihadapkan pada 2 hal yang bertolak belakang. Antara baik dan buruk. Antara yang kita sukai dengan yang tidak kita sukai. Namun permasalahannya, hidup itu tidak hitam putih. Ada merah, hijau, kuning, abu-abu, dan sejenisnya. Begitu juga pilihan yang tersedia. Tidak selalu antara suka dan tidak suka. Ingin atau tidak ingin. Ada juga masa-masa ketika kita dihadapkan pada 2 hal yang sama-sama kita inginkan. Dan tentu saja setiap pilihan akan membawa pada jalan yang berbeda.
Memilih akan lebih sulit ketika kita berada di akhir suatu fase dan hendak melangkah ke fase selanjutnya. Seperti halnya ketika kita berjalan dengan suatu tujuan, tikungan atau halangan tetap akan membawa kita ke tujuan tersebut. Bagaimana ketika kita sudah sampai tujuan ? Mau berjalan kemana lagi ? Kiri ? Kanan ? Loncat ? Atau diam menunggu hingga seseorang menunjukkan tujuan yang baru ?
Berbicara tentang akhir, saya sudah berada hampir di titik akhir dari masa-masa sebagai mahasiswa S1. Nah karena saya sudah sampai di akhir, saya harus mulai memikirkan akan kemana arah tujuan hidup saya selanjutnya. Well, saya sebenarnya sudah memikirkan itu sejak FYP selesai. Tapi pilihan yang saya ambil saat itu, ternyata tidak sinkron lagi dengan keadaan saat ini. Pada saat itu saya berpikir untuk kerja selepas kuliah. S2 memang menggiurkan. Apalagi kalau scholarship. Akan tetapi saya merasa bahwa saya sudah cukup penat untuk kuliah. Saya ingin mengaplikasikan apa yang saya dapat. Ingin menjajal sejauh mana saya bisa survive di dunia yang sesungguhnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya mendapatkan tawaran untuk mendapatkan gelar master by research di universitas saya saat ini. Jadi selain digaji, saya juga tidak usah membayar lagi untuk biaya master. At that time, I was so excited. Tidak semua orang mendapatkan tawaran tersebut. Apalagi tidak ada persyaratan yang memberatkan untuk mengambil scholarship tersebut. Dan orangtua saya juga mendukung. So, there is no problem, isn't it ? I will get paid and my master for free. Not to mention that the payment is gonna higher than in Indonesia. Apalagi yang kurang ? Well, ada beberapa hal yang masih mengganjal. Pertama, 3 taun di sini sepertinya sudah cukup. Saya ingin melanjutkan langkah saya di tempat lain. Saya ingin berkenalan dengan orang-orang yang baru, pengalaman-pengalaman baru, dan budaya-budaya yang baru. Intinya saya ingin hidup, ingin merasakan saripati hidup melalui perjalanan. Kedua, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya ingin mengaplikasikan ilmu saya. Merasakan manfaat dari apa yang selama ini saya pelajari.
Dan seperti koin yang selalu mempunyai 2 sisi, begitu pula tawaran itu. Ada buruk pasti ada juga baiknya. And here goes the good part. Pertama, payment. Jangan samakan biaya research disini dengan di Indonesia, dimana jarang ada researcher yang bisa hidup dari gaji research yang dibayar oleh pemerintah, disini nominalnya lebih dari cukup untuk hidup buat satu orang. Jadi sekali dayung 2 pulau terlampui, gelar master di tangan, hidup juga terjamin.
Kedua, akses ke conference. Well, supervisor saya memberi target untuk bisa menghasilkan setidaknya satu journal setiap 3 bulan. Dan journal itu harus dimasukkan ke dalam conference, baik local ataupun international. Jadi saya akan mendapatkan kesempatan untuk presentasi research saya di depan publik. Dan jangan lupa, it's gonna free! (Bandingkan dengan harga registration untuk conference yang biasanya berkisar di bilangan ratusan atau bahkan ribuan). Ketiga, disamping jadi researcher, saya juga akan diminta untuk mengajar. Saya tidak tau apakah ini suatu hal yang baik atau buruk, akan tetapi karena saya sudah terbiasa mengajar, I think I'm gonna enjoy this part. Ah iya, saya tidak pernah terpikir untuk menjadi guru atau dosen sebelumnya, meskipun banyak orang yang menyarankan seperti itu. Alasannya simple, saya takut terkena karma selama saya menjadi murid. I ain't gonna tell you how bad I am as a student. Sudah cukup fakta bahwa saya sering tidur di kelas sejak SMP sebagai bukti kalau saya bukan murid yang baik, apalagi rajin.
Jadi apa pilihan yang saya ambil? Saya sudah konfirmasi ke supervisor saya bahwa saya menerima tawaran tersebut. Akan tetapi entah kenapa saya masih merasa ada yang mengganjal. Mungkin saya akan menemukan jawabannya ketika saya bertukar pendapat dengan sahabat saya di Indonesia. Hal yang membuat saya tidak sabar untuk menanti tanggal 16 Februari. Namun satu hal yang saya sadari, apapun pilihan yang saya ambil, itulah yang terbaik bagi saya dan saya harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tidak akan mungkin saya menyalahkan orang lain, apalagi Allah, atas apa yang sudah saya putuskan bagi diri saya sendiri. Anyway, I'm having my exams by next week. Wish me luck to pass through it well.
Jan 31, 2011 |
2
comments
Labels:
My Life
2 comments:
"Alasannya simple, saya takut terkena karma selama saya menjadi murid."
alasan yg sama knp aku takut menjadi pendidik dan pengajar. hahaha...
Btw, kmu jadi mau ke bandung bulan februari ini? kapan wisuda?
hahahaha. tapi klo sudah bakat, kayaknya susah nggun. nurun dari umi sih. jadi gak bisa lepas dari kriteria pengajar kayaknya.
pinginnya. tapi balik cmn 10 hari. semoga ada waktu.
agustus depan insyAllah. doain lancar ye.
Post a Comment
It is my pleasure to get your best respond through your comment