Feb 15, 2010 |
0
comments
Sekadar ingin menyegarkan kembali tentang peran media dalam pembentukan opini hingga saat ini. Sekalipun tulisan ini sudah lumayan lama, tapi isinya masih tetap berlaku hingga saat ini.
-------------------
Jurnalisme Kuning dan Isu Malaysia
Oleh Giri Ahmad Taufik
Kurang lebih seratus tahun lalu, rakyat Amerika berang dengan tenggelamnya USS Maine yang menewaskan seluruh awaknya di lepas Pantai Kuba. Rakyat Amerika menuduh Spanyol menyerang kapal tersebut yang menyebabkan pecahnya perang Spanyol-Amerika. Ironisnya, setelah perang usai diketahui USS Maine tenggelam karena kecelakaan di kapal tersebut, yang pada awal permulaan konflik diberitakan oleh media massa Amerika, dengan sensasionalitas yang luar biasa, karena diledakkan Spanyol. Untuk pertama kalinya kekuatan media unjuk gigi dalam memengaruhi kebijakan pemerintah untuk berperang dengan mempraktikkan apa yang disebut yellow journalism.
Berjarak seratus tahun dari peristiwa Spanish-America War, di belahan dunia lain, Indonesia dan Malaysia, dua negara serumpun terlibat ketegangan akibat salah satunya mengabaikan prinsip bertetangga yang baik. Klaim terhadap wilayah teritorial, penggunaan ikon pariwisata Indonesia yang tidak semestinya, dan perlakuan kasar warga negara Indonesia oleh Malaysia, menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi berang. Keberangan itu bereskalasi menjadi dendam dan kebencian mendalam terhadap Malaysia. Ekspose media terhadap persoalan ini menjadi demikian hebat dengan sensasionalitas luar biasa.
Persoalan klaim budaya pun merembet ke isu lain yang tidak relevan, seperti mempersoalkan kehadiran mahasiwa Malaysia di Indonesia. Penyikapan pun menjadi semakin irasional dan tidak proposional, diiringi dengan pemberitaan yang sensasional dan berlebihan. Dengan derajat pemberitaan seperti ini, banyak media di Indonesia terindikasi mempraktikkan jurnalisme kuning.
Jurnalisme kuning
Pada dasarnya, jurnalisme kuning (yellow journalism) merupakan fenomena jurnalisme yang melanda AS di era akhir 1800-an dan awal 1900-an. Persaingan untuk meningkatkan penjualan oplah, atau dalam era sekarang untuk mendorong klik (dalam media dotcom) atau rating dalam media TV, membuat media di New York pada saat itu memberitakan skandal-skandal dan mengemas pemberitaan secara sensasional.
Jurnalisme kuning, tentu bukan fenomena baru dan bahkan tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Dengan mudah kita akan mengidentifikasi sejumlah media yang terkategori media hiburan sebagai pengamal setia jurnalisme kuning di Indonesia. Terkait isu Malaysia misalnya, bagaimana Manohara tiba-tiba menjadi "pahlawan nasional" yang ditindas penguasa Malaysia, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain untuk menciptakan proporsionalitas pemberitaan.
Pengamalan jurnalisme kuning tidak selamanya dimonopoli oleh media tidak serius, seperti media massa. Dalam derajat tertentu, media yang terkategori serius pun sering mengamalkan jurnalisme kuning, terutama media-media yang memiliki agenda tertentu dan berafiliasi terhadap garis pemikiran tertentu. Salah satu contoh, media-media yang bermunculan pada konflik Maluku di awal masa reformasi yang secara sensasionalitas mengumbar gambar-gambar vulgar disertai analisis-analisis dangkal dengan penyebutan kelompok agama tertentu sebagai musuh yang harus dibasmi.
Namun demikian, selalu terdapat dua sisi dalam mata uang. Jurnalisme kuning pada satu sisi, dapat mendorong dan menjadi alat efektif dalam mendorong perubahan. Namun dalam sisi lain, Jurnalisme kuning dapat pula memicu kekerasan dan radikalisasi.
Isu Malaysia
Indikasi menggejalanya jurnalisme kuning dalam isu Malaysia, secara masif dan sistemik dapat dilihat dalam isu "klaim tari pendet". Salah satu media elektronik di Indonesia memproduksi gambar secara berulang-ulang diikuti dengan narasi persuasif dengan mengulang-ulang kalimat "Malaysia kembali mengklaim". Dalam isu lainnya, yakni pemberitaan media lain di Indonesia tentang dilecehkannya lagu "Indonesia Raya". Dengan analisis spekulatif, pewarta media itu menyimpulkan, pelecehan lagu tersebut berasal dari Malaysia karena dibuat dalam style bahasa Malaysia dan dalam forum Malaysia. Dua contoh tadi, mengindikasikan dua hal. Yang pertama, pengejaran pada sensasi/berlebihan dan contoh yang kedua adalah pendasaran yang tidak reliabel dan kredibel yang masuk dalam karekteristik jurnalisme kuning.
Praktik jurnalisme kuning tersebut ditambah dengan kurangnya pemberitaan terhadap counter argument yang proposional terhadap versi lain dari isu Malaysia membuat banyak masyarakat Indonesia menarik kesimpulan, Malaysia adalah musuh dan pencuri. Labelisasi dan eksploitasi kebencian secara berulang-ulang dan massif ini akhirnya dapat menumbuhkan bibit radikalitas di kalangan masyarakat Indonesia, bukan tidak mungkin dapat mengaktifkan individu radikal frustrasi melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif atau dalam teori paling konspiratif, membuka kemungkinan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan yang menginginkan destabilisasi.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah eksploitasi isu demi klik dan rating merupakan tawaran sesungguhnya dari komunitas pers Indonesia, dengan kedok kebebasan pers. Atau fenomena ini merupakan fenomena insindental yang berdiri sendiri dan tidak merefleksikan praktik jurnalistik Indonesia atau hal ini merupakan problematisasi penulis saja yang menafsir fenomena ini secara berlebihan. Jika kemudian jawaban yang benar adalah dua yang terakhir, sudah sewajarnya kita mengucap syukur mengingat kerusakan yang ditimbulkan oleh jurnalisme kuning dalam kesejarahannya.***
[+] Penulis, Postgraduate Student Law Faculty University of Melbourne dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Labels:
Indonesia
0 comments:
Post a Comment
It is my pleasure to get your best respond through your comment