Menanggapi komentar yg d ajukan pada posting saya sebelumnya , maka saya memutuskan menanyakan kepada ustadz saya mengenai hal tersebut . Berikut pertanyaan dan jawaban beliau .
Pertanyaan :
"Assalamualaikum akh...
islam kan berarti dien(sistem) padahal sekarang kan yang dipakai bukan sistem dan syariat islam truz bagaimana dunk??
sekarang ini kan banyak aliran2 yg yg ktnya b'tujuan untk menegakkan syariat islam tp bnyk jg yg dibilang sesat, gmn cara membedakan yg benar???"
Jawaban :
ADA SEBUAH ULASAN MENARIK YANG BISA SAYA KUTIPKAN, DARI BUKU PROF. NAQUIB AL ATTAS, PROLEGOMENA TO THE METAPHYSICS OF ISLAM, TENTANG "DIEN" INI ....
SIAP-SIAP, KARENA INI CUKUP PANJANG. SELAMAT BELAJAR!!
wassalam.
Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islām yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, kemunculan pertentangan pada makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri, yang direfleksikan secara setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia secara setia adalah demonstrasi yang jelas itu sendiri akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.[1]
Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, beberapa dari mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, itu untuk mengatakan, seorang da’in menyertainya bahwa seseorang memerintah dirinya sendiri, dalam pengertian hasil dan mematuhi, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dengan cara, kepada kreditor, yang juga sama ditunjuk sebagai da’in[2]. Ada juga yang terkandung dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi sudah ada di sini dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dana, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas[3]. Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana[4] yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah kondisi yang biasa atau terbiasa. Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada tahap partikular ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan, sebuah kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.
Dalam bab 1, Al-Attas kemudian juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara alamiah akhirnya menyadari bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut termasuk juga dirinya atau eksistensinya. Hutang tersebut dikembalikan kepada Tuhan dengan dirinya sebagai alat bayar hutang itu sendiri. Manusia yang membayar hutang tersebut akan menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan. Terdapat dua penanda yang menunjuk kepada makna pelayan Tuhan yaitu khadim dan ‘abid. Penanda pertama menunjuk kepada makna bahwa pelayanan seseorang kepada Tuhan merupakan suatu hal yang beranjak dari keinginan dirinya sendiri. Khadim merupakan pihak yang tidak terikat dengan pihak yang dilayani. Dari sini kita langsung menuju penanda kedua yaitu, ‘abid yang bermakna bahwa seseorang yang menjadi pelayan bersifat terikat dengan yang dilayani. Sehingga seorang pelayan melayani dengan bentuk yang sesuai dengan permintaan yang dilayani. Meskipun dua penanda tersebut nampak berlawanan, sebenarnya tidak demikian. Kedua penanda tersebut sebenarnya menunjuk kepada aspek bahwa manusia memiliki pilihan (ikhtiyār) untuk melayani Tuhan dan saat dia sudah memilih maka ia melayani Tuhan sesuai dengan apa yang disampaikan Tuhan. Dari sini juga, Al-Attas mengatakan bahwa ‘abid lebih tepat dalam menunjuk pelayan Tuhan, yang pelayanannya disebut ‘ibadāt.
Saat manusia melayani Tuhan, maka pelayanannya tersebut berbuah kebaikan, seperti bumi yang mati kemudian ditimpa hujan yang berulang-ulang dan menumbuhkan pelbagai tumbuhan di atasnya. Pengembalian hutang atau pelayanannya pun kemudian dibalas dengan berlipat ganda. Dalam pelayanannya, sebenarnya manusia – yang ditunjuk sebagai ‘abid – juga sedang memenuhi tujuan penciptaannya, sebagaimana disampaikan dalam Qur’an:
‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’buduni).[5]
Maka menjadi masuk akal jika pelayanan yang dilakukan oleh manusia dirasakan oleh manusia sendiri sebagai sesuatu yang alamiah. Kealamiahan ini akhirnya beririsan dengan apa yang dikenal sebagai fţtrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah[6]. Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala sesuatu. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allah, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena itu bermakna perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena itu bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fiţrah adalah cosmos sebagaimana dilawankan dengan chaos; keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan kesalehan, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fiţrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian oleh manusia[7]. Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak menyertakan kehilangan ‘kebebasan’ untuknya, karena kebebasan dalam faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk pada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.
Dari sini pula, Al-Attas menegaskan pandangannya bahwa hanya ada satu agama, sedangkan yang lainnya hanya merupakan keagamaan. Sebab, hanya Islamlah yang dilekatkan dengan dīn secara sejati sedangkan ketika dīn digunakan untuk agama lain, sebenarnya hanya dilekatkan secara metaforis.
Hal ini secara gamblang dikatakannya bahwa ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat (faith) atau kepercayaan-lemah (belief) adalah inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati adalah tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan pada hukum Tuhan. Ketundukan pada keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan pada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’an Suci ketika Tuhan berkata:
‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya (cth.. seluruh dirinya) pada Tuhan...?’[8]
Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn, tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya pada Tuhan adalah yang terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia berkata dalam Qur’an Suci:
‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak pernah akan diterima darinya...”[9]
dan lagi:
‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’[10]
Menurut Qur’an Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan, sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah bahwa ketundukan menurut Islām adalah ketundukan yang tulus dan total pada kehendak Tuhan, dan ini ditetapkan secara sukarela sebagai kepatuhan absolut pada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam Qur’an Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:
‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’[11]
Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain[12]. Bentuk ini, yang merupakan cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan perilaku keagamaan, etis, dan moral – cara yang dengannya ketundukan pada Tuhan ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrahim (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang benar dīn al-qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung secara sempurna, hanifan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim, meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain mengembangkan sistem atau bentuk ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama ahlu’l-kitab – Orang-Orang Berbuku (People of the Book) – yang telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Adalah untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan ini yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang ”terpaksa”[13].
Kembali pada pelayanan yang dilakukan oleh manusia, maka jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang kenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, maka ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah[14].
Pandangannya tentang agama sebenarnya juga berputar atau berpusat pada Perjanjian Manusia di alam arwah, yang terungkap dalam Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172. Pada bab ini juga Al-Attas mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan oleh Tuhan pada manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri atau penelusuran rasional berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan penyembahan dan ketaatan, tindakan dalam pelayanan pada Tuhan (‘ibadat) yang, tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk menerimanya, manusia tersebut menerima dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan terbukanya selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut – seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos – memberikan pandangan mendalam pada pengenalan akan Tuhan, dan karena alasan tersebut, adalah pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan tersebut secara pokok tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sebagai persyaratan akan kemungkinan pencapaiannya, itu menyertakan bahwa pengetahuan tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan yang esensial dari Islām (arkan al-islām dan arkan-al-iman), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhid), dan mempraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia siap pada Jalan Lurus (sirat al-mustaqin) menuju Tuhan. Kemajuan lebih lanjutnya pada jalan peziarah tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsan). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi; pengetahuan itu bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada nilai pragmatis dari objek. Sebagai sebuah ilustrasi dari pemilahan antara dua jenis pengetahuan itu kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangganya yang baru hanya dengan perkenalan; dia mungkin tahu tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang lain yang dia tahu dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan akannya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah berapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan akan pengetahuan tentang tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti disebutkan. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan untuk mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri padanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara kebetulan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilatan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya – atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih – akan selalu ada baginya penutup atau misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian ukiran bola gadīng Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain akan tahu dengan merenungkan diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan dirinya yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya, sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang dia ketahui. Setiap orang seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga dengan kegelapan, dan kesepian yang dia tahu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan seperti itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini adalah sebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, izin untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan orang lain, dan kapasitas untuk menerima – sebuah periode yang membentuk ikatan yang pasti dari keintiman antara berdua.
[1] Ibid. Hlm. 41-42.
[2] Da’in menunjuk sebagai penghutang sebagaimana juga sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut sebagai menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60.
[3] Saya pikir sangat penting untuk melihat keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus diingat dalam pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-madīnah: Kota – atau lebih tepat, madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-madīnah disebut dan dīnamakan demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud untuk manusia. Terdapat mukmin yang memperbudak dirinya di bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyan-nya; terdapat realisasi berhutang kepada Tuhan yang mengambil bentuk yang jelas, dan dibuktikan dalam cara dan metode pembayarannya mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan untuk mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.
[4] Lisan al-‘Arab, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.
[5] Al-Dhariyat (51): 56.
[6] LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rum (30): 30.
[7] LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.
[8] Al-Nisa’ (4): 125.
[9] Ali ‘Imran (3): 85.
[10] Ali ‘Imran (3): 19.
[11] Ali ‘Imran (3): 83.
[12] Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-Nya – sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhid: Keesaan Tuhan.
[13] Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’an Suci: ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam agama yang benar harus tidak terdapat paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan penaklukan pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian bahwa bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus memaksa dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk dari tidak-percaya (kufr). Adalah salah untuk berpikir percaya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup dalam agama yang benar, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblis (syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kafir). Meskipun Iblis tunduk pada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan seorang kafir oleh karena itu menjadi seseorang yang, meskipun percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk dalam jalannya sendiri yang keras kepala – sebuah jalan, atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena itu adalah cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan Tuhan. Jadi, inti agama yang benar, maka, bukan kepercayaan-lemah, tetapi melainkan, lebih mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati.
[14] Kita tidak menyiratkan di sini bahwa ketika ’ibadah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salat) – cth. yang ditentukan (fard), praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafil) –tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti beberapa pemikiran filsuf. Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual (hal); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqamat), mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwal). Jadi ma’rifah menandai posisi-perpindahan spiritual antara tempat perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu adalah pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati (qalb) dan tergantung seluruhnya pada-Nya, adalah tidak serta merta merupakan kondisi permanen kecuali secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibadah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth. ‘arif) untuk mengubah ‘ibadahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘arif sangat sadar akan fakta bahwa menjadi satu setidaknya separuhnya berkaitan dengan ‘ibadah yang merupakan alat mendekati Rabbnya.
Nov 16, 2008 |
4
comments
Labels:
Islam in My Heart
4 comments:
Hehe...
saya belum baca. Panjang. Tapi saya save di laptop. Pinginnya entar kalau dah di kosan bisa di baca.
Makasih infonya. Eh, btw knp ga pake fitur "readmore" aja. Biar tampilan di halaman depan tidak sepanjang sekarang?
gpp mas . saya juga baru baca sekali . artikel ini perlu lebih dari sekali baca buat mengerti .
gtw caranya mas . T_T
klo yg d wordpress saya tw , tp saya udh coba cari d blogspot g nemu . mas tw caranya ?
klo template classic kayak punyamu...bisa kok..cm panjang caranya
tp klo template kyk punyaku...buset,,susah..gak bisa2
nah , nah . . isa kasih tw caranya donk mas . :)
sekalian minta ajarin bqn template kyk mas jg donk . [itu bqn sendiri bkn ?]
Post a Comment
It is my pleasure to get your best respond through your comment