Sepenggal Kisah Idul Adha

Topik yang disampaikan Mr. Najib di khotbah jumat tadi benar-benar menarik. Dan lebih menarik lagi karena mirip dengan apa yang saya dan meru diskusikan sebelumnya. Ada 2 bahasan yang bisa saya garis bawahi dari khotbah tersebut. Yang pertama, tentang perbedaan pelaksanaan sholat ied di kebanyakan negara. Di arab saudi dan negara middle east lainnya, sholat ied dilakukan pada hari selasa, berdasarkan fakta bahwa wukuf juga dilaksanan pada hari itu.Sedangkan bagi beberapa yang lain, mereka merayakan pada hari rabu, dengan asumsi bahwa pada hari itu hilal benar-benar sudah terjadi. Perayaan pada hari rabu (di malaysia dan di indonesia) ditetapkan oleh pemerintah.

Ada beberapa alasan yang (menurut saya) menjadikan alasan bagi pemerintah untuk menetapkan hari rabu sebagai hari raya idul adha. Yang pertama, saperti yang sudah saya katakan di atas, hilal sudah jelas terjadi baik berdasarkan perhitungan ataupun observasi. Yang kedua, berdasarkan hadist bukhari dan muslim tentang hari raya dan awal puasa, kedua event tersebut dilakukan berdasarkan terlihatnya hilal di daerah masing-masing. Sedangkan terlihatnya hilal merupakan hal yang 'tidak' pasti. Saya katakan 'tidak' karena bisa saja pada saat terjadinya hilal tertutup oleh awan ataupun kejadian lainnya. Sehingga ketika pemerintah mendasarkan pada terjadinya hilal, itu berarti hari libur tidak bisa ditetapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dan bisa berakibat pada aspek-aspek lainnya. Maka ditetapkanlah hari 10 Dzulhijjah berdasarkan penghitungan yang boleh jadi pada kenyataannya 10 Dzulhijjah itu sendiri sudah berganti menjadi 11 Dzulhijjah. Alasan ketiga, agar masyarakat Islam tidak bingung menentukan hari raya mereka.

Alasan-alasan tersebut memang cukup kuat, namun hal itu justru menimbulkan polemik tersendiri bagi umat Islam. Sebagai permisalan, jika 10 Dzulhijjah adalah hari rabu, maka tanggal 13 hari jumat dan merupakan hari tasyrik. Hal yang berbeda jika 10 Dzulhijjah adalah hari selasa. Dan tentu saja perbedaan satu hari ini akan terus berefek pada event-event selanjutnya (jika konsisten berpatokan pada tanggal yang kita yakini). Efeknya ? Besar sekali. Bisa jadi ketika kita berniat puasa 10 Muharram, ternyata sudah 11 Muharram. Itu hanya satu contoh kecil, selebihnya bisa Anda cari sendiri. Polemik terbesar muncul yang cukup membuat saya pusing adalah ketika arab saudi melaksanakan sholat ied pada hari selasa, maka sebagai daerah yang perbedaan waktunya lebih dulu daripada arab (time zone arab saudi itu GMT +3 sedangkan daerah asia tenggara +7 atau lebih) seharusnya kita juga melaksanakan sholat pada hari selasa. Nggak masuk akal banget klo perbedaan hilal bisa sampai 24jam.

Disamping itu, ada satu kalimat yang disampaikan oleh Mr. Najib yang amat sangat saya setujui. Beliau berkata bahwa, boleh-boleh saja kita berhari raya berbeda. Namun pernahkah terpikir oleh kita umat Islam bahwa jika kita tidak bersatu pada hal yang kecil, bagaimana kita akan bersatu pada hal yang lebih besar ? Adapun pemersatunya mudah saja, kembali ke Qur'an dan Sunnah. Jika panduannya adalah hilal, maka hilal lah yang jadi panduan. Begitupun seterusnya.

Ada satu hal yang membuat saya tersenyum mengingat perbedaan hari raya ini. Salah seorang teman mengatakan bahwa dia berpuasa pada hari minggu dan senin namun ikut sholat ied pada hari rabu. Alasan yang dia berikan adalah karena dia ikut pemerintah. Saat itu saya hanya bisa tersenyum manggut-manggut. Kalau ditanya saya bagaimana ? Sebenarnya saya tidak berniat sholat ied pada hari rabu, karena saya puasa pada hari senin. Dan meyakini bahwa 10 Dzulhijjah itu hari selasa. Namun karena tidak ada yang sholat pada hari selasa (atau setidaknya yang saya tau) dan daripada tidak sholat sama sekali, yaudah mau gak mau ikut yang hari rabu.

Topik kedua menyangkut hari tasyrik. Pada 3 hari setelah sholat ied, umat muslim disunnahkan untuk memperbanyak bertakbir kepada Allah atas segala kekuasaannya. Allah Akbar, Allah Akbar, Allah akbar walillahil hamd. Allah Maha Besar, Alllah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagiNya segala puji. Dengan bertakbir, secara tidak langsung kita mengakui bahwa hanya Allah yang Besar, yang lain kecil. Final Year Project ? Kecil ! Certified Ethical Hacker exam ? Mudah ! Jika Dia sudah menghendaki, siapa yang bisa menghentikan ?

Bersamaan dengan itu pula timbul pertanyaan besar. Apakah kita sudah benar-benar meyakini bahwa Allah itu Maha Besar ? Apakah kita masih menganggap bahwa bantuan teman pada saat ujian lebih besar daripada bantuan Allah ? Jika belum, maka boleh jadi hal itu mengisyaratkan bahwa iman kita masih jauh dari tahap ihsan. Karena sebagaimana dikatakan oleh sahabar Ali bin Abi Thalib RA ketika ditanya mengenai iman, maka beliau menjawab :

Al imaanu an tashdiqu bil qalb, wa iqra'u bil lisa, wal 'amalu bil arkan.

Artinya :
Iman ialah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan perkataan, dan mengamalkan dengan rukun-rukunnya.

Jadi, masih pantaskah kita bergantung kepada selainNya ketika kita bertakbir dan menyembah kepadaNya ?


-----

PS: ditulis dengan perubahan seperlunya dari khutbah jumat di Multimedia University Mosque pada hari ini

0 comments:

Post a Comment

It is my pleasure to get your best respond through your comment

Quotes of the Day

Recent Comments

Followers

Shev's bookshelf: read

OutliersKetika Cinta Bertasbih5 cmLaskar PelangiSang PemimpiEdensor

More of Shev's books »
Shev Save's  book recommendations, reviews, favorite quotes, book clubs, book trivia, book lists