Negeri 5 Menara, yap buku inilah yang beberapa bulan lalu sempat masuk dalam list buku yang harus saya beli ketika pulang ke indonesia. Sayangnya buku tersebut was unavailable di toko buku-toko buku yang saya kunjungi saat itu. Akan tetapi biar bagaimana pun kalau sudah rejeki gak bakal kemana. Setelah beberapa bulan tidak membaca novel (terakhir kali sang penyair yang bahkan sampai sekarang belum tuntas dibaca), akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk 'bertemu' dengan buku karya Ahmad Fuadi ini.
Membaca buku ini membawa saya melintasi waktu kembali ke masa saya SMP di sebuah pondok pesantren di kota Malang. Menyatukan kembali puing-puing ingatan saya akan kejadian-kejadian baik konyol maupun memalukan yang pernah saya perbuat. Membuat saya teringat bagaimana kita, penghuni baru, harus sembunyi-sembunyi jika ingin bercakap-cakap dengan bahasa indonesia. Lengah sedikit maka jasus di sekeliling akan dengan senang hati menulis pelanggaran bi'ah yang dilakukan dan berakibat pada hukuman rotan seusai sholat ashar. Jasus, peran yang diambil oleh orang yang ditunjuk oleh pembina bahasa saat itu (Alm. Ustadz Siswaji Purba -- Semoga Allah merahmati beliau), bisa siapa saja dan dimana saja. Dan berawal dari perseteruan antar kamar pada saat saya kelas satu, jasus menjadi beralih fungsi, sebagai alat balas dendam. Maka berlakulah pakta kesetiakawanan tak tertulis bagi semua warga satu angkatan --
siapapun orangnya biarpun jasus tidak boleh mencatat kawan sekamar, hanya boleh mencatat penghuni lain kamar. Pakta yang membuat kami sedikit leluasa untuk tidak menegakkan bi'ah ketika berada di dalam kamar. Dan berkat perseteruan antar kamar sehingga jasus tidak berfungsi optimal seperti sebagaimana mestinya (ada salah seorang kawan saya yang mencatat 100 pelanggaran bahasa untuk satu orang dan itu berarti orang itu harus menerima iqob sebanyak 100x pukulan menggunakan kabel), maka bi'ah menjadi amburadul dan tidak terkontrol. Hal yang baru saya sesali manfaatnya saat ini, bertahun-tahun sesudahnya.
Teringat pula saat-saat tahfidz sesudah shubuh, tarjim sesudah maghrib, dan tartil sebelum maghrib. Diantara 3 pelajaran itu, tentu saja yang paling saya senangi adalah tahfidz dan tarjim. Alasannya simpel saja, kalau tahfidz sistemnya setoran. Jadi semakin cepat menyetor hapalan, maka semakin cepat kembali ke kamar. Dan bagi saya, yang ahlun naum, hal ini merupakan anugerah, soalnya bisa lanjut tidur yang terpotong. Jadilah sebelum sholat menjadi waktu yang cocok untuk menambah hapalan. Selain faktor ingin cepat tidur lagi, ada satu hal lain yang membuat saya terpacu untuk terus menambah hapalan. Competition with my friends. Ada beberapa orang dari kawan saya yang tidak mau kalah dan mereka berusaha sebisa mungkin agar jumlah hapalan lebih banyak dari punya saya. Dan karena saya pada dasarnya orang yang gak mau kalah, ini justru semakin memacu untuk berbuat lebih lagi. Jadi kalau dia menyetor satu halaman, maka saya harus bisa lebih dari itu. Atau kalau tidak bisa lebih, yang penting jangan sampai terkejar jumlah ayatnya. Adapun tarjim, karena ustadznya pada saat itu sering bercerita asbabun nuzul dari ayat-ayat tertentu, maka pelajarannya mengasikkan bagi saya.
Menginjak bagian dimana penulis di gundul 'hanya' karena keluar tanpa ijin, membuat saya teringat seringnya saya melakukan hal itu dengan kawan-kawan. Bagi kami saat itu, untuk keluar tanpa ijin adalah suatu hal yang mendebarkan. Kalau di film-film itu ibarat ketika tahanan mencoba melarikan diri dari penjara. Harus pintar-pintar mencari celah ruang dan waktu agar tujuan tercapai, buat main PS atau game online. What a shame isnt it ? I couldnt stop smiling when remember how I could sacrifice my precious bedtime so that I was able to do such things. Dan seperti halnya dalam perang dimana tidak setiap peperangan selalu memperoleh kemenangan, saya pun pernah beberapa kali 'tertangkap' ketika sedang dalam 'pelarian'. Lalu apa hukumannya? Tidak seberapa kejam kok. 'Hanya' disuruh berendam atau membersihkan sungai kecil yang mengalir di sekitar kompleks pondok. Atau kalau mau yang lebih ringan bisa dibotakin jadi mirip biksu shaolin.
Disamping beberapa hal di atas, masih banyak lagi hal-hal yang mirip dengan di buku tersebut yang jika saya ceritakan tidak cukup hanya dengan satu postingan. Saya akui, mengenai alur cerita, laskar pelangi is far better than this one. Tapi ada satu hal yang tak tergantikan, kenangan masa lalu. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat saya memberi 4 out of 5 star.
Sebagai penutup, kalau si penulis 'berhasil' meraih mimpinya untuk menginjakkan kaki di negeri Paman Sam, maka saya bertekad bahwa saya akan menginjakkan kaki di France and Germany. Mungkin? Mungkin saja, toh seperti apa yang dicamkan oleh rais dari ponpes tempat penulis belajar saat itu, Man Jadda Wajada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil. Tak ada yang mustahil bagiNya. And spending almost 8 hours to finish the whole book seems worth it. Even it means that I had to sacrifice my time to study Network Security's midterm which will be conducted on wednesday.
----
nb :
[+] penulis yang saya maksud disini adalah penulis buku Negeri 5 Menara, Mr. Ahmad Fuadi, bukan empunya blog.