Oleh Sirikit Syah
Publik kembali dihadapkan pada perdebatan sengit tentang perlu tidaknya negara memiliki UU Pornografi. Selain sengit, perdebatan yang mengulang peristiwa 2006 ini juga kurang seimbang.
Tanpa dilakukan penelitian khusus pun, konsumen media menangkap dominasi suara anti-RUU Pornografi di media massa, cetak maupun siaran (berita maupun talk show). Di mana suara mereka yang pro-RUU? Apakah memang tak ada yang pro; atau ada tapi kurang pandai mengekspresikan pendapat; atau media dengan sengaja tidak memberi mereka kesempatan?
Argumen yang diajukan penentang RUU itu-itu saja, dan kebanyakan tidak valid lagi dengan perubahan draf RUU 2008 dibanding draf 2006. Garis besar perubahan ini adalah a) berkurangnya pasal yang mengatur hingga separonya, terutama pasal yang mengatur pornoaksi, b) ditampungnya masukan dari pihak anti-RUU pada 2006, terutama perihal perlindungan pada masyarakat dan kesenian tradisional dan penghargaan terhadap multikulturalisme.
Prasangka para penentang terhadap "kepentingan politik" atau "kepentingan agama tertentu", seperti disiratkan dalam tulisan Agus Sudibyo (JP, 21 Oktober), tidak mendasar. Bila tuduhannya "kepentingan politik", fenomena penolakan RUU ini justru tidak populer bagi para oportunis di lingkungan legislatif. Bila ingin populer dan sukses secara politis, menentang RUU lebih menguntungkan.
Semua elemen masyarakat yang memiliki amplifier dan loud speaker (LSM dan media), pasti mengelu-elukannya. Sedangkan tuduhan "kepentingan agama", di mana Islam menjadi sasaran bulan-bulanan, tidak mendasar karena mayoritas diam umat Islam tidak peduli.
Bila dicermati, demo dukungan terhadap RUU Pornografi sering hanya merupakan reaksi penyeimbang atas demo yang jauh lebih gencar dari kalangan anti-RUU.
Berbicara masalah substansi, kedua belah pihak sebetulnya bisa berangkat dari common ground, dasar yang sama, yaitu keduanya antipornografi. Setelah dasar ini disadari bersama, kedua belah pihak dapat mengurai dan membahas hal-hal yang dipandang berbeda, dengan tujuan mencapai kesepakatan.
Para perancang di DPR sudah melakukan bagian pekerjaannya, yaitu mengurangi pasal-pasal yang dianggap merisaukan. Sudahkah pihak penentang melakukan bagian pekerjaannya, misalnya mempertimbangkan masukan pihak pendukung RUU?
Tanpa selangkah surut seperti itu, penentang akan terus menentang secara membabi buta. Alasan-alasan mereka semakin terasa mengada-ada, bahkan kabur. Sebab, sebagian besar sudah dituruti para legislator dalam re-draf RUU versi 2008.
Ketakutan akan ancaman pada multikulturalisme dan integrasi bangsa sudah dipatahkan dengan terlindunginya masyarakat tradisional & ekspresi kesenian (pasal 14 yang mengecualikan mereka dari aturan umumnya). Dengan pasal ini, orang Papua berkoteka atau para penari berpakaian agak terbuka, tidak menjadi objek RUU. Para turis bertelanjang dada di Pantai Kuta Bali tentu bukan objek RUU. Jadi, industri pariwisata Bali tak perlu terlalu paranoia.
Perempuan Bali sendiri tak akan pamer payudara di hadapan publik, bukan? Kecemasan para sineas juga tak perlu karena bukankah selama ini mereka juga harus lolos gunting LSF?
Alasan lain ialah sudah adanya UU lain yang mengatur pornografi. Para penentang itu tidak cukup jujur untuk mengemukakan bahwa UU lain itu tidak menyebutkan kata "pornografi'', melainkan ''kesusilaan'' (decency). UU Pers No 40/1999 pasal 5 ayat 1 menyebutkan penghormatan pada norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Pasal 282 KUHP mengatakan ''barang siapa melakukan pelanggaran kesusilaan'', dan UU Penyiaran No 32/2002 pasal 35 ayat 5.b menyebutkan pelarangan isi siaran yang menonjolkan -antara lain- unsur kecabulan.
Catatan sejarah menunjukkan beberapa kasus dugaan pornografi gagal dihukum karena saksi ahli di pengadilan berhasil meyakinkan hakim bahwa melanggar susila, sekalipun terbukti, tidak berarti pornografi.
Kemenangan majalah Playboy dari gugatan masyarakat di awal 2007 adalah salah satu buktinya. Pasal-pasal yang dulu diremehkan sebagai ''pasal karet'' dan ditolak digunakan untuk menjerat ''kebebasan berekspresi dan kebebasan media''; kini menjadi pahlawan, bahkan modal perjuangan bagi para penentang RUU Pornografi.
Para penentang menginginkan kemenangan mutlak tanpa kompromi. Pasal-pasal lama adalah ''karet'' dan pasal baru (RUU Pornografi) adalah ''memberangus''. Tujuan mereka adalah: pornografi tak perlu diatur negara. Padahal, negara sedang mempertaruhkan masa depan generasi muda: internet diserbu ratusan ribu situs porno (di Indonesia saja); siaran MTV dengan klip video yang penuh pelanggaran susila, yang di negeri asalnya disalurkan di TV Cable (berlangganan), gampang diakses di TV Indonesia; tabloid porno terus beredar meski kerap digerebek.
Para penentang juga berprasangka bahwa aparat akan mudah terangsang dan menggunakan itu sebagai alasan memberangus mereka yang sebetulnya tidak bermaksud ''merangsang''. Keberatan mereka akan frasa ''menimbulkan rangsangan seksual'' adalah naif, karena hampir semua kamus bahasa Inggris mendefinisikan pornographydengan keterangan mengandung unsur sexual arousal. Bahwa aparat ''mudah terangsang'' atau para penentang yang ''sulit terangsang'' adalah persoalan pribadi yang tidak valid dibawa-bawa dalam diskusi aturan publik.
Prasangka buruk kepada komunitas seperti FPI (Front Pembela Islam) dan sejenisnya adalah kekhawatiran berlebihan, seperti pre-emptive action. Dicurigai sebelum terjadi. Seandainya memang terjadi FPI melakukan tindakan ngawur atas nama UU Pornografi, aparat dan publik dapat mengujinya secara terbuka: apakah sasaran FPI melanggar UU Pornografi atau FPI yang melakukan tindakan kriminal.
Kita adalah masyarakat demokratis yang hidup di negara hukum. Kita tahu mana yang benar dan mana yang melanggar. Tak sepatutnya para penentang mengatasnamakan kita -rakyat- untuk mencegah terbitnya UU Pornografi.
Sirikit Syah , analis media, mengajar di Stikosa-AWS dan FIB-Unair
Oct 25, 2008 |
0
comments
Labels:
My Society in My Opinion
0 comments:
Post a Comment
It is my pleasure to get your best respond through your comment