source: Rumah Pintar Kembahr
Untuk jiwaku, yang sekarang sedang gundah, yang sekarang sedang gelisah…
Gelisah karena kau ingin segera tahu nasibmu kelak.. Apakah kau bisa membahagiakan keluargamu atau tidak? Apakah kau bisa membahagiakan orangtuamu atau tidak? Apakah kau bisa membahagiakan orang terkasihmu atau tidak?
Sabarlah wahai jiwaku, upaya hari ini memang bukan untuk kau tuai hari ini. Kau diciptakan untuk jadi orang besar, untuk jadi penerang disekitarmu, karena sebagian cahaya ada dalam dirimu.
Jiwaku yang sedang berhenti dan bingung.
Jika kau memang mau, berhentilah sejenak, nikmati kesedihanmu, rasakan kelelahanmu. Karena mungkin selama ini aku memaksamu terlalu keras. Tapi aku minta, jangan terlalu lama, karena aku membutuhkanmu, temanku membutuhkanmu, orang-orang terkasihmu membutuhkanmu.
Mereka rindu dengan diriku yang telah kau buat menjadi hebat, menjadi besar, menjadi pemimpin atau pemberani yang sering mereka lihat selama ini. Mereka ingin bertemu lagi dengan diriku yang telah kau buat menjadi penyemangat bagi orang lain, inspirator bagi kawan dan juga mentor bagi diriku sendiri dan orang terdekatku.
Selamat menikmati waktu istirahatmu wahai jiwaku… esok atau mungkin lusa atau mungkin kelak hari, ketika kau sudah siap menemaniku lagi, aku akan menyambutmu dengan diri yang lebih bijak dan tangguh, diri yang tak banyak mengeluh dan lebih mawas.
Dan saat itu, kau bisa menemaniku lagi untuk berbuat sesuatu hal yang membuat orang berdecak kagum. Dan saat itulah kita bisa menunggu hasil kerja kita dan kita tuai bersama hasilnya.
Dari Diriku..untukmu Jiwaku…
In order to get something, you have to sacrifice something equal.
Pernah dengar quote diatas? Bagi yang belum pernah dengar, quote diatas merupakan postulate (kalau boleh saya menganggap demikian) untuk melakukan transmutasi benda dalam dalam Full Metal Alchemist. Apakah saya akan memberikan langkah-langkah untuk melakukan transmutasi pada postingan kali ini? Tentu saja tidak. Selain karena saya bukan pendukung Mr. Lamarck dengan teorema transmutasi makhluk hidupnya, saya juga tidak terlalu menguasai dengan segala yang berhubungan dengan biologi. Lalu apa yang akan saya bahas disini? Kebenaran dari postulate di atas! Tentu diluar aspek alkimia dan sejenisnya.
Saya teringat lagi dengan quote diatas (salah satu quote favorit saya) ketika beberapa teman saya meminta bantuan untuk mengerjakan tugas mereka. Permintaan mereka sama, bagaimana agar tugas itu selesai, namun pengorbanan yang dilakukan tentu saja berbeda. Saya mengklasifikasikan menjadi 3 macam:
- Buddy. Jenis yang pertama ini memanfaatkan pertemanan untuk keuntungan mereka. Biasanya mereka akan meminta dengan muka memelas untuk dibantu mengerjakan tugas. Parahnya, pada akhirnya saya bukan sebagai advisor, yang memandu mereka dalam mengerjakan tugas. Tapi sebagai orang yang mengerjakan tugas itu sendiri. Dan rata-rata orang indonesia masuk ke dalam kategori ini. Apa yang mereka dapat? Nilai. Selebihnya? Nothing. Dan percayalah, tugas boleh jadi selesai, tapi pada saat exam, saya hampir yakin mereka akan kesusahan.
- Client. Tipe yang satu sedikit lebih baik dari tipe pertama. Setidaknya mereka memberikan imbalan untuk apa yang saya lakukan. Akan tetapi sama seperti tiper pertama, mereka tidak akan mendapatkan ilmu apapun dari tugas tersebut. Rata-rata orang Arab masuk ke dalam kategori ini.
- Partner. Ini adalah jenis orang yang paling saya suka. Mereka ikut andil dalam penyelesaian masalah. Sehingga setidaknya mereka juga mengetahui bagaimana tugas itu diselesaikan. Sekalipun saya tidak mendapatkan bayaran atau apapun, saya lebih memilih untuk berhadapan dengan tipe orang seperti ini. Karena ini berarti ilmu yang saya punya akan bermanfaat. Biasanya yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang sudah senior, dalam artian 3 sampai 4 tahun kuliah. Karena mereka sudah sadar bahwa mereka tidak akan mendapatkan apapun ketika mereka bertindak sebagai buddy atau client.
Dari contoh diatas, saya yakin anda bisa menyimpulkan apa yang akan mereka dapat dari 3 jenis orang tersebut. Bagi tipe Buddy, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Tugas yang terselesaikan pun hanya sebatasnya saja. Sapa sih yang mau mengeluarkan usaha berlebih ketika mereka tidak mendapatkan apapun? Dan tentu saja, karena hanya bertindak sebagai Buddy, mereka tidak bisa demand untuk hal yang lebih.
Tipe client tentu sedikit berbeda. Sama halnya dalam berbisnis, yang membayar anda berhak untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, tentu saja tergantung dari perjanjian yang telah dibikin sebelumnya. Setidaknya tipe ini lebih berhak untuk meminta kepada pihak penawar jasa. Tipe partner lebih bagus lagi, karena mereka ikut mendampingi bagaimana tugas itu dikerjakan, mereka bisa sewaktu-waktu bertanya untuk hal-hal yang tidak mereka ketahui. Dan karena mereka sudah mempunyai dasar pengerjaan, maka ketika mereka mempunyai ide, hal itu bisa dapat di implementasikan segera.
Anda lihat, apa yang mereka dapat sesuai dengan apa yang mereka korbankan. Mereka yang tidak mengorbankan apa-apa, maka jangan harap akan memperoleh hasil maksimal. Mereka yang mengorbankan uang, maka mereka akan memperoleh hasil sesuai dengan jumlah uang yang mereka keluarkan. Namun mereka yang mengorbankan waktu, mereka akan mendapatkan ilmu yang tidak akan lekang oleh waktu.
Lalu bagaimana dengan aspek lainnya? Saya kira postulate diatas juga berlaku. Pengorbanan yang kita lakukan akan sebanding dengan hasil yang kita terima. Tentu berbeda mereka yang belajar dengan sistem SKS dengan mereka yang belajar setiap harinya. Dan tentu saja berbeda mereka yang bekerja dari pagi saat matahari terbit hingga matahari terbenam dengan mereka yang duduk-duduk saja di rumah, dalam skala yang sama. Maka jangan harap anda akan memperoleh hasil yang, jangankan lebih, sama saja mungkin sudah bagus, jika anda tidak mengorbankan apapun. Namun tentu saja, sebagaimana terdapat pengecualian dalam postulate Koch, postulate di awal postingan ini tentu memiliki pengecualian. Apakah itu? Silahkan simak di postingan berikutnya! (Jika masih ada kesempatan)
Pernah gak sih ngerasa waktu 24 jam itu gak cukup? Ngerasa kalo tugas kita terlalu banyak sedangkan waktu kita begitu sedikit? Kalo kamu ngerasa seperti itu, well, selamat deh! Karena aku masih belum ngerasain itu sampai sekarang. Kalo dipikir-pikir, sewaktu aku SMP, sekalipun seolah-olah kegiatan di pondok sangat padat, toh ternyata aku masih punya banyak waktu luang. Sekalipun ya kadang-kadang harus curi-curi juga sih. Kayak pas waktunya sekolah malah tidur di asrama. Atau cabut ke kantin lama banget. Keluar tanpa ijin setelah jam sekolah habis. Tapi jujur deh, sekalipun aku gak ngelakuin itu semua dan jadi anak baik-baik, masih banyak kok waktu yang tersisa.
Menginjak masa SMA, sepertinya juga tdak jauh beda. Ikut organisasi intra dan extra sekolah gak bikin aku ngerasa waktuku sangat dikit. Berjalan cepat sih iya, cuman ngerasa kurang? Kayaknya enggak deh. Toh aku masih bisa main, belajar *seadanya*, atau keliling-keliling. Emmm... Oke, I admit it. Keliling-keliling ini gak sampe luar kota. Males aja keluar kota cuman 2 hari, sabtu sama minggu. Sayang uangnya.
Nah, saat SMA aku berpikir kalo jadi mahasiswa berarti waktuku bisa penuh. Berdasarkan pengalaman senior yang udah jadi mahasiswa sih gitu. Tapi ternyata, ya tidak jauh beda. Bahkan sekalipun aku ngambil 24 SKS, waktu yang tersisa juga masih banyak. Masih bisa bermalas-malasan, main-main, ngerjain kerjaan orang.
Kelar jadi undergraduate student, aku pikir hari-hariku bakalan sibuk. Setidaknya seharusnya begitu. Berangkat ke kampus pagi dan baru balik sore lalu belum lagi supervise teman dan ngerjain project, aku rasa aku cukup punya alasan untuk berpikiran bahwa hari-hariku akan penuh. Akan tetapi ternyata tidak juga, setidaknya yang aku rasakan sampai hari ini. Project dan supervising tetap berjalan, tapi tetap saja ada waktu kosong. Seperti saat ini. Maka jika kamu ngerasa bahwa waktu kamu yang 24 jam itu tidak cukup, kasih tau donk gimana caranya. Karena aku masih punya banyak waktu, yang sayangnya, masih kurang berguna.
Jika ada satu kata yang sangat akrab diucapkan oleh hampir setiap orang, maka aku yakin kata itu adalah 'JIKA'. Dengan 'jika', kita bisa melepaskan diri dari kenyataan, dan bergelut dengan impian tentang hal yang kita harapkan terjadi. 'Jika', entah itu seorang pemuda yang tegar ataupun seorang gadis yang cengeng, pasti ada suatu saat dimana dia merasa 'jika' adalah hal yang seharusnya dia lakukan. Tetapi tentu saja, kenyataan tidak akan berubah bahkan dengan beratus-ratus 'jika', bukan? Eh, maaf aku salah. Ternyata ada satu 'jika' yang bisa mengubah masa depan. 'Jika' yang diucapkan oleh mereka yang mempunyai pikiran jauh ke depan, atau mungkin mereka yang terlalu banyak pikiran? 'Jika' yang berfungsi sebagai pencegah. Pencegah untuk melakukan suatu keburukan, atau malah sebagai penghalang atas kebaikan yang akan kita lakukan. 'Jika' yang diucapkan oleh pencuri yang akan mencuri sesuatu karena takut akan hukuman yang akan dia terima, tentu adalah sebuah 'jika' yang baik. Sebaliknya, 'jika' yang diucapkan oleh seorang yang kaya yang akan menyumbang sebagian hartanya lalu takut hartanya akan berkurang. Nah, dari berbagai macam 'jika' diatas, aku masih bingung 'jika aku tidak mengenalmu' ini sepantasnya ditaruh mana. Penyesalan? Mengenalmu adalah suatu keberuntungan dalam hidupku, bagaimana aku bisa menyesal? Pencegahan? Well, jika memang menikahimu, yang memang adalah rencanaku, adalah suatu keburukan, maka bisa jadi pikiran itu adalah suatu hal yang baik. Jadi 'jika' yang itu, kira-kira masuk ranah yang mana ya?
Once you choose, don't ever regret it.
- Historina Safitri Hakim
Diantara salah satu sifat jelek saya adalah gak mau kalah dengan orang lain. Apalagi ketika saya mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hal tersebut, tetapi tidak saya lakukan karena pilihan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika masa-masa awal internship, saya pernah merasa 'menyesal' kenapa tidak melamar untuk magang di petronas. Karena dalam bayangan saya saat itu, dan sebagian besar teman saya, bahwa dengan diterima magang di perusahaan ternama, maka untuk mencari kerja bisa jadi lebih mudah. Ternyata kenyataan tidak semanis pengharapan. Beberapa teman saya yang magang di perusahaan besar bercerita kalau ilmu yang mereka dapat tidak sebanyak dengan mereka yang magang di perusahaan kecil. Dan tentu saja, perusahaan kecil disini bukan perusahaan yang skala UKM di Indonesia, melainkan perusahaan yang jaringannya sudah multinasional sekalipun jumlah karyawan tidak seberapa. Akhirnya saya menyadari bahwa saat itu saya sudah membuat pilihan yang tepat.
Apa yang saya rasakan saat awal internship itu, rupanya saya rasakan lagi saat ini, ketika masa job hunting untuk para fresh graduate. Mungkin saya harus belajar untuk lebih bersyukur lagi kali ya. Saya merasakan sedikit rasa iri ketika teman-teman saya bercerita perusahaan tempat mereka akan bekerja dan salary yang akan mereka terima. Rasa iri ini muncul karena jika saya mau, saya yakin insya Allah saya bisa mendapatkan hal yang sama, atau bahkan lebih. Darimana keyakinan itu datang? Pertama, anjuran dari mereka yang sudah diterima di berbagai perusahaan. Mereka berkata kalau mereka saja bisa, maka seharusnya saya pun bisa. Kedua, karena beberapa dari mereka ada yang meminta bantuan saya untuk menyelesaikan soal interview. Dan mereka lolos.
Bermula dari application process yang lumayan ribet, karena saya belum officially graduated, dari situ sempat berulang kali saya berpikir untuk melepas saja tawaran scholarship dan mencari kerja saja sebagai gantinya. Berpikir sendiri ternyata masih bingung, maka saya berdiskusi dengan senior dan kawan. Tapi hasilnya pun sama saja. Saya masih tetap belum mantap untuk melanjutkan studi. Jika bukan karena dorongan dari orangtua saya, maka saya pasti sudah melepas tawaran itu. Hingga akhirnya saya pun pasrah dan melakukan hal yang sama seperti saat saya memilih universitas, meminta petunjuk dari Dia yang Maha Tahu akan Segalanya. Apa yang saya minta simple saja, jika memang melanjutkan studi adalah jalan yang terbaik buat saya, maka saya minta agar dimudahkan jalan menuju kesana dan jika tidak, maka saya minta petunjuk untuk jalan yang terbaik bagi saya. Dan ternyata jalan yang dimudahkan adalah melanjutkan studi. Jadi sudah tidak seharusnya saya mundur saat ini, karena saya yakin inilah jalan saya. Dan jika saya merasa kurang atas apa yang saya dapat saat ini atau yang akan datang, semoga begitu membaca postingan yang ini saya kembali teringat, bahwa tidak seharusnya saya menyesal atas pilihan saya sendiri. Karena ini jalan saya, dan akan saya buktikan bahwa saya tidak akan kalah dengan mereka yang memilih untuk bekerja. Let's see !!
Ada begitu banyak yang ingin saya ceritakan. Tentang pusingnya saya karena postgraduate application yang ribet, job pertama saya sebagai freelancer, dan pindahan barang dari rumah saya yang lama ke yang akan saya tempati. Tapi betapapun inginnya saya untuk cerita, saya sampai tidak tau harus mulai darimana. Bagaimanapun dan apapun, saya semakin yakin akan satu hal, kuasa Allah di atas segalanya. Dan jujur saja, saya sering merasa 'kurang ajar' kepada Allah. Setelah Dia memberikan begitu banyak nikmat, dan saya juga sering meminta, saya masih terlalu sering lalai akan setiap kewajiban saya sebagai hamba-Nya. Maka tidak heran jika abi saya selalu mengingatkan untuk selalu menjaga sholat malam. Bahkan beliau setiap chat selalu bertanya, bagaimana sholat malam saya, yang parahnya saya jawab seadanya. Karena beliau tau, bahwa segala kemudahan yang saya dapat, didapat dari kedekatan saya dengan Allah, dan saya sadar akan hal itu. Maka semoga tulisan ini membuat saya terus mengingat dan bersyukur akan segala nikmatNya.
oleh: Darwis Tere Liye
Satu pemuda dgn mata berbinar-binar, di bawah temaram lampu kota Jakarta, dengan pemandangan jalanan yg super-macet, akan bilang dengan suara bergetar: "Aku cinta padamu!" Sementara di belahan China sana, di lorong-lorong toko yang ramai, kencan di bawah hiasan lampion dan naga-naga merah, asap mie kuah mengepul, serakan bebek peking, mereka akan bilang: "Wo ai ni". Lain pula satu pemuda bavaria, di dekat sisa tembok Berlin yang sekarang jadi hiasan toilet, menggunakan syal Bayern Muenchen, dia akan berbisik mesra ke pasangannya: "Ich liebe dich…" Sedangkan di India sana, dgn sedikit kerling mata, sedikit aca-aca, diiringi banyak tari dan lagu, mereka akan bilang: "Mein Tumse Pyar Karta Hoon", atau "Tane Prem Karoo Choo" bagi dialek Gujarat. Si cewek mengangguk, bukankah dia juga selama ini sudah "Kuch-kuch hota hai" pula? Bukan main….
Ah, di bawah menara Eiffel yg elok, bermandikan cahaya, lihatlah seorang pemuda Perancis, akan mengatakan dengan gagah kalimat: "Je t’aime"… Konon, katanya bahasa Perancis adalah bahasa yg paling indah, jadi bayangkan betapa super-indahnya pernyataan cinta itu ketika dikatakan. Indah di atas indah… Lain kisah teman Jepang kita yang sedang berduaan sambil menatap gunung Fuji yang juga indah, sakura-san akan bilang: "Kimi o ai shiteru". Dan pasangannya akan mengangguk malu-malu. Besok mereka akan bertamasya ke Menara Tokyo yang terkenal itu. "Ana behibek" kata pemuda Arab sambil tersipu ke pasangannya, maka sang gadis akan menjawab, "Ana behibak". Tak kalah tersipunya. Tp, jgn salah kalimatnya. Ada behibak, ada behibek. Huruf a dan e bisa membedakan arti di gurun pasir sana, kalian bisa disangka suka sesama jenis jika salah pakai….
Kakek-nenek kita dulu yang masih mengalami penjajahan Belanda, pasti pernah mendengar meneer dan nyonye Belande saling bilang: "ik hou van jou"… dan lucunya, kakekku dulu juga suka menirunya, cuek bilang: "ekhopanjo, istriku-" Tak masalah separuh2 begitu, tak masalah salah2 lafal, kan bibirnya tetap bibir inlander pribumi. Yang penting nenek mengerti, dan balas bilang "ekhopanjo juga". Beruntung kita tidak dijajah bangsa Hongaria atau Kazakhastan, kan susah banget nulis kalimat cinta mereka: "Szeretlek te’ged", "Men seny jaksy kuremyn"…. puh, apalagi pas bilangnya, tambah syusah, kebanyakan huruf konsonannya… tapi meski susah banget bagi lidah kita, nih kalimat mungkin sudah setengah mati ditunggu seorang gadis yang selalu menatap penuh harap seorang pemuda yang selalu berjalan lambat di gang depan rumahnya di kota Budapest yang eksotis itu… Oh, katakanlah "Szeret-zeret tadi padaku…."
"Mahal kita" kata orang Filipina, "Ya lyublyu tebya" kata orang Rusia, "Tora dust daram" seru orang Persia, "Ti amo" kata orang Italia, dan seterusnya dan seterusnya… Begitu banyak versi kalimat I Love You di belahan dunia. Saking banyaknya, tak terhitung… Karena bahasa-bahasa setempat juga punya versi sendiri. Di Indonesia saja ada lebih 300 bahasa lokal, maka akan ada 300 pula versi kalimat "Aku cinta padamu?" Di Sumedang, Banten sana, Padang, Pulau Enggano, Pelosok Papua, Sulawesi, pedalaman Kalimantan, dan entahlah…
Teman, pernahkah ada yang berpikir bagaimana manusia mengungkapkan "I Love You" pada jaman pra-sejarah? Saat bahasa belum ada? Saat manusia masih ber "a-a-a, u-u-u, a-a-a-a"… masih mengejar2 dan dikejar2 dinosaurus? Kan mereka belum punya kalimat sama sekali, jangankan "I Love You", mau bilang makan saja susah, "a-a-a-a… i-i-i…" Menurut temanku, yang amatiran soal antropologi dan sejarah manusia, katanya mereka menyampaikan rasa cintanya dengan pentungan batu. Benaran. Pakai pentungan batu. Jdut! Sang cowok akan memukul kepala cewek idamannya, terus berteriak-teriak…."i-i-i…u-u-u…" Nah, loh! Celakanya lagi, katanya semakin dalam cintanya, maka semakin keras sang cowok akan menggunakan pentungan batu yang sehari-hari buat melempar gajah purba tersebut. Si cewek mati karena digebuk? Ah, mana ada "kalimat cinta" membuat mati seseorang. Semaput sih iya. Si cewek cuma pingsan dikit, lantas akan siuman, kemudian tentu saja akan membalas memukul tak kalah kerasnya, "i-i-i…u-u-u…." Aku cinta kamu juga. BANGET LOH".
Teman, pernahkah kalian juga berpikir bagaimana pula dengan pasangan yang cacat, kurang beruntung? Pasangan yang buta dan tuli misalnya? Bagaimana mereka akan bilang cinta? Melihat tak bisa, mendengar juga tak bisa… Ah, Tuhan selalu punya skenario hebat untuk urusan ini… Aku pernah terkesima menyaksikan sepasang buta yang naik kendaraan umum. Mereka saling berpegangan tangan sejak memasuki pintu kereta. Mesra nian. Meski umur mereka berbilang lima puluhan. Yang laki dengan gentle membimbing yang wanita menuju kursi memakai tongkat-nya (meski sebenarnya penumpang lain yang membantu mereka menyibak padatnya kereta). Lantas mereka duduk bersisian. Yang wanita lantas meraba2 sakunya, mengambil dua butir permen. Membukakan satu untuk pasangannya, satu untuk dirinya sendiri. Mereka buta, jadi amat menyentuh hati melihat kemesraan dua butir permen Hexos itu. Butuh dua menit untuk membuka dua permen itu… Aku menghela nafas panjang… Bagi mereka, sungguh kecantikan wajah tak ada gunanya, ketampanan pasangan tidak penting… Cara tangan mereka meraba2, menyentuh lengan kekar pasangannya sudah bilang sejuta cinta… Dan aku mendadak jengah! Malu. Ya Tuhan, bandingkan cinta mereka dengan cinta yang kupahami dan kuinginkan… Sungguh mereka mengajarkan makna cinta yang sesungguhnya….
Teman, kita punya banyak cara menyampaikan cinta kita. Punya banyak kalimat. Bahasa. Tapi sadarilah, cara terbaik untuk menyampaikan cinta adalah dengan perlakuan. Dengan perbuatan. Dengan pengorbanan yang tulus. Tidak peduli apakah seseorang itu akan membalas cinta kita atau tidak. Tidak peduli apakah perlu kalimat itu diucapkan atau tidak… Ucapkanlah dengan memberi tanpa mengharap, memberi tanpa mengambil, itulah simbolisasi cinta yang paling indah…
Makanya tak perlu heran jika menemukan sepasang kekasih, berumur 90 tahun. Sudah menikah 70 tahun. Memiliki anak 12, cucu 30, cicit 67. Tinggal sederhana di kaki Gunung Kerinci. Kemarin lusa sang istri tercinta pergi… Dan saat sang suami yang tua menatap sedih butir demi butir tanah dimasukkan menutupi jasad istrinya, meski menangis, dia tersenyum rela… Sadahal sempurna. Dia sempurna tidak pernah bilang "Aku cinta padamu" kepada almarhum istrinya. Tidak pernah selama 70 tahun kebersamaan mereka. Karena kalimat itu selalu kelu saat akan diucapkan. Selalu tersumbat saat akan dikatakan… Tapi almarhum istrinya tahu persis, suaminya amat mencintainya… karena kalimat itu terukir indah bersama hari-hari mereka yang hebat… 25.500 hari… hari2 suka-cita, hari2 pertengkaran, hingga hari2 kepergian…
Depok, 11 April 2007
[+] Cinta bukan sekadar kata, eh ?