The Answer to Problematic Age of Aisha (RA)

Do you still remember Yusha Evans ? The one who gave lecture in this video and a former Christian Youth Minister. Today I stumbled across his website. It was coincidence though, I was searching for references for my project and suddenly saw his website's link from one of my mates. Once I came to his site, I read his article about Aishah's age. It draws my attention. Why? Because about 2 years ago there was a big phenomenon where a considered-old chaplain married with around 16-years old girl. It is uncommon in indonesia recently. That's why press competing to raise this issue. This chaplain, aside from his wealthy and influence, argued to those who oppose him by giving the fact that even our prophet, Muhammad SAW (may peace be upon him) married with Aisha at such a young age. Because of that matter, I discussed with my ustadz and he gave me an article which I posted here later on.

Back to Mr. Yusha. He has his own opinion regarding this problem. If you wish, you may read here. He explained that, during that time, marrying a young girl was not against the rule. Either his (the Prophet) opponent or his believers did not object the marriage between the Prophet and 'Aishah. If they objected with Zaynab's marriage because it is against the culture, then why did not they object with 'Aishah's marriage? Based on this fact, it does make sense that 'Aishah's marriage was not against the culture and surely it breaks down what Non-Muslims accuse nowadays. Quoting his words,

We are responsible for acting in accordance with our conscience, and our own societal norms may well factor into this, but it may be a bit presumptuous to pass judgment on people of the past and future, and those of other cultures. People in the future may well look on some of our mores as bizarre.

In the end, Allah knows best about all the details of things. And, it remains well-established that Islam’s central message is one of monotheism, decency and morality. It is to this that our energies can be more profitably devoted.

Negeri 5 Menara

Negeri 5 Menara, yap buku inilah yang beberapa bulan lalu sempat masuk dalam list buku yang harus saya beli ketika pulang ke indonesia. Sayangnya buku tersebut was unavailable di toko buku-toko buku yang saya kunjungi saat itu. Akan tetapi biar bagaimana pun kalau sudah rejeki gak bakal kemana. Setelah beberapa bulan tidak membaca novel (terakhir kali sang penyair yang bahkan sampai sekarang belum tuntas dibaca), akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk 'bertemu' dengan buku karya Ahmad Fuadi ini.

Membaca buku ini membawa saya melintasi waktu kembali ke masa saya SMP di sebuah pondok pesantren di kota Malang. Menyatukan kembali puing-puing ingatan saya akan kejadian-kejadian baik konyol maupun memalukan yang pernah saya perbuat. Membuat saya teringat bagaimana kita, penghuni baru, harus sembunyi-sembunyi jika ingin bercakap-cakap dengan bahasa indonesia. Lengah sedikit maka jasus di sekeliling akan dengan senang hati menulis pelanggaran bi'ah yang dilakukan dan berakibat pada hukuman rotan seusai sholat ashar. Jasus, peran yang diambil oleh orang yang ditunjuk oleh pembina bahasa saat itu (Alm. Ustadz Siswaji Purba -- Semoga Allah merahmati beliau), bisa siapa saja dan dimana saja. Dan berawal dari perseteruan antar kamar pada saat saya kelas satu, jasus menjadi beralih fungsi, sebagai alat balas dendam. Maka berlakulah pakta kesetiakawanan tak tertulis bagi semua warga satu angkatan --siapapun orangnya biarpun jasus tidak boleh mencatat kawan sekamar, hanya boleh mencatat penghuni lain kamar. Pakta yang membuat kami sedikit leluasa untuk tidak menegakkan bi'ah ketika berada di dalam kamar. Dan berkat perseteruan antar kamar sehingga jasus tidak berfungsi optimal seperti sebagaimana mestinya (ada salah seorang kawan saya yang mencatat 100 pelanggaran bahasa untuk satu orang dan itu berarti orang itu harus menerima iqob sebanyak 100x pukulan menggunakan kabel), maka bi'ah menjadi amburadul dan tidak terkontrol. Hal yang baru saya sesali manfaatnya saat ini, bertahun-tahun sesudahnya.

Teringat pula saat-saat tahfidz sesudah shubuh, tarjim sesudah maghrib, dan tartil sebelum maghrib. Diantara 3 pelajaran itu, tentu saja yang paling saya senangi adalah tahfidz dan tarjim. Alasannya simpel saja, kalau tahfidz sistemnya setoran. Jadi semakin cepat menyetor hapalan, maka semakin cepat kembali ke kamar. Dan bagi saya, yang ahlun naum, hal ini merupakan anugerah, soalnya bisa lanjut tidur yang terpotong. Jadilah sebelum sholat menjadi waktu yang cocok untuk menambah hapalan. Selain faktor ingin cepat tidur lagi, ada satu hal lain yang membuat saya terpacu untuk terus menambah hapalan. Competition with my friends. Ada beberapa orang dari kawan saya yang tidak mau kalah dan mereka berusaha sebisa mungkin agar jumlah hapalan lebih banyak dari punya saya. Dan karena saya pada dasarnya orang yang gak mau kalah, ini justru semakin memacu untuk berbuat lebih lagi. Jadi kalau dia menyetor satu halaman, maka saya harus bisa lebih dari itu. Atau kalau tidak bisa lebih, yang penting jangan sampai terkejar jumlah ayatnya. Adapun tarjim, karena ustadznya pada saat itu sering bercerita asbabun nuzul dari ayat-ayat tertentu, maka pelajarannya mengasikkan bagi saya.

Menginjak bagian dimana penulis di gundul 'hanya' karena keluar tanpa ijin, membuat saya teringat seringnya saya melakukan hal itu dengan kawan-kawan. Bagi kami saat itu, untuk keluar tanpa ijin adalah suatu hal yang mendebarkan. Kalau di film-film itu ibarat ketika tahanan mencoba melarikan diri dari penjara. Harus pintar-pintar mencari celah ruang dan waktu agar tujuan tercapai, buat main PS atau game online. What a shame isnt it ? I couldnt stop smiling when remember how I could sacrifice my precious bedtime so that I was able to do such things. Dan seperti halnya dalam perang dimana tidak setiap peperangan selalu memperoleh kemenangan, saya pun pernah beberapa kali 'tertangkap' ketika sedang dalam 'pelarian'. Lalu apa hukumannya? Tidak seberapa kejam kok. 'Hanya' disuruh berendam atau membersihkan sungai kecil yang mengalir di sekitar kompleks pondok. Atau kalau mau yang lebih ringan bisa dibotakin jadi mirip biksu shaolin.

Disamping beberapa hal di atas, masih banyak lagi hal-hal yang mirip dengan di buku tersebut yang jika saya ceritakan tidak cukup hanya dengan satu postingan. Saya akui, mengenai alur cerita, laskar pelangi is far better than this one. Tapi ada satu hal yang tak tergantikan, kenangan masa lalu. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat saya memberi 4 out of 5 star.

Sebagai penutup, kalau si penulis 'berhasil' meraih mimpinya untuk menginjakkan kaki di negeri Paman Sam, maka saya bertekad bahwa saya akan menginjakkan kaki di France and Germany. Mungkin? Mungkin saja, toh seperti apa yang dicamkan oleh rais dari ponpes tempat penulis belajar saat itu, Man Jadda Wajada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil. Tak ada yang mustahil bagiNya. And spending almost 8 hours to finish the whole book seems worth it. Even it means that I had to sacrifice my time to study Network Security's midterm which will be conducted on wednesday.


----

nb :
[+] penulis yang saya maksud disini adalah penulis buku Negeri 5 Menara, Mr. Ahmad Fuadi, bukan empunya blog.

Labels: ,

Random



Labels: ,

Kedekatan Terkadang (tak) Menyehatkan

Manusia itu unik.
Tiap manusia, mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan perasaannya. Tiap manusia pun, mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan perasaannya. Lama mengenal, bukanlah menjadi jaminan.


Jika sekarang aku bertanya, seberapa jauhkah kalian mengenalku, apa yang akan dijawab? Tidak kenal, sedikit kenal, atau menjawab kenal sekali? sungguh, apa yang terlihat di mata masih bisa menipu. Bilangan tahun, bukan menjadi jaminan bahwa seseorang bisa benar-benar saling memahami. Karena untuk memahami, harus ada yang dikorbankan. Mengorbankan hati. atau lebih tepatnya, mengorbankan perasaan. Untuk mengalah ketika ada permasalahan. Untuk bijak menerima kekurangan.


Manusia itu unik.
Ada kalanya, ekspresi cinta yang kita keluarkan, tak tersampaikan dengan baik. Mungkin, bagi sebagian orang, malah menyakiti.


Ada sebuah adegan film yang cukup menyentuh, bagiku.
Sang laki-laki, setelah sekian tahun tak bertemu, akhirnya bertemu dengan seorang perempuan yang ia sayangi di sebuah restoran. Lewat sebuah janji.
Di pertemuan itu, sang laki-laki berkata “kenapa kamu belum menikah? Aku sudah.”
Sang perempuan hanya menangis, sedangkan sang laki-laki hanya menatap lurus, sambil terus berceloteh. Dan, akhirnya sang perempuan pun tahu, sang laki-laki kini telah buta.


Adegan berganti. Sang perempuan kini telah menikah. Dengan orang lain. Dan beberapa tahun kemudian, ketika sang perempuan sedang bermain dengan anaknya di sebuah sungai, datanglah beberapa orang menyampaikan pesan. Bahwa sang laki-laki telah meninggal. Bahwa sang laki-laki, menikah tepat setelah sang perempuan menikah. Ya. Benar. Tepat setelah sang perempuan menikah. Sang laki-laki berbohong. Ekspresi cintanya, membuatnya harus berbohong.


Sejujurnya, aku sedikit tak bisa menerima. Apa salahnya sang laki-laki jujur, agar mereka bisa menikah dan hidup bahagia? Tapi, karena ini adalah film, dan aku hanya penonton, terang saja aku harus menerima akhir film yang seperti itu.



Setelah kupikir lagi. Sang perempuan memang merasa sakit, atas kebohongan yang dilakukan padanya. Tapi, apakah sang laki-laki tidak merasa sakit? Apakah sang laki-laki tidak merasa terluka, melihat sang perempuan menikah dengan orang lain?



Padahal, mungkin hanya beberapa kalimat yang perlu ia katakan, agar ia bisa hidup berbahagia dengan perempuan itu.


Tapi mungkin sang laki-laki sadar. Selain karena cinta tak harus memiliki, bisa juga karena tak selamanya kedekatan itu bisa menyehatkan. Mungkin bagi sang laki-laki, ia merasa takut jika kebutaannya akan merepotkan orang yang dia kasihi. Mungkin ia takut, kekurangan penglihatannya hanya akan membuat, suatu saat, sang perempuan tak sanggup bersamanya, dan mungkin ia malah akan mengutuk ketidakmampuannya melihat.



Karena itulah ia memilih berbohong. Karena ia cinta dengan perempuan itu, juga karena ia cinta dengan dirinya sendiri. ia tak mau menyakiti, pun tak mau tersakiti.


Ada kalanya. Dalam ukhuwah ini, hal seperti itu bisa terjadi. bukan hanya dalam hubungan cinta lawan jenis seperti yang kupaparkan di atas. Karena cinta bersifat universal.



Bisa jadi, ekspresi cinta kita malah menyakiti orang yang kita cinta. Saudara seiman kita. Padahal, mungkin kita merasa telah mengenalnya. Tapi ternyata pilihan ekspresi cinta kita masih salah. maksud hati ingin menyampaikan yang menurut kita baik untuknya. Tapi ternyata dianggap menyakiti. Padahal, tak jarang mungkin apa yang kita sampaikan bisa terucap karena dia meminta pendapat kita.



Bisa jadi juga, kita telah memilih kata-kata yang bijak ketika menyampaikannya. Tapi tetap, hal itu terus dianggap telah menyakiti. Jika seperti ini terus, apa yang harus dilakukan? Yang satu merasa tersakiti, menganggap bahwa dia terus disakiti. Tapi, tahukah, bahwa bisa saja yang mengatakan hal tersebut, yang dianggap telah menyakiti, juga merasa sakit?

Merasa sakit, karena tidak menyangka kata-katanya bisa menyakiti orang lain.


Merasa sakit,karena ia selalu dianggap menyakiti.



Padahal, semua itu dilakukan atas nama cinta. Cinta pada ukhuwah ini.

mungkin, kedekatan selama ini telah membuat kedua belah pihak tidak sehat. mungkin, kedekatan selama ini masih menyimpan ego masing-masing.



Saat seperti itu, mungkin menjauh adalah pilihan yang terbaik. Memilih untuk tidak bertemu. Memilih untuk hanya sesekali menyapa.



Menjauh, pada sebuah jarak. Bukan menjauh yang tak peduli, justru menjauh karena peduli. Menjauh karena cinta ini, jika dipaksakan, akan terus menyakitkan dua belah pihak. Menjauh, agar mungkin rindu yang tercipta bisa sedikit melembutkan hati.




"Karena itu, izinkanlah, jika hal ini menimpa kita semua, izinkanlah agar aku menjauh,sampai pada titik yg aman bagi kita berdua. Karena aku cinta, padamu dan diriku sendiri".



written by :
Aisha Putrina Sari

quote by :
pemikir ulung

---

ngena banget !! aku mau menjauh hingga tiba saatnya. dan kali ini, semoga aku konsisten.

Labels: ,

Sepenggal Kisah Idul Adha

Topik yang disampaikan Mr. Najib di khotbah jumat tadi benar-benar menarik. Dan lebih menarik lagi karena mirip dengan apa yang saya dan meru diskusikan sebelumnya. Ada 2 bahasan yang bisa saya garis bawahi dari khotbah tersebut. Yang pertama, tentang perbedaan pelaksanaan sholat ied di kebanyakan negara. Di arab saudi dan negara middle east lainnya, sholat ied dilakukan pada hari selasa, berdasarkan fakta bahwa wukuf juga dilaksanan pada hari itu.Sedangkan bagi beberapa yang lain, mereka merayakan pada hari rabu, dengan asumsi bahwa pada hari itu hilal benar-benar sudah terjadi. Perayaan pada hari rabu (di malaysia dan di indonesia) ditetapkan oleh pemerintah.

Ada beberapa alasan yang (menurut saya) menjadikan alasan bagi pemerintah untuk menetapkan hari rabu sebagai hari raya idul adha. Yang pertama, saperti yang sudah saya katakan di atas, hilal sudah jelas terjadi baik berdasarkan perhitungan ataupun observasi. Yang kedua, berdasarkan hadist bukhari dan muslim tentang hari raya dan awal puasa, kedua event tersebut dilakukan berdasarkan terlihatnya hilal di daerah masing-masing. Sedangkan terlihatnya hilal merupakan hal yang 'tidak' pasti. Saya katakan 'tidak' karena bisa saja pada saat terjadinya hilal tertutup oleh awan ataupun kejadian lainnya. Sehingga ketika pemerintah mendasarkan pada terjadinya hilal, itu berarti hari libur tidak bisa ditetapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dan bisa berakibat pada aspek-aspek lainnya. Maka ditetapkanlah hari 10 Dzulhijjah berdasarkan penghitungan yang boleh jadi pada kenyataannya 10 Dzulhijjah itu sendiri sudah berganti menjadi 11 Dzulhijjah. Alasan ketiga, agar masyarakat Islam tidak bingung menentukan hari raya mereka.

Alasan-alasan tersebut memang cukup kuat, namun hal itu justru menimbulkan polemik tersendiri bagi umat Islam. Sebagai permisalan, jika 10 Dzulhijjah adalah hari rabu, maka tanggal 13 hari jumat dan merupakan hari tasyrik. Hal yang berbeda jika 10 Dzulhijjah adalah hari selasa. Dan tentu saja perbedaan satu hari ini akan terus berefek pada event-event selanjutnya (jika konsisten berpatokan pada tanggal yang kita yakini). Efeknya ? Besar sekali. Bisa jadi ketika kita berniat puasa 10 Muharram, ternyata sudah 11 Muharram. Itu hanya satu contoh kecil, selebihnya bisa Anda cari sendiri. Polemik terbesar muncul yang cukup membuat saya pusing adalah ketika arab saudi melaksanakan sholat ied pada hari selasa, maka sebagai daerah yang perbedaan waktunya lebih dulu daripada arab (time zone arab saudi itu GMT +3 sedangkan daerah asia tenggara +7 atau lebih) seharusnya kita juga melaksanakan sholat pada hari selasa. Nggak masuk akal banget klo perbedaan hilal bisa sampai 24jam.

Disamping itu, ada satu kalimat yang disampaikan oleh Mr. Najib yang amat sangat saya setujui. Beliau berkata bahwa, boleh-boleh saja kita berhari raya berbeda. Namun pernahkah terpikir oleh kita umat Islam bahwa jika kita tidak bersatu pada hal yang kecil, bagaimana kita akan bersatu pada hal yang lebih besar ? Adapun pemersatunya mudah saja, kembali ke Qur'an dan Sunnah. Jika panduannya adalah hilal, maka hilal lah yang jadi panduan. Begitupun seterusnya.

Ada satu hal yang membuat saya tersenyum mengingat perbedaan hari raya ini. Salah seorang teman mengatakan bahwa dia berpuasa pada hari minggu dan senin namun ikut sholat ied pada hari rabu. Alasan yang dia berikan adalah karena dia ikut pemerintah. Saat itu saya hanya bisa tersenyum manggut-manggut. Kalau ditanya saya bagaimana ? Sebenarnya saya tidak berniat sholat ied pada hari rabu, karena saya puasa pada hari senin. Dan meyakini bahwa 10 Dzulhijjah itu hari selasa. Namun karena tidak ada yang sholat pada hari selasa (atau setidaknya yang saya tau) dan daripada tidak sholat sama sekali, yaudah mau gak mau ikut yang hari rabu.

Topik kedua menyangkut hari tasyrik. Pada 3 hari setelah sholat ied, umat muslim disunnahkan untuk memperbanyak bertakbir kepada Allah atas segala kekuasaannya. Allah Akbar, Allah Akbar, Allah akbar walillahil hamd. Allah Maha Besar, Alllah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagiNya segala puji. Dengan bertakbir, secara tidak langsung kita mengakui bahwa hanya Allah yang Besar, yang lain kecil. Final Year Project ? Kecil ! Certified Ethical Hacker exam ? Mudah ! Jika Dia sudah menghendaki, siapa yang bisa menghentikan ?

Bersamaan dengan itu pula timbul pertanyaan besar. Apakah kita sudah benar-benar meyakini bahwa Allah itu Maha Besar ? Apakah kita masih menganggap bahwa bantuan teman pada saat ujian lebih besar daripada bantuan Allah ? Jika belum, maka boleh jadi hal itu mengisyaratkan bahwa iman kita masih jauh dari tahap ihsan. Karena sebagaimana dikatakan oleh sahabar Ali bin Abi Thalib RA ketika ditanya mengenai iman, maka beliau menjawab :

Al imaanu an tashdiqu bil qalb, wa iqra'u bil lisa, wal 'amalu bil arkan.

Artinya :
Iman ialah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan perkataan, dan mengamalkan dengan rukun-rukunnya.

Jadi, masih pantaskah kita bergantung kepada selainNya ketika kita bertakbir dan menyembah kepadaNya ?


-----

PS: ditulis dengan perubahan seperlunya dari khutbah jumat di Multimedia University Mosque pada hari ini

Untitled

jika ia sebuah cinta..... ia tidak mendengar... namun senantiasa bergetar....

jika ia sebuah cinta..... ia tidak buta.. namun senantiasa melihat dan merasa..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak menyiksa.. namun senantiasa menguji..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak memaksa.. namun senantiasa berusaha..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak cantik.. namun senantiasa menarik..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak datang dengan kata-kata.. namun senantiasa menghampiri dengan hati..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak terucap dengan kata.. namun senantiasa hadir dengan sinar mata..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak hanya berjanji.. namun senantiasa mencoba menenangi..

jika ia sebuah cinta..... ia mungkin tidak suci.. namun senantiasa tulus..

jika ia sebuah cinta..... ia tidak hadir karena permintaan.. namun hadir karena kesadaran...

jika ia sebuah cinta..... ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan... namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan..

taken from here

It's Worth It

by: Paulo Coelho

Life is like a big bike race where the goal is to fulfill you personal legend.

At the start, we are riding together, sharing the camaraderie and enthusiasm. But as the race progresses, the initial joy gives way to the real challenges: tiredness, monotony and doubts about our own abilities.

We notice that some have withdrawn. They are still running, but only because they cannot stop in the middle of a road. They are numerous, pedaling alongside the support car, talking to each other and performing only their obligations.

Eventually we distance ourselves from them and we are forced to face the loneliness and the surprises of the unknown curves with the bikes. And after a while, we begin to wonder if it’s worth the effort.

Yes, it is worth it. Just don’t quit.

----

I DO love most of his writing. They really have meaning.

How the Bible Led Me to Islam: The Story of a Former Christian Youth Minister



We, moslems, have the solutions for the problems in the world. If you want to overcome the hunger, Islam gives you the solution. If you want to overcome economic's problem, Islam will fix it.

But unfortunately we're hiding this from the people.

Marching Forward

YEY, IT'S GETTING MORE INTERESTING ! After I was confused about how it should be done and focused on interface rather than how the system works, I finally got a brief image about the system. I really appreciate those who helped me so far (Fachry, Kak Muthe, Hamy, and of course my supervisor, Mrs. Kalaiarasi). Even though you may not be aware that you already helped me. I learnt a lot during these days, from zero up to something. However it's still a long way until my project is done, that's why I'd bear in my mind what Fachry said :

Don't think ! Just do !

Labels:

Quotes of the Day

Recent Comments

Followers

Shev's bookshelf: read

OutliersKetika Cinta Bertasbih5 cmLaskar PelangiSang PemimpiEdensor

More of Shev's books »
Shev Save's  book recommendations, reviews, favorite quotes, book clubs, book trivia, book lists