Refleksi atau Katarsis ?

Ada beberapa hal yang sering ditanyakan oleh teman-teman saya. Salah satunya adalah 'hobi' saya untuk mengajari orang. Yang namanya hobi, tidak berarti harus dibayar bukan ? Well, itulah yang mungkin menjadi pertanyaan. Mengapa kok mau-maunya ngajarin orang tanpa dibayar, sudah hilang waktu, capek, belum lagi kalau yang diajari 'agak' susah menangkap bahan yang sedang diajarkan. Dapat dibayangkan ketika harus mengajar data structures and algorithms kepada mereka yang masih dalam tahap computer programming I. Jika boleh diumpamakan, hal ini sama saja dengan mengajar perpangkatan kepada anak sma dimana dasarnya adalah perkalian, dan parahnya anak sma ini tidak menguasai tentang konsep perkalian. Dan jangan dikira ini hanya terjadi pada saat saya kuliah, pada saat saya smp hingga sma pun mengalami kejadian yang serupa. Berhadapan dengan orang yang sebenarnya belum siap untuk belajar tentang hal itu namun dipaksakan. Mengenai hal ini, saya sering bertanya-tanya dalam hati, "What the hell did u do during lecture, heh ?". Tapi tentu saja, saya tidak sampai hati untuk mengucapkan hal tersebut. Karena pada saat yang bersamaan saya takut hal itu justru mengurangi semangat mereka belajar. Sudah bagus-bagus mau belajar kok malah dimarahi. Toh katanya gak ada kata terlambat buat belajar. 


Kembali ke masalah mengajar, sebenarnya hal yang mendasari saya untuk mau membantu kawan-kawan saya bukanlah karena prestige, fund, proud, or those kind of stuffs. Instead, ada perasaan bangga tersendiri ketika melihat result 'anak didik' saya yang lumayan. Sekalipun hanya B+, akan tetapi nilai itu sangat berarti ketika didapat dengan jerih payah dan keringat yang tidak sedikit. Melihat wajah-wajah gembira mereka ketika memahami subject atau bahasan tertentu rasanya sudah lebih dari cukup untuk waktu yang terbuang terbagi untuk mereka. Selain itu, saya merasa bahwa mengajar menjadi suatu remainder akan subject tersebut sehingga tidak terlupa. Thus teaching without getting paid is not bad at all, right ?

Labels: ,

Proporsional Saja

"Cintailah kekasihmu dengan sederhana, boleh jadi engkau akan membencinya pada suatu ketika. Dan bencilah orang yang engkau benci dengan sederhana, boleh jadi engkau akan mengasihinya pada suatu ketika." --HR At-Turmuzi
Dalam menyikapi setiap hal, saya berusaha untuk melihatnya secara proporsional. Kebaikan sebaik apapun, jika terlalu berlebihan dalam melihatnya, akan berefek yang tidak baik. Hal yang serupa berlaku juga dalam memandang keburukan. Tidak selamanya hal yang buruk itu benar-benar buruk, dan tidak selamanya pula hal yang baik itu benar-benar baik.

Mencintai dan membenci, sepertinya adalah dua hal yang berlawanan. Akan tetapi pada dasarnya keduanya bersifat sama, sama-sama memberi perhatian. Hanya saja orang benci mengekspresikan perhatiannya dengan cara yang mungkin menyakitkan. Maka kebencian, sama seperti cinta, boleh jadi tidak akan bertahan selamanya. Thus I dont have to bother to think what the others might think of what I was doing. Instead I have to keep on doing and helping.

Face the Fate

Arthur Ashe, the legendary Wimbledon player was dying of AIDS which he got due to infected blood he received during a heart surgery in 1983.

From world over, he received letters from his fans, one of which conveyed: "Why does GOD have to select you for such a bad disease"?

To this Arthur Ashe replied:
"In the world over -- 50 million children start playing tennis, 5 million learn to play tennis, 500,000 learn professional tennis, 50,000 come to the circuit, 5000 reach the grand slam, 50 reach Wimbledon, 4 to semi final, 2 to the finals, and When I was holding a cup I never asked GOD "Why me?"".

And today in pain I should not be asking GOD "Why me?"

"Happiness keeps you Sweet,
Trials keep you Strong,
Sorrow keeps you Human,
Failure Keeps you humble,
Success keeps you glowing,
but only Faith & Attitude Keeps you going...."

Alternatif Jalur Menuju Pakar

oleh : Onno W. Purbo

Kadang saya suka geli & senyum-senyum sendiri melihat rekan-rekan jurnalis ada yang menjuluki saya Pakar Internet, Professor Internet (sekarang tanpa perguruan tinggi), bahkan Menteri Internet (tanpa KEPPRES). Padahal modal saya betul-betul modal dengkul, saya tidak pernah belajar formal tentang teknologi informasi, tidak pernah belajar formal tentang Internet, saya jelas lebih bodoh daripada adik-adik mahasiswa di ITB lha wong sering nanya ke mereka koq saya ini. Terus terangnya, saya praktis tidak punya apa-apa secara formal.

Saya pikir, mungkin karena gelar saya yang S3 dari Canada itu? Padahal jelas-jelas gelar tersebut bidangnya adalah teknologi pembuatan IC, S2 saya di fiber optik - tidak ada hubungannya sama sekali dengan Internet. Terus terang Internet saya pelajari sendiri & berguru secara informal. Jadi secara formal harusnya saya tidak berhak atas semua gelar, julukan yang diberikan rekan jurnalis di atas :) ..

Mungkin pendidikan informal yang akhirnya lebih banyak membentuk saya seperti sekarang ini. Saya rasa proses bersosialisasi, berteman, belajar dari teman, kemampuan untuk mengolah / mengembangkan pengetahuan merupakan kunci sukses selama ini. Di tulisan ini saya mencoba mengupas beberapa hal praktis yang saya lalui hingga mencapai kondisi sekarang ini, yang saya yakin masih jauh dari kondisi sempurna. Paling tidak jalur tersebut saya harap bisa memberikan wawasan bagi rekan-rekan untuk mulai menjalankan karir-nya di hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Sebuah karir dimana reward, acknowledgement, dan akreditasi diberikan langsung oleh masyarakat - tidak harus tergantung 100% kepada ijazah, ujian negara dan sebangsanya.

Tampaknya sebagian besar jalan hidup saya berawal dari hobby amatir radio, nge-brik begitu barangkali bahasa gaul-nya. Dengan modal awal tidak punya apa-apa; hanya keinginan untuk nge-brik dengan CB seperti teman-teman SMP yang lain - saya akhirnya membeli buku "teknik membuat pemancar transistor". Kebetulan sekali di buku itu di tulis bahwa teman-teman yang suka membuat pemancar sendiri suka mangkal di frekuensi 3.5 MHz (80 meter) band. Jaman itu tahun 1978-an waktu itu mungkin masih jaman susah jadi memaksa orang untuk kreatif untuk membuat sendiri pemancar-pemancarnya.Diskusi antar pembuat pemancar ini dilakukan cukup aktif di 80 meter-band. Hampir setiap hari selama 2+ tahun monitoring 80 meter band dan obrolan rekan-rekan ini, radio merupakan barang yang hampir tidak pernah lepas dari sisi saya. Dari pembicaraan mereka saya tahu kita bisa membuat pemancar sederhana menggunakan tabung 6V6, 6L6, 807 dll. Di kemudian hari ternyata pola belajar informal yang paling baik adalah secara serius mendengarkan, membaca diskusi yang dilakukan oleh rekan-rekan se-hobby. Belajar dan mengerjakan apa-apa yang kita sukai memang paling menyenangkan.

Akhirnya pada tahun 1979 saya bisa membuat pemancar sendiri dari tabung bekas & buku amatir radio yang saya peroleh dari teman sekelas saya Krishna Ariadi Pribadi. Dengan bermodal buku & tabung bekas saya mengudara di 80 meter band dengan peralatan yang dibuat sendiri, sangat sederhana memang. Di sini saya sangat beruntung dapat berinteraksi dengan banyak rekan-rekan amatir radio yang senior dan belajar teknik-teknik elektronika kepada pada senior tersebut secara lebih interaktif. Memang harus di akui bahwa pasif mendengar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan kemauan keras untuk membaca buku-buku dan aktif berinteraksi dengan orang yang lebih ahli di bidangnya. Tanpa terasa pembentukan karakter, pola pengembangan diri terpatri sejak dini di dunia amatir radio.

Sekitar tahun 1981-an saya mengenal komputer dari Bachti Alisyahbana (putra dari Prof. Iskandar Alisyahbana), sering saya ke rumahnya untuk ngoprek dan mengobok-obok komputer Radio Shack-nya karena memang saya tidak punya komputer. Saya mencoba programming BASIC di komputer beliau. Saya suka sekali dengan komputer ini, belum pernah terbayangkan ada alat hitung seperti komputer yang bisa di program dan di mainkan sedemikian menarik. Tampaknya jika ada kemauan yang kuat biasanya ada saja jalan untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan tersebut.

Pada tahun 1986-an saya mulai diperkenalkan oleh rekan-rekan amatir senior seperti Mas Robby Soebiakto YB1BG, Pak Achmad Zaini YB1HR cs. bahwa kita bisa menggunakan komputer untuk saling berkomunikasi satu dengan lainnya menggunakan radio. Sebuah gabungan dua teknologi yang menarik sekali bagi saya. Di tahun 1986-an kami pada saat itu merupakan belasan amatir radio di Indonesia yang merintis teknik komunikasi data packet radio di 7MHz 40 meter band. Teknik yang dipakai dikenal sebagai teknik packet radio yang menggunakan protokol komunikasi data AX.25. Itu mula pertama saya berkenalan dengan teknik komunikasi data yang relatif canggih. Terkagum saya melihat dilayar komputer bisa kita bercakap melalui keyboard, masuk ke Packet Bulletin Board System (PBBS) rekan lain seperti Pak IGK Manila YB1GM (sekarang YB0AA) dan mengirimkan berita e-mail ke seluruh dunia melalui jaringan store-and-forward PBBS amatir radio. Komunikasi digital sederhana ini kami lakukan di tahun 1986-an, mungkin belum terbayangkan oleh sebagian besar dari kita yang menikmati Internet pada hari ini. Kekaguman demi kekaguman terus dirasakan dan mendorong untuk terus membaca dan mempelajari teknik-teknik komunikasi data secara autodidak.

Tahun 1987, berangkat ke Canada untuk meneruskan S2 - beruntung saya memilih kota Hamilton dan menjadi satu-satu-nya orang Indonesia di kota itu sehingga memaksa saya untuk bisa bergaul dalam bahasa Inggris. Kebetulan sekali di kota Hamilton ada perkumpulan packet radio yang cukup aktif di amerika utara yaitu Hamilton Amateur Packet Network (HAPN) yang mengembangkan peralatan packet radio sendiri. Saya bergabung dengan HAPN dan belajar banyak dari mereka. Pada 1987 itu Mas Robby YB1BG mengirimkan surat kepada saya dan menyarankan bahkan mungkin sangat mendorong untuk mempelajari lebih dalam lagi teknik TCP/IP karena akan menjadi dasar utama bagi jaringan komputer dimasa mendatang.

Alhamdullilah, saya betul-betul mengikuti nasihat mas Robby YB1BG yang bekerja di USI/IBM. Saya harus mengakui bahwa nasihat Mas Robby YB1BG yang banyak mempengaruhi saya di bidang Internet, tanpa arahan beliau tidak mungkin saya menjadi seperti sekarang. Saya masuk ke beberapa mailing list amatir radio di jaringan perguruan tinggi seperti BITNET & NSFNet. Pada tahun 1987 belum ada Internet seperti yang kita kenal sekarang. Mailing list umumnya menggunakan listserv pada jaringan BITNET yang berbasis SNA (IBM). Berbekal akses e-mail BITNET di kampus, saya banyak belajar dengan membaca berbagai mailing list amatir radio dan mengambil software untuk amatir radio khususnya NOS yang menjadi ujicoba jaringan TCP/IP packet radio pada PC dengan sistem operasi DOS. Metoda banyak mendengarkan, banyak membaca berbagai diskusi ternyata sangat ampuh untuk belajar secara autodidak. Beruntung sekali dengan adanya mailing list proses belajar menjadi tidak lagi dibatasi batas dimensi institusi, dimensi ruang dan dimensi waktu.

Sebagian besar informasi sebetulnya ada di manual maupun arsip diskusi. Pola belajar yang terbaik adalah "membaca" dengan baik, istilahnya rekan-rekan di mailing list biasanya adalah RTFM (Read The F*cking Manual). Atau cari FAQ (Frequently Asked Question) dan whitepaper dari berbagai topik yang ada. Belakangan khususnya di komunitas UNIX / Linux juga ditulis dokumentasi dalam bentuk HOWTO. Membaca, menganalisa, mengerti dengan baik ilmu yang ada di Internet merupakan modal awal yang sangat manjur untuk tahap selanjutnya. Sampai tahap ini saya rasa kita masih berada pada posisi penerima pengetahuan dan mengkonsumsi informasi. Konsumen merupakan posisi terendah dalam rantai supply-demand, konsumen biasanya yang mengeluarkan uang - hanya produsen yang akan memperoleh keuntungan yang maksimal.

Menjadi posisi produsen informasi & pengetahuan dilakukan secara perlahan dan bertahap. Menjadi produsen pengetahuan sebetulnya tidaklah terlalu sulit yang paling sederhana adalah menjawab pertanyaan di mailing list / newsgroup, mau tidak mau kita harus menjawab dengan baik dan benar dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Komunitas mailing list akan mengevaluasi secara langsung apakah jawaban kita betul atau salah, jika salah sering kali hujatan (istilahnya flame) akan dilontarkan kepada kita. Audit kepakaran akan secara langsung dilakukan oleh komunitas mailing list yang biasanya terbatas jumlahnya sekitar puluhan atau ratusan anggota.Kecepatan meresponds diskusi / interaksi mailing list akan menunjukan komitmen kita kepada masyarakat. Di Internet, rekan-rekan akan sangat mengharapkan kita me-responds dalam waktu yang cepat berorde menit kalau bisa detik.

Saya rasa langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah secara serius mensintesa ilmu pengetahuan yang kita peroleh selama ini. Hal ini mulai saya lakukan secara serius di tahun 1992, dengan menulis artikel-artikel pendek di KOMPAS. Kemudian berlanjut ke berbagai media seperti infokomputer.com, dotcom, detik.com dll. Kritik tidak lagi dibatasi dalam komunitas mailing list, tapi mulai berkembang ke masyarakat banyak. Audit masyarakat sering kali lebih keras, kritik lebih tajam. Pengalaman menunjukan sangat sulit untuk memuaskan semua orang, sama sulitnya untuk menerangkan sebuah konsep dalam bahasa yang sederhana yang mudah dimengerti oleh para pembaca yang mungkin bukan berlatar belakang teknik. Kadang bahkan sangat sulit untuk mencari kompromi dari berbagai kondisi yang ada, keberpihakan bagi keuntungan masyarakat banyak biasanya akan lebih menguntungkan; dengan konsekuensi badai yang dahsyat terutama jika konsep yang dilontarkan akan merugikan pihak yang berkuasa. Transparansi seluas-luasnya pengetahuan & informasi kepada masyarakat banyak tampaknya yang akan menyelamatkan diri kita pada tingkat tersebut. Tampaknya penggunaan konsep GPL, copyleft, copywrong, public domain yang menguntungkan rakyat banyak akan memproteksi secara alamiah dari badai & topan yang dahsyat tadi. Badai itu telah saya alami dan tampaknya akan terus saya alami, seperti pohon semakian tinggi sebuah pohon semakin keras anginnya.

Saat ini kita cukup diuntungkan dengan maraknya media online, keterbatasan halaman yang ada di media cetak menjadi hilang - artikel, paper menjadi jauh lebih mudah untuk di publikasi diberbagai portal. Persaingan menjadi lebih gampang, sangat berbeda dengan masa lalu yang sangat ketat karena media masih dibatasi halaman. Society audit menjadi kenyataan, tidak lagi redaksi sebagai penentu utama kualitas sebuah tulisan.

Tentunya jangan berhenti di menulis artikel, lanjutkan ke menulis buku. Menulis buku merupakan kelanjutan dari menulis artikel, kita perlu mengidentifikasi siapa yang akan membaca buku. Mengapa buku tersebut menjadi penting? Apakah pembaca di untungkan dengan ilmu yang dijelaskan? Cara paling sederhana untuk menulis yang saya alami adalah mulai dari outline power point, berlanjut pada penyiapan gambar yang dibutuhkan. Buku akan terjadi dengan sendirinya pada saat kita mengelaborasi outline power point yang kita buat di awal. Kadang teman mulai menjuluki kita pakar pada saat buku telah selesai ditulis dan diterbitkan, padahal sebagian besar ilmu yang dituangkan dalam bentuk buku diperoleh dari akumulasi pengetahuan dari berbagai diskusi mailing list, membaca FAQ, whitepaper, howto yang diperoleh selama beberapa tahun. Dalam kasus saya, mulai dari tahun 1980-an hingga tahun 1998-an baru mulai menulis buku jadi merupakan proses yang sangat panjang hampir 20 tahun sebelum mampu menulis buku. Saya yakin generasi muda Indonesia hari ini tidak harus menunggu sedemikian lama lagi, informasi & pengetahuan akan menjadi amat sangat mudah diperoleh dengan menggunakan Internet, beberapa mahasiswa saya bahkan sanggup menulis buku setelah aktif berdiskusi dan surfing di Internet dalam waktu 1-2 tahun saja. Society audit bahkan dapat terjadi secara cepat dan langsung melihat hasil buah karya mereka dalam berbagai media baik cetak, elektronik maupun online. Sebuah proses pembelajaran yang jauh lebih effisien daripada apa yang saya alami sendiri. Proses society audit yang demikian effisien akhirnya akan mempercepat proses reward, acknowledgement dan akreditasi langsung oleh masyarakat kepada si penulis yang menjadi sumber pengetahuan baru tadi. Akhirnya seluruh proses akan mempertanyakan konsep konvensional seperi ijazah, ujian negara, badan akreditasi sampai sejauh mana merepresentasikan acknowledgement masyarakat?

Mudah-mudahan setelah membaca tulisan ini, pembaca dapat melihat sebuah alternatif jalan menuju seorang "Pakar". Pendidikan formal bukan satu-satunya jalan menuju "pakar", pendidikan informal autodidak justru akan sangat dominan untuk menjadikan anda seorang "pakar". Pola pendidikan informal ini bahkan memungkinkan belajar dan mengerjakan hal-hal yang kita sukai saja. Internet memungkinkan untuk membentuk “pakar” dalam waktu singkat tanpa perlu bergantung sepenuhnya pada pendidikan formal. Apalagi sekarang untuk meneruskan kuliah saja kadang sangat sulit. Pengakuan "pakar" akan diberikan oleh masyarakat di nilai dari besarnya bantuan yang kita berikan kepada masyarakat, semakian banyak masyarakat di untungkan maka semakin tinggi tingkat "kepakaran". Dalam bahasa yang lebih religius semakin banyak amal & ibadah semakin banyak pahala yang akan diperoleh dan tentunya rizki.

Get a Life

"Do not spend all your time on training or studying - this way you will probably become very exhausted and unwilling to compete more. Whatever you do - have fun. Once you find programming is no fun anymore - drop it. Play soccer, find a girlfriend, study something not related to programming, just live a life - programming contests are only programming contests, and nothing more. Don't let them become your life - for your life is much more interesting and colorful."

--Petr Mitrichev


[+] beside the 'find a girlfriend' part , i agree with statement above.

Media untuk Opini

Sekadar ingin menyegarkan kembali tentang peran media dalam pembentukan opini hingga saat ini. Sekalipun tulisan ini sudah lumayan lama, tapi isinya masih tetap berlaku hingga saat ini.


-------------------

Jurnalisme Kuning dan Isu Malaysia
Oleh Giri Ahmad Taufik

Kurang lebih seratus tahun lalu, rakyat Amerika berang dengan tenggelamnya USS Maine yang menewaskan seluruh awaknya di lepas Pantai Kuba. Rakyat Amerika menuduh Spanyol menyerang kapal tersebut yang menyebabkan pecahnya perang Spanyol-Amerika. Ironisnya, setelah perang usai diketahui USS Maine tenggelam karena kecelakaan di kapal tersebut, yang pada awal permulaan konflik diberitakan oleh media massa Amerika, dengan sensasionalitas yang luar biasa, karena diledakkan Spanyol. Untuk pertama kalinya kekuatan media unjuk gigi dalam memengaruhi kebijakan pemerintah untuk berperang dengan mempraktikkan apa yang disebut yellow journalism.

Berjarak seratus tahun dari peristiwa Spanish-America War, di belahan dunia lain, Indonesia dan Malaysia, dua negara serumpun terlibat ketegangan akibat salah satunya mengabaikan prinsip bertetangga yang baik. Klaim terhadap wilayah teritorial, penggunaan ikon pariwisata Indonesia yang tidak semestinya, dan perlakuan kasar warga negara Indonesia oleh Malaysia, menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi berang. Keberangan itu bereskalasi menjadi dendam dan kebencian mendalam terhadap Malaysia. Ekspose media terhadap persoalan ini menjadi demikian hebat dengan sensasionalitas luar biasa.

Persoalan klaim budaya pun merembet ke isu lain yang tidak relevan, seperti mempersoalkan kehadiran mahasiwa Malaysia di Indonesia. Penyikapan pun menjadi semakin irasional dan tidak proposional, diiringi dengan pemberitaan yang sensasional dan berlebihan. Dengan derajat pemberitaan seperti ini, banyak media di Indonesia terindikasi mempraktikkan jurnalisme kuning.

Jurnalisme kuning

Pada dasarnya, jurnalisme kuning (yellow journalism) merupakan fenomena jurnalisme yang melanda AS di era akhir 1800-an dan awal 1900-an. Persaingan untuk meningkatkan penjualan oplah, atau dalam era sekarang untuk mendorong klik (dalam media dotcom) atau rating dalam media TV, membuat media di New York pada saat itu memberitakan skandal-skandal dan mengemas pemberitaan secara sensasional.

Jurnalisme kuning, tentu bukan fenomena baru dan bahkan tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Dengan mudah kita akan mengidentifikasi sejumlah media yang terkategori media hiburan sebagai pengamal setia jurnalisme kuning di Indonesia. Terkait isu Malaysia misalnya, bagaimana Manohara tiba-tiba menjadi "pahlawan nasional" yang ditindas penguasa Malaysia, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain untuk menciptakan proporsionalitas pemberitaan.

Pengamalan jurnalisme kuning tidak selamanya dimonopoli oleh media tidak serius, seperti media massa. Dalam derajat tertentu, media yang terkategori serius pun sering mengamalkan jurnalisme kuning, terutama media-media yang memiliki agenda tertentu dan berafiliasi terhadap garis pemikiran tertentu. Salah satu contoh, media-media yang bermunculan pada konflik Maluku di awal masa reformasi yang secara sensasionalitas mengumbar gambar-gambar vulgar disertai analisis-analisis dangkal dengan penyebutan kelompok agama tertentu sebagai musuh yang harus dibasmi.

Namun demikian, selalu terdapat dua sisi dalam mata uang. Jurnalisme kuning pada satu sisi, dapat mendorong dan menjadi alat efektif dalam mendorong perubahan. Namun dalam sisi lain, Jurnalisme kuning dapat pula memicu kekerasan dan radikalisasi.

Isu Malaysia

Indikasi menggejalanya jurnalisme kuning dalam isu Malaysia, secara masif dan sistemik dapat dilihat dalam isu "klaim tari pendet". Salah satu media elektronik di Indonesia memproduksi gambar secara berulang-ulang diikuti dengan narasi persuasif dengan mengulang-ulang kalimat "Malaysia kembali mengklaim". Dalam isu lainnya, yakni pemberitaan media lain di Indonesia tentang dilecehkannya lagu "Indonesia Raya". Dengan analisis spekulatif, pewarta media itu menyimpulkan, pelecehan lagu tersebut berasal dari Malaysia karena dibuat dalam style bahasa Malaysia dan dalam forum Malaysia. Dua contoh tadi, mengindikasikan dua hal. Yang pertama, pengejaran pada sensasi/berlebihan dan contoh yang kedua adalah pendasaran yang tidak reliabel dan kredibel yang masuk dalam karekteristik jurnalisme kuning.

Praktik jurnalisme kuning tersebut ditambah dengan kurangnya pemberitaan terhadap counter argument yang proposional terhadap versi lain dari isu Malaysia membuat banyak masyarakat Indonesia menarik kesimpulan, Malaysia adalah musuh dan pencuri. Labelisasi dan eksploitasi kebencian secara berulang-ulang dan massif ini akhirnya dapat menumbuhkan bibit radikalitas di kalangan masyarakat Indonesia, bukan tidak mungkin dapat mengaktifkan individu radikal frustrasi melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif atau dalam teori paling konspiratif, membuka kemungkinan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan yang menginginkan destabilisasi.

Pertanyaan yang tersisa adalah apakah eksploitasi isu demi klik dan rating merupakan tawaran sesungguhnya dari komunitas pers Indonesia, dengan kedok kebebasan pers. Atau fenomena ini merupakan fenomena insindental yang berdiri sendiri dan tidak merefleksikan praktik jurnalistik Indonesia atau hal ini merupakan problematisasi penulis saja yang menafsir fenomena ini secara berlebihan. Jika kemudian jawaban yang benar adalah dua yang terakhir, sudah sewajarnya kita mengucap syukur mengingat kerusakan yang ditimbulkan oleh jurnalisme kuning dalam kesejarahannya.***

[+] Penulis, Postgraduate Student Law Faculty University of Melbourne dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Labels:

Katarsis II

Aku belajar bahwa Aku tidak dapat membuat seseorang mencintaku.
Yang bisa Aku lakukan adalah menjadi seseorang yang dapat dicintai.
Sisanya terserah mereka.

Aku belajar bahwa tak peduli betapa dalam perhatianku pada seseorang,
beberapa orang tidak begitu peduli padaku.

Aku belajar bahwa dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun sebuah kepercayaan,
dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.

Aku belajar bahwa Aku dapat melakukan sesuatu,
dalam hitungan detik yang akan membuat hatinya sakit seumur hidup.

Aku belajar bahwa bukanlah apa yang aku miliki dalam hidup,
tapi siapa yang berharga dalam hidupku ini.

Aku belajar bahwa, tak peduli betapa tipisnya Aku mengiris sesuatu,
selalu ada dua sisi.

Aku belajar bahwa,
Aku harus selalu meninggalkan orang-orang yang aku sayangi dengan kata-kata cinta.
Mungkin itu terakhir kali aku melihatnya.

Aku belajar bahwa,
Aku harus bertanggung jawab untuk segala apa yang aku lakukan,
tidak peduli bagaimanapun akibatnya.

Aku belajar bahwa,
ada orang-orang yang mencintaiku begitu besar, tapi mereka tidak tahu bagaimana menunjukkannya.

Aku belajar bahwa persahabatan sejati akan terus tumbuh,
bahkan di atas jarak terpanjang. Juga berlaku sama untuk cinta sejati.

Aku belajar bahwa,
hanya karena seseorang tidak mencintaiku seperti yang aku inginkan,
tidak berarti mereka tidak mencintai ku dengan setulus hati.

Aku belajar bahwa,
kedewasaan lebih berkaitan dengan jenis pengalaman yang telah ku miliki
dan apa yang telah Ku pelajari darinya,
dan tidak ada hubungannya dengan berapa banyak ulang tahun yang telah aku rayakan.

Aku belajar bahwa,
tidak peduli seberapa baik seorang teman,
sesekali mereka akan menyakitiku, dan untuk itu aku harus memaafkan mereka.

Aku belajar bahwa,
tak peduli betapa hancur dan patah hatiku,
dunia tidak berhenti untuk kesedihanku.

Aku belajar bahwa, hanya karena dua orang bertengkar,
itu tidak berarti mereka tidak saling mencintai.
Dan hanya karena mereka tidak bertengkar,
itu tidak berarti mereka mengerti apa yang mereka lakukan.

Aku belajar bahwa,
kita tidak harus mengubah teman kita,
bila kita mengerti bahwa teman-teman kita berubah.

Aku belajar bahwa,
tidaklah baik telalu mencari tahu isi sebuah rahasia.
Karena rahasia itu bisa mengubah hidup ku selamanya.

Aku belajar bahwa, tak peduli berapa banyak teman yang ku miliki,
jika aku adalah pilar mereka,
aku akan merasa kesepian dan kehilangan pada waktu-waktu aku paling membutuhkan mereka.

Aku belajar bahwa,
orang-orang yang Aku sayangi dalam hidup ini, sebagian besar akan diambil dari ku, segera!.

Aku belajar bahwa,
meskipun kata "cinta" bisa memiliki banyak arti yang berbeda,
namun kata itu dapat kehilangan nilai, bila terlalu sering digunakan.

Aku belajar bahwa,
cinta bukanlah untuk kumiliki,
tetapi untuk ku sampaikan kepada orang-orang disekelilingku.

Aku belajar bahwa,
bahkan ketika Aku merasakan sakit hati,
kadang Aku tidak layak merasakan hal itu.

Aku belajar bahwa,
setiap hari Aku harus menjangkau dan menyentuh seseorang.
Orang yang cinta akan sentuhan manusia, berpegangan tangan, pelukan hangat, ataupun hanya dengan tepukan ramah di punggung.

Aku belajar bahwa, ternyata Aku harus masih banyak belajar...



---------------------
[+] quoted from here

Labels:

Katarsis I

Jika engkau terlalu sering makan di rumah makan mewah,
sesekali makanlah di warung kecil pinggir terminal
Jika engkau terlalu sering naik taksi atau mobil mewah,
sesekali nikmatilah berdesakan di dalam bus padat
Jika engkau terlalu sering berbelanja di mall atau supermarket megah,
sesekali rasakan indahnya berbelanja dan menawar di pasar rakyat
Jika engkau terlalu sering tidur di atas kasur empuk dan mewah,
sesekali nyenyaklah di pelataran masjid
Jika engkau terlalu sering berdiskusi dengan teman berbaju bagus,
sesekali bercandalah dengan anak kecil dan bapak di pinggir jembatan

Tidak, bukan untuk membuktikan dirimu peduli

Hanya sekedar untuk .. melembutkan hati*


Ketika membaca postingan ini, saya jadi teringat ketika beberapa hari yang lalu belanja ke pasar besar disini untuk mencari bahan membuat pecel yang lebih murah jika dibanding dengan di supermarket dengan salah seorang kawan saya. Saat itu, saya benar-benar terkejut karena keadaan di pasar itu jauh lebih buruk daripada supermarket yang biasa saya kunjungi. Bagaimana tidak, pasar ikan dan pasar sayur saling berpunggungan (yang saya maksud disini adalah jika pasar ikan menghadap ke utara, maka pasar sayur menghadap ke selatan dalam satu lot, entah apa katanya benar atau tidak). Bau amis dari pasar ikan langsung tercium ketika saya baru saja masuk. Maka suatu hal yang lumrah jika saya muntah saat itu juga karena gak kuat dengan baunya. Tapi karena tidak mau membuat pagi saya menjadi pagi yang buruk hanya gara-gara bau amis itu, saya mencoba untuk menahannya dan saya berhasil..!! Setelah beberapa menit di pasar besar tersebut, sepertinya hidung saya mulai terbiasa terhadap bau tersebut dan rasa ingin muntah sudah hilang dengan sendirinya.

Saat itu saya berpikir, ternyata di Melaka sekalipun masih banyak orang yang tidak menggantungkan hidupnya di supermarket. Saya dulu membayangkan bahwa di negara-negara maju, keberadaan pasar akan tergantikan dengan supermarket yang semakin menjamur. Dan saya menganggap hal itu benar, hingga beberapa hari yang lalu. Saya lalu berpikir bagaimana jika teman-teman saya (yang rata-rata orang berada) masuk dan belanja di pasar tersebut. Salut jika bisa untuk betah berada disitu dalam setengah jam saja. Memang ketika saya mencoba membandingkan antara kenyamanan dan kemudahan yang di tawarkan di supermarket, pasar besar bisa saja kalah. Bagaimana bisa membandingkan AC dengan bau amis? Barang-barang yang sudah tersusun rapi sehingga kita tidak harus mondar mandir hanya untuk mencari satu barang saja dengan lot yang berantakan? Namun ketika saya berpikir lebih jauh lagi, tidak selamanya supermarket jauh lebih baik daripada pasar rakyat. Interaksi antara pedagang dan pembeli bisa jadi salah satu nilai tambah di pasar besar. Selama 30 menit di pasar itu saya bisa berkenalan dengan 2 TKI Indonesia yang sudah lama tinggal di malaysia. Salah satunya berasal dari Tulungagung. Coba bandingkan dengan 2 tahun belanja di supermarket tanpa menambah kenalan satu orang pun. It's worth, isnt it?

Well, saya memang bukan termasuk orang yang kaya, tapi tinggal di lingkungan orang yang kaya saring membuat saya terlupa bahwa masih banyak orang yang tidak merasakan kenikmatan yang saya rasakan saat ini. Maka melihat ke bawah membuat mata saya terbuka dan hati saya terasa lebih lembut. Bahwa banyak orang yang bersusah payah untuk mendapatkan sesuap nasi. Dan tentu saja, ini mengingatkan akan orang tua saya yang sudah susah payah menyekolahkan saya di sini. In the end, keinginan saya untuk mandiri menjadi lebih besar. Bukan karena ingin melepaskan diri dari orang tua sehingga dapat berbuat apa saja, tapi lebih kepada perasaan bersalah saya yang telah membebani orang tua saya hingga saat ini dengan tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Mengulang kembali apa yang ada di awal entri ini, jika anda terlalu sering mendapat kenikmatan, cobalah sesekali merasakan kesusahan. Maka dengan begitu anda akan merasakan bahwa hidup tidak selamanya seenak yang terlihat.

* credit goes to one of kaskuser

Labels:

Meloncat Mainstream

oleh: Muhammad Zulifan


"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."
-- peribahasa .

Mungkin peribahasa itu tepat untuk menggambarkan kondisi keberjamaahan kita. Kedirian kita telah sedikit banyak terkonstruk pada satu mainstream tertentu. Mulai dari hal-hal yang besar semisal paradigma sampai hal kecil semisal ciri fisik.

Ciri fisik (pemampilan) seseorang sering merupakan representasi jamaah (baca: harokah ) yang ia geluti. Sampai-sampai pilihan celana dan warna hijab bisa menggambarkan seluruh kedirian seseorang, mulai dari prinsip-prinsipnya tentang kehidupan hingga gambaran aktivitasnya sehari-hari. Begitu juga tentang alur berfikir . Dalam konteks jamaah (baca
: Harokah) sering alur berfikir atau paradigma seseorang senantiasa mewakili jamaahnya. Yang terakhir inilah yang ingin saya bahas.

MAINSTREAM ITU

Fenomena umum, seorang aktivis HT senantiasa istiqomah dengan pemikirannya yang tidak jauh dari satu kata keramat “Khilafah”. Apapun kasusnya, ujung-ujungnya adalah Khilafah. Ketika ada kasus penjara mewah, komennya tegakkan khilafah, ada kasus korupsi, komennya tegakkan khilafah, dan
mungkin jika ada percekcokan suami istri maka mereka akan berkomentar tegakkan khilafah, itu solusinya.

Lain lagi aktivis ikhwan, mereka lebih suka pada jurus pamungkas “membina” dan slogan “Palestina danYahudi”. Ketika target dakwah tidak tercapai atau gagal, komen mereka adalah: “ini karena banyak ihwan yang tidak membina”. Ketika kasus Namru atau flu babi mencuat, mereka berkomentar ini rekayasa AS dan Yahudi. Ketika Hamas dan Fatah tidak bersatu, dikatakan Fatah telah bersekongkol dengan Yahudi. Hingga mereka melupakan faktor internal umat Islam yang sulit bersatu. Yahudi seolah begitu kuatnya hingga bisa melakukan apapun di dunia ini.

Sedangkan ikhwan salaf, apapun permasalah bangsa ini yang rumit, mau ada korupsi, kemiskinan, kejahatan, komennya tidak jauh dari : laksanakanlah
sunnah, tinggalkan bid’ah, maka Islam akan tegak dengan sendirinya
. Tidak perlu yang namaya harokah dan tanzim dakwah apalagi sampai ikut berpolitik.

BERFIKIR LEBIH KOMPREHENSIF

Entah mengapa umat Islam kini menyukai budaya simple dan enggan berfikir lebih rumit dan detail. Mungin itu pengaruh budaya post modern kini.

Simplifikasi masalah bangsa pada satu muara; belum tegakkanya khilafah, menjadikan anggota jamaah tersilap untuk memikirkan hal-hal yang lebih rumit, akibat pola pikir yang terlalu simple tadi. Ide kreatif menjadi beku karena adanya semacam chine wall dalam alur berfikir tiap anggota. Bagaimana berpartisipasi mengihslah negara, ishlah sistem birokrasinya, sistem sistem
politik hingga sistem militernya. Semua itu butuh kajian yang tidak simple. Bila mereka memberikan solusi, itupun sebatas solusi normatif yang amat sangat sulit konteks implementasinya ke dalam Indonesia kini. Pemikiran simple inilah yang mematikan potensi kader. Nampaknya untuk ini, HT harus terbuka pada pemikiran bahwa untuk menegakkan Al-Islam, tidak harus mendirikan negara Islam; kuasai hukumnya, undang-undangnya, ekonominya, pendidikannya, birokratnya, militernya, pers medianya, maka Islam akan tegak dengan sendirinya.

Selanjutnya, pemikiran fatalis yang mengarahkan segala kerusakan di dunia ini adalah karena rekayasa Yahudi membawa akibat umat tidak dewasa. Aktivis dakwah kurang berfikir dengan kajian yang lebih luas dan komprehensif. Contoh Kasus Namru. Saya sepakat bahwa lembaga ini harus hengkang dari bumi Indonesia. Namun, kajian atasnya jangan hanya berhenti pada statemen bahwa
Namru adalah rekayasa Yahudi dan AS untuk menghancurkan Indonesia. Terbukalah pada sudut pandang lain. Dari sudut pandang ketarahan nasional misalnya, bahwa sebuah negara (dalam hal ini AS) wajib melindungi rakyatnya dari segala ancaman. Apalagi sebagai negara terbuka, AS di kunjungi oleh orang dari seluruh dunia tiap harinya. Menjadi kewajiban pemerintah untuk mewaspadai virus-virus yang akan membahayakan negaranya. Karena itu didirikanlah lembaga riset di seluruh dunia. Dan begitulah juga seharusnya sikap Indonesia ketika menjadi negara super power dan pusat peradaban dunia nanti.

Juga masalah pemberian bantuan dana terorisme untuk POLRI. Ini adalah upaya pencegahan negara (sekali lagi dalam konteks AS) dari dampak negatif teroris. Sebagaimana kita ketahui, stabilitas kemanan akan berbanding lurus dengan stabilitas ekonomi, terkait iklim investasi dll. Karenanya, ketika POLRI menangkap Imam Samudera, Nurdin M Top dan kawan-kawan, jangan hanya dilihat dari sudut pandang bahwa itu pesanan AS, tapi sebagai sebuah negara yang butuh stabilitas kemanan, langkah itu sangat perlu dilakukan. Bahwa ada misi yahudi, iya. Tapi perlu diingat pula bahwa semua militer (intel) di dunia ini juga melakukan misi tertentu, termasuk penyusupan organ
intel pada setiap Kedubes di penjuru dunia yang juga dilakukan oleh Indonesia.

Masalah Palestina, selalu yang disalahkan Yahudi. Padahal kritik internal sangat perlu dilakukan. Yang ada, aktivis kampus lebih banyak fanatik dengan gerakan Hamas, tanpa mau mengkaji lebih lanjut kelemahan strategi yang selama ini dilakukannya. Nyatanya, Hamas belum mampu menyatukan gerakan perlawaan Palestina. Strategi ikut Pemilu dan menangnya Hamas juga tidak berdampak banyak pada Palestina yang lebih baik. Nyatanya, kini Palestina --sebagai entitas muslim-- terpecah. Dengan kondisi terpecah, amat sulit bagi
Palestina mendapat dukungan dunia Internasional.

Lebih susah lagi pemikiran yang menganggap semua masalah akan selesai dengan kita melaksanakan sunnah dan meninggalkan bidah, hingga acuh tak acuh pada permasalahan umat kontemporer, cukup taat dengan Pemerintah (meskipun tidak dipilih berdasar prinsip Syuro), jangan protes terhadapnya apalagi berdemonstrasi. Mereka telah lupa bahwa mengishlah negara, berpolitik (termasuk berperang dan persiapannya ) adalah bagian dari sunnah yang Rasul ajarkan juga.

LONCAT MAINSTREAM, MUNGKINKAH?

Melihat Fenomena aktivis dakwah di kampus, nampaknya sulit bagi anggota jamaah untuk bisa melampaui pemikiran mainstream jamaah. Ada semacam lingkaran imaginer yang membatasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis berjamaah dengan tuntutan harus selalu taat pada satu pilihan fiqh, di tengah pilihan fiqh yang lain yang mungkin dipilih. Pada tataran akar rumput, ketaatan kadang menjadikan potensi mereka jadi tidak berkembang. Menunggu taklimat dan perintah adalah budaya sehari-hari. Lama-kelamaan, ketaatan yang tidak terkelola dengan baik, apalagi tidak diimbangi dengan pemahaman atas gerakan yang dinamis, menimbulkan perpecahan seperti dialami banyak harokah. Adanya HDI dan FKP adalah salah satu contohnya.

Habit anggota selama ini yang tidak memungkinkan adanya pandangan yang luas. Bacaan aktivis HT tidak jauh dari buku karya Taqiyuddin An-Nabhani atau buku lain tentang khilafah dan Daulah. Sedangkan bacaan ikhwan tidak jauh dari buku-buku karangan Hasan Al-banna, Sayid Qutb, dan Yusuf Qardhawi, atau buku-buku ulama IM lainnya. Sedangkan Salafi setia (dan cenderung fanatik) pada bacaan karya-karya Syaikh Al-albani dan Syaikh Bin Baz. Ditambah forum kajian yang hanya mengundang ustadz dari harokahnya masing-masing, maka lengkap sudah faktor untuk menjadikan seseorang tertuju pada fanatisme harokah.

Yang susah, alur berfikir linear sejalan mainstream harokah ini sering menjadikan sesorang sulit untuk bersikap terbuka, bahkan yang lebih parah amat susah untuk menerima pemikiran ataupun sekedar pembahasan dari harokah yang berbeda.

KHATIMAH..

Bukan hal yang salah untuk setia pada mainstream harokah, tapi harusnya setiap anggota tidak menutup diri pada solusi harokah lain. Adanya cita-cita menegakkan Islam di bumi Indonesia itu tidak cukup dengan alur berfiir yang simple-simple semacam itu. Perlu kedalaman kajian multidsiplin ilmu (bio,sosio, psiko, eco, hankam) hingga masyarakat indonesia mampu mencernanya.
Atau jika tidak, cita-cita itu hanya akan jadi simbol-simbol usang.

Karenanya, sikap terbuka pada tawaran solusi atau ijtihad harokah lain nampaknya harus dibuka lebar-lebar. Bagaimanapun, tidak ada jamaah (baca: harokah) yang sempurna. Masing-masing jamaah punya kelebihan dan kekurangan
. Sesekali cobalah berfikir di luar mainstream harokah masing-masing karena dakwah tak selebar harokahmu saja...

Don't Crack Under Pressure

Oleh: Sonny Wibisono *


"Anda tidak bisa memilih bagaimana atau kapan Anda akan mati. Anda hanya dapat memilih cara menjalani hidup. Sekarang."

-- Joan Baez, penyanyi dan penulis lagu

ANDA tentu sudah sering menonton televisi. Apakah Anda termasuk melihat iklannya pula? Coba Anda perhatikan salah satu iklan minuman ringan terkemuka dari negeri Paman Sam. Tema dari iklan minuman tersebut umumnya mengenai optimisme. Bahkan menjelang pergantian tahun, di bulan Desember, mereka memperkenalkan jingle baru, yang intinya mengajak untuk senantiasa menjalani hidup dengan penuh optimisme dan memperbaharui semangat setiap hari. Menjalani kehidupan seharusnya seperti itu pula. Tak perlu berputus asa bila menghadapi kesulitan. Jika kita mampu menjalani kehidupan dengan bersemangat, maka beban seberat apapun akan terasa ringan. Bila kita selalu optimis dan tak pernah kehilangan asa, percayalah, kita akan selalu menemukan jalan keluar dari suatu masalah. Tak percaya? Mari kita simak kisah berikut.

Anda mengenal nama Hee Ah Lee? Ah Lee dilahirkan dari seorang ibu bernama Woo Kap Sun pada 9 Juli 1985 di Korea Selatan. Sama halnya dengan seorang ibu lainnya dibelahan dunia manapun, Kap Sun mencintai anak perempuannya dengan sepenuh hati, walau sejak dalam kandungan ia mengetahui bila anaknya akan lahir dalam keadaan cacat. Ah Lee diketahui menderita down syndrome. Down syndrome merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan ini berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak. Ah Lee juga terlahir dengan kaki hanya sebatas lutut. Penderitaan awal Ah Lee bukan hanya itu saja, selain mengalami down syndrome dan memiliki kaki yang mungil, Ah Lee juga hanya memiliki empat jari. Dua dikanan dan dua dikiri. Kelainan ini dikenal dengan lobster claw syndrome, keadaan dimana jarinya berbentuk seperti capit udang, tanpa telapak tangan.

Ketika dilahirkan, banyak yang menyarankan agar Ah Lee dikirim ke panti asuhan. Tetapi Kap Sun dengan tegas menolaknya. Kap Sun justeru menerimanya hal itu sebagai anugerah. Ia kemudian merawat dan mendidik anaknya dalam dunia nyata. Untuk melatih kekuatan otot jarinya, Ah Lee diajarkan untuk bermain piano saat berusia 7 tahun. Tentu sangat sulit untuk mengajarkan bermain piano dengan 'nada-nada yang harus dihitung' bagi anak dengan kondisi mental terbelakang, ditambah dengan keterbatasan fisik. Sulit, bukan berarti tidak bisa. Ah Lee bahkan sempat mogok bermain piano setelah mengetahui ayahnya sakit keras ditambah ibundanya yang terkena kanker payudara. Akan tetapi sang ibunda, Kap Sun terus memompakan semangat kepada anaknya. Sang ibunda berusaha mengembalikan rasa percaya diri Ah Lee. Kap Sun terus membimbing Ah Lee agar dapat tumbuh mandiri, dan tetap penuh percaya diri dalam menghadapi hidup.

Untuk bisa memainkan karya Chopin Fantasie Impromptu, Ah Lee dengan tekun berlatih lima hingga sepuluh jam sehari selama lima tahun. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada 1992, Ah Lee memenangkan Penghargaan Pertama dalam the Korean National Student Music Contest. Dan sejak saat itu, berbagai penghargaan atas keterampilan bermain piano telah diraih Ah Lee. Ah Lee pun telah merasakan bagaimana rasanya berkeliling dunia, termasuk bermain bersama para artis terkenal. Pada 2007, Ah Lee melakukan konser piano tunggal di Balai Kartini, Jakarta. Konsernya ini merupakan bagian dari program tur Hee Ah Lee ke beberapa negara di Asia Tenggara termasuk dalam penampilannya di Indonesia.

Mari kita beralih ke belahan dunia lain. Anda mengenal nama Nick Vujicic? Vujicic lahir di kota Melbourne, tanggal 4 Desember 1982. Seorang ibu manapun ketika melihat bayinya yang baru lahir, tentu mencoba untuk segera memeluknya, tetapi itu tidak dilakukan oleh sang Ibunda Vujicic. Saat Vujicic dilahirkan, ia tidak mempunyai kaki dan tangan. Ketika ibunya melihat Vujicic lahir tidak dalam keadaan normal, ia memerintahkan para perawat untuk membawa Vujicic keluar dari kamar. Dokter, perawat, dan keluarga tertegun melihat pemandangan menyedihkan ini. Para dokter tak dapat menerangkan secara medis bagaimana Vujicic dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Ibu Vujicic adalah seorang perawat. Ia menjelaskan bahwa selama kehamilannya, ia merawat dengan baik bayinya. Ia selalu menjaga kesehatan dan memakan asupan makanan bergizi.

Diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, bagi keluarga Vujicic untuk menerima hal ini sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi. Tahun-tahun awal dilewati Vujicic dengan penuh rintangan dan hambatan. Hingga pada akhirnya, Vujicic bersekolah di sekolah umum. Pada awalnya Vujicic mengalami kesulitan dalam menjalankan kegiatan di sekolah umum. Vujicic memang mampu mengikuti pendidikan umum, karena hanya fisiknya saja yang terganggu, sedangkan otak dan pikirannya berjalan dengan baik. Tetapi lingkungan sekolah berkata lain, Vujicic harus menerima kenyataan pahit. Ia mendapat perlakuan yang membuatnya menderita, dimana Vujicic dikucilkan oleh teman-teman kelasnya. Vujicic jelas merasa amat tertekan. Pada umur 8 tahun, Vujicic sempat memikirkan untuk bunuh diri. Lambat laun, Vujicic menyadari kekurangannya, ia terus berdoa agar hidupnya lebih baik dengan apa yang ia miliki. Vujicic mencoba untuk bersyukur atas apa yang telah diberikan olehNya. Hingga akhirnya Vujicic berhasil menyelesaikan pendidikannya, bahkan mendapatkan dua gelar, dalam bidang Akuntan dan Keuangan Terpadu. Itu terjadi ketika Vujicic berusia 17 tahun. Vujicic kemudian memulai kariernya dengan menjadi pembicara motivasi yang fokus pada kehidupan remaja masa kini. Ia pun menjadi pembicara dalam sektor perusahaan yang bertujuan menjadi pembicara inspirasi tingkat internasional. Saat ini Vujicic telah berkeliling dunia untuk memberikan motivasi dan inspirasi bagi setiap orang. Baik bagi penyandang cacat, maupun manusia normal lainnya.

Vujicic dan Ah Lee, hanyalah seorang pria dan wanita dengan keterbatasan fisik. Namun dengan segala keterbatasannya, tidak menjadikan Vujicic dan Ah Lee putus asa dalam menghadapi jalannya kehidupan. Vujicic dan Ah Lee bahkan mampu memperlihatkan kepada dunia apa yang telah mereka lakukan, sekaligus memberikan inspirasi bagi siapapun untuk tidak pernah menyerah dan putus asa
dalam menghadapi kehidupan. Seperti sebuah slogan jam tangan terkemuka yang diperkenalkan tahun 1991, 'Don't crack under pressure', yang menggambarkan bahwa keberhasilan seorang atlet dalam bertanding ditentukan oleh kekuatan mentalnya, bukan fisiknya. Begitu pula dalam menjalani hidup ini. Don't crack under pressure. Betul. Jangan mudah menyerah! (250110)

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009

Quotes of the Day

Recent Comments

Followers

Shev's bookshelf: read

OutliersKetika Cinta Bertasbih5 cmLaskar PelangiSang PemimpiEdensor

More of Shev's books »
Shev Save's  book recommendations, reviews, favorite quotes, book clubs, book trivia, book lists